Mbah Hamid: Wali Allah yang Gemar Bersembunyi



Said Amdad di Pasuruan, adalah seorang rasionalis sejati. Mendengar kewalian Mbah Hamid yang kesohor kemanamana, ia jadi penasaran. Suatu kali ia ingin menguji sosok mulia itu dengan membatin, “Saya ingin diberi makan Mbah hamid. Coba dia tahu apa tidak,” katanya dalam hati sepulang dari Surabaya. Saat tiba di Pasuruan ia langsung ke Ponpes Salafiyah, yang diasuh Mbah Hamid. Kedatangan Said bersamaan dengan jamaah shalat Isya. Usai merampungkan shalat ia tidak langsung keluar, melainkan membaca wirid dulu.
Sekitar pukul 20.30 WIB, jamaah di masjid sudah pada pulang semua. Lampu teras rumah Mbah Hamid pun juga sudah dipadamkan. Said melangkah keluar dari dalam masjid. Tetapi tibatiba ia melihat ada seseorang yang melambaikan tangan dari arah rumah Mbah Hamid. Tanpa berpikir panjang, ia pun menghampiri. Ternyata yang melambaikan tangan adalah tuan rumah alias Mbah Hamid sendiri. Setelah bertatapan muka, Mbah Hamid pun berkata.
“Makan di sini ya. Di ruang tengah hidangan sudah ditata. Maaf, lauknya seadanya saja. Sampeyan tidak bilang dulu sih,” ucap Mbah Hamid ramah. Seketika itu juga Said yang merasa disindir, kapok.
***
Asmawi gundah gulana. Ia harus membayar utang biaya pembangunan masjid senilai Rp300.000,- yang jatuh tempo. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu. Asmawi sempat menangis saking sedihnya. Ia berpikir dari mana bisa memeroleh uang sebanyak itu? Pikirannya buntu.
Kegundahan Asmawi menuntunnya menghadap ke Mbah Hamid.
 
Laopo nangis sik onok yai (Kenapa nangis kalau masih ada kiyai)?” tanya Mbah Hamid.
 
Demi menghibur hati Asmawi yang dilamun gebalau, beliau menyuruh si tamu itu menggoyang-goyangkan salah pohon kelengkeng di depan rumahnya. Dedaunan yang berguguran dipungut oleh Asmawi, lalu diserahkan kepada Mbah Hamid. Setelah itu beliau meletakkan tangannya ke bagian belakang tubuh, lantas memasukannya dalam saku. Begitu dikeluarkan, ternyata dedaunan itu telah berubah jadi uang kertas.
 
Mbah Hamid kembali menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang satunya lagi. Dedaunannya dipunguti lagi, lantas diserahkan ke Mbah Hamid yang kemudian melakukan ritual yang sama. Setelah dihitung ternyata jumlah daun yang telah menjadi uang itu sebesar Rp225.000,-. Masih kurang Rp75.000,-. Tak lama berselang, sekonyong-konyong datang seorang tamu dan langsung memberi Mbah Hamid uang senilai Rp75.000,-. Masalah yang dihadapi Asmawi pun tuntas.

***
 
Mbah Hamid Membongkar Kedok Wali Samud
PADa suatu waktu, ada tamu dari Kendal, sowan ke Mbah Hamid. Singkat cerita, Mbah Hamid menitipkan salam untuk Wali Samud yang kesehariannya berada di pasar. Ya, beliau menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal dan Semarang.
 
Sehari-hari, Wali Samud berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya. Terkadang beliau membantu bongkar muat barang-barang di pasar dan tidak mau diberi upah.
 
Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk Samud yang ia anggap gila dan oleh orang-orang di daerahnya.
 
Tamu tersebut bertanya, Bukankah Samud tersebut adalah orang gila, Kyai..?” kemudian Mbah Hamid menjawab, “Beliau adalah Wali Besar yang menjaga Kendal dan Semarang. Rahmat Allah turun, bencana ditangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku!

             Kemudian, setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirinyalah Wali Samud yang dianggap “orang gila” itu, yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal dan Semarang.
 
“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu,
Wali Samud memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar.
 
Wa’alaikumussalam... Ada apa..!”
 
Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri berkata lagi.
 
“Panjenengan dapat salam dari Mbah Hamid Pasuruan, assalamu’alaikum...”
 
Selang berapa lama, Wali Samud berkata, Wa’alaikum salam” dan kali ini berteriak dengan nada lebih keras.
 
Kurang ajar si Hamid. Aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui, kok malah dibocor-bocorkan. Ya Allah, aku tidak sanggup. Kini telah ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Aku mau Pulang saja. Nggak sanggup aku hidup di dunia.”
 
Kemudian Wali Samud membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “Laa Ilaaha Illallah… Muhammadur Rasulullah.
 
Seketika itu, langsung wafatlah Wali Samud di hadapan orang yang diutus Mbah Hamid menyampaikan salam. Sejak itu, hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang dicap  gila oleh masyarakat Kendal dan Semarang itu adalah Wali Besar. Tak satu pun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang meninggal di pasar itu adalah seorang Wali. Malah si tamu juga dicap sebagai orang gila oleh orang-orang, karena meyakini Samud sebagai Wali.
 
***

Dua cerita di atas, baru sebagian kecil saja dari riwayat karomah Mbah Hamid yang terlanjur menyebar ke seantero Nusantara—bahkan dunia. Bagi Hamba Allah yang dikaruniai gelar Wali, jelas ketenaran itu adalah petaka. Nah, dari situlah kisah ini mengalir.
Malang. Ketika masih muda, Habib Baqir Mauladdawilah diijazahi sebuah doa oleh al-Ustadzul Imam al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist, Malang). Habib Abdulqadir Bilfaqih berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa, orang atau bukan.
Tiba pada suatu hari, datanglah Habib Baqir menemui Mbah Hamid di Pasuruan, Jawa Timur. Sesampainya di rumah yang dituju, banyak sekali orang yang sedang bertamu kepada beliau. Ada yang meminta doa, ngalap berkah, atau keperluan yang lain.
Setelah membaca doa yang diijazahkan Habib Abdulqadir Bilfaqih, Habib Baqir tercengang kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid—yang sedang menerima para tamu itu, sejatinya bukan orang yang asli. Habib Baqir pun membatin.
“Ini bukan Mbah Hamid, tapi khodam (pendamping)! Mbah Hamid tidak ada di sini”

Habib Baqir pun pergi mencari di mana sebenarnya Mbah Hamid berada. Lama mencari, akhirnya Habib Baqir pun bertemu dengan Mbah Hamid yang asli. Habib Baqir langsung bertanya kepada beliau.

“Kiyai, mbok jangan begitu..."
“Ada apa, Bib?” jawab Mbah Hamid santai.
"Kasihan orang banyak yang meminta doa itu. Karena doanya bukan dari panjenengan, tapi dari khodam. Panjenengan tadi di mana, Kiyai?”
Mbah Hamid hanya terdiam.

Pertanyaan Habib Baqir sebenarnya sudah terjawab. Memang tidak secara langsung, namun berdasar cerita Mbah Hamid sendiri pada seorang Habib Sepuh (namanya sengaja kami rahasiakan), yang juga pernah bertanya kepada beliau terkait hal yang sama.

“Kiyai Hamid, waktu banyak orang meminta doa pada Panjenengan, saya tahu yang memberikan doa bukan njenengan sendiri. Saat itu, Panjenengan di mana? Kok tidak ada?”

Mbah Hamid menjawab, sambil tersenyum simpul.

“Hehehee... Ke sana sebentar, Bib.”
“Ke sana ke mana, Kiyai?” Habib Sepuh makin penasaran.
“Kalau njenengan pengin tahu, datanglah ke sini lagi.”

Singkat cerita, Habib Sepuh tersebut kembali menemui Mbah Hamid, karena begitu ingin tahu di mana sebenarnya “tempat persembunyian” beliau. Setelah bertemu, Habib Sepuh kembali bertanya.

“Di mana, Kiyai?”

Tanpa menjawab, Mbah Hamid langsung memegang tangan Habib Sepuh. Seketika itu, Habib sepuh pun kaget melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah.

"Di mana ini, Kiyai?”
“Silakan njenengan perhatikan sendiri, Bib, ini ada di mana?"

Sejurus kemudian barulah diketahui bahwa Habib Sepuh telah dibawa oleh Mbah Hamid ke Masjidil Haram. Tak puas dengan penglihatannya, Habib Sepuh kembali bertanya pada Mbah Hamid.

“Kenapa Panjenengan memakai doa itu, Kiyai?”
“Saya sudah terlanjur TERKENAL. Saya tidak ingin terkenal, Bib. Tidak ingin muncul. Saya hanya ingin asyik sendirian bersama Allah. Saya sudah berusaha bersembunyi, di mana saja. Tetapi orangorang selalu ramai datang ke saya. Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini. Orang yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari bangsa jin, melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, Bib. Berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikat-Nya dengan wajah saya."

Demikianlah kisah persembunyian Mbah Hamid. Hamba Allah yang mulia, yang dengan sadar mengakui kekurangan dan kelemahannya di hadapan manusia lain. Berbanding terbalik dengan para penganjur Islam belakangan ini, yang malah berlomba agar terkenal di manamana. Kalau bisa, terus begitu supaya jatah ceramahnya banyak dan tak diserobot oleh penceramah lain.
 
Wajar sih bila mereka begitu. namanya juga penceramah toh? Kalau Kiyai kan ndak mungkin mau diamplopin. Seperti Mbah Mangli (juga seorang Waliyullah) yang selalu menolak amplop usai berdakwah. Pesan beliau sama belaka. Singkat dan sarat makna, “Bila semua hadirin yang ada di sini mau menjalankan apa yang sudah saya sampaikan, itu jauh lebih mahal dibanding amplop yang mau sampeyan berikan pada saya.”

Kepada kekasih Allah, Mbah Hamid Pasuruan dan Mbah Mangli, al-Fatihah... []

"Pendamlah dirimu di bumi khumul (ketidakterkenalan). Karena segala yang tumbuh namun tidak terpendam, tidak akan sempurna buah-hasilnya."
[Ibn Atha’illah, dalam al-Hikam]




(Sumber penutur: KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id (Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal—dan diramu dari pelbagai sumber lain).



Omah Prabata, 11 Februari 2016


 

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews