tulisan
sederhana ini takkan pernah lahir jika malam itu aku tak terjebak harus
menemani tidur dua malaikat kecil yang dikirimkan Allah kepada keluarga kami
yang juga kecil. Mereka adalah Muhammad Syahrul Adam (5 thn), dan Muhammad
Akbul Muarif (4 thn). Sejatinya, mereka tiga bersaudara. Masih ada Raden
Muhammad Gandhi (1 thn) di urutan terakhir—dengan tingkahpolahnya yang tak
kalah dengan kedua abangnya itu. Untuk selanjutnya, ketiga malaikat ini akan
kusebut dengan Adam, Abul, dan Gandhi saja. Karena begitulah nama yang sering
kami sekeluarga gunakan untuk memanggil ketiganya.
Malam itu hujan teramat deras. Dingin
masuk menusuk hingga ke dalam rusuk. Di kamar bagian depan, aku segera
membenamkan diri di atas kasur, dengan kepala yang mulai berat akibat beban
kerja yang tak mau minggat dari benak. Adam & Abul yang terbiasa ditemani atuknya[1] saat menjelang tidur, segera menahbisku untuk menggantikan posisi terhormat
itu, yang
ternyata sedang berdinas malam. Tanpa mereka tanya apakah
aku ini Atuk mereka atau bukan. Proses penahbisan itu baru terjadi setelah
keduanya meraung meminta tolong untuk dikeluarkan dari kamar depan yang sengaja
dikunci abangku dari luar—demi memaksa mereka tidur secara mandiri.
Apalah daya. Upaya paksa abangku itu
gagal total. Meski lampu ruang tengah sudah padam hampir satu jam. Saat itu,
waktu sudah menunjuk ke arah jarum jam 02.02 dini hari. Konsentrasiku yang
sudah berancangancang untuk menulis pun, buyar, akibat jerit malam mereka yang
mengalahkan jeritan kuntilanak yang keserempet bajay itu. Tak tega mendengar
jeritan pilu mereka, kututup laptop yang sudah menanti untuk ditulisi. Lalu
dengan dada lapang, aku masuk ke kamar depan sambil menyalakan lampu yang
tadinya padam. Tak
ubahnya seperti seorang pahlawan kepagian. Dari
bibir mereka segera tersungging senyum kemenangan. Petanda aku kalah dalam perang
urat syaraf itu. Ternyata, hatiku masih terlalu lembek untuk menjadi lelaki
perkasa, karena jeritan mereka yang luarbiasa menyayat itu.
Melihat aku masuk, adamAbul
menyeringai di atas kasur kebesaran mereka. Betapa tidak, sejak kecil keduanya
sudah saling menumpahkan pipisnya di situ. Selaik kucing atau beruang yang berebut
wilayah kekuasaan. Tapi soal berebut wilayah, Adam takkan pernah bisa melawan
Abul. Ia berhati mellow. Seperti Melly
Goeslaw. Tapi aku tak bisa membayangkan, bagaimana ibu dan ayah betah tidur di
kasur itu. Mungkin kalau nanti sudah menjadi kakek, aku malah akan melakukan
kegilaan yang sama dengan para cucu tercinta: ngompol berjamaah.
Kembali ke adamAbul. Karena mereka
anak pemberani yang ditakutin para dhemit
di belakang rumah—dan ini memang benar adanya, siapa pun yang menemani mereka
tidur, terancam harus bercerita. Apa saja. Maka begitulah nasib menimpaku malam
itu. Sudah berat menanggung beban di pikiran, malah harus mendongengi mereka
hingga pulas. Namun demi harga diri sebagai sutradara teater dan pendongeng
tangguh dari Bulungan, maka kukumpulkan sisa energi lalu mencari imajinasi yang
tercecer di pikiran.
Saat dongeng mulai meluncur,
terjadilah hal yang hingga kini selalu membuatku terpingkal jika melihat dan
mendengarnya. Abang-beradik itu beradu tegang dengan gaya bicaranya
yang benarbenar sulit dimengerti. Itu lebih dikarenakan Abul lebih fasih
berbahasa dengan gaya penduduk Planet Mars timbang manusia bumi. Tanpa mereka
sadari, dongeng kuhentikan, untuk segera menguping apa sebenarnya yang mereka
perdebatkan.
“Jangan berisik, Abul!”
“Kenapa, Adam?”
“Nanti cerita Eno ga kedengeran.”
“Abul denger, Adam.”
“Tapi Adam ga denger, Abul!”
“Terus gimana, Adam?”
“Diamlah, Abul!”
“Untuk apa, Adam?”
“Supaya dongeng Eno kedengeran, Abul!”
“Tapi, Adam…”
“Kenapa, Abul?”
“Eno udah bobo, Adam…”
Persis setelah malam yang sentimentil itu, Adam jadi terbiasa memanggil atau
berbicara dengan siapa saja warganegara di rumah sambil menyebut panggilan di
belakang kalimatnya.
“Adam mau susu, Nenek.”
“Susu Nenek sudah habis, Adam.”
Itulah. Adam yang jadi cucu tertua
ibuku, bahkan sanggup merusak tatanan berbahasa neneknya yang justru jadi guru
pertamaku sebagai manusia yang kini berprofesi sebagai penulis, editor & C.E.O Khatulistiwamuda. Benarbenar tidak bisa dipercaya! Bagaimana tidak bisa dipercaya. Karena ternyata
bukan hanya ibu yang terpengaruh. Aku pun sudah tertular virus itu hingga
stadium akut. Please, help me…
Minggu malam kemarin (6/02/2012),
setiba dari rapat Ad/ART bersama Khatulistiwamuda di Ciapus, Bogor, kusempatkan
mampir ke rumah. Demi mengantar buahtangan yang dipesan adikku. Padahal
sejatinya, itu hanya modus belaka untuk melampiaskan rinduku pada Ibu, adamAbul
dan Gandhi. Andai tidak sedang merindu, takkan pernah aku mau membeli apa pun yang
namanya buahtangan itu.
Sejak dari Ciapus bahkan hingga di tol
Jagorawi, kami terus menggunjingi adamAbul bahkan beberapa diantara pasukan
Khatulistiwamuda pun mulai terjangkiti virus berbahaya dari Adam itu. Terutama Tyas
Ari Wahyu Widjanarko Nur Cahyo—yang dengan penuh semangat sempat meramal dialog
apa yang kelak akan dibicarakan adamAbul bila nanti aku di rumah.
Setiba aku di rumah, mereka segera
menyergap. Belum ditambah Gandhi yang badannya padat penuh energi. Setelah bertukar
rindu dan cipika-cipiki sebagaimana yang lazim kami lakukan sejak mereka belum bisa jalan, maka
dimulai lagi hiburan itu. Adamabul segera berebut kue moci yang kubawa dari
Bogor.
“Itu buat Adam, Abul!”
“Buat Abul, Adam”.
“Itu racun, Abul”.
“Abul ga yakin, Adam”.
“Yakinlah, Abul..”
“Baiklah, Adam.”
Kue moci pun pindah ke tangan Adam. Sementara Abul hanya bisa merenungi
nasibnya. [jagakarsa, 07022012]
No comments:
Post a Comment