SEJARAH besar Nahdlatul
Ulama hingga hari ini, dimulai oleh seorang kiyai kampung yang sanad ilmu dan gurunya
tak bisa dianggap sembarang. Beliau adalah Kiyai Muhammad Faqih Maskumambang bin Abdul Djabbar (l. 1857 – w. 1937 M)
lahir di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Semua berawal dari tanah
suci, Makkah, yang saat itu masih dipimpin oleh keturunan Bani Hasyim, suku
mulia yang melahirkan Rasulullah Muhammad Saw. Sang pemimpin adalah Syarif
Husein bin Ali (1856-1931 M). Ia terkenal sebagai pemimpin Revolusi Arab
melawan dominasi Turki Utsmani (Ottoman)—hingga akhirnya Ottoman berhasil
dikalahkan pada 1917 M. Dua tahun berselang, Syarif Husein pun tampil sebagai
penguasa Hijaz yang sejati.
Pada 1924 M, seorang
petinggi suku bernama Adul Aziz bin Sa’ud berusaha merampas tampuk kepemimpinan
Syarif Husein, dan ia berhasil. Nama Sa’ud yang ia emban di belakang namanya
itu, otomatis mengubah nama Hijaz menjadi Arab Saudi.
Ketika berhasil menguasai Hijaz, Abdul Aziz yang menganut paham
Wahabiyah—dengan semena-mena melakukan penghancuran kubah maqam para Sahabat
Nabi, awliya, serta pusara orang-orang Saleh di Makkah dan Madinah. Semua rata
tanah, kecuali kubah maqam Rasulullah saja.
Menyikapi fenomena
mengkhawatirkan itu, para ulama Nusantara berembug di Surabaya dan kemudian
membentuk Komite Hijaz. Komite ini lantas dipimpin KH. Wahab Chasbullah, dari
Jombang. Misi komite ini mencakup beberapa hal. Pertama, menghentikan
penghancuran maqam suci, dan peninggalan Islam awal. Kedua, memberi
kebebasan kepada umat Islam yang berziarah ke Makkah sesuai keyakinan madzhab
mereka masing-masing.
Kedatangan rombongan komite
disambut hangat oleh para petinggi ulama Haramain seperti, Sayyid Muhammad bin
Bakri Syatha’, Syaikh Asy’ari, dan ulama lain. Di hadapan Raja Abdul Aziz,
komite mengajukan misi mereka dan meminta raja mengembalikan kondisi Masjid
l-Haram seperti sedia kala, sebagaimana yang ditinggalkan generasi salaf
dan khalaf. Menanggapi tuntutan itu, Abdul Aziz berkata, “Aku sama
seperti kalian, penganut empat madzhab. Hanya saja, apabila kalian wahai para
ulama Nahdliyin, pengikut madzhab Syafi’i, maka aku penganut madzhab Hanbali.
Kalian Syafi’iyah dan kami Hanbaliyah, dan kita patut bersyukur atas itu
semua.”
Usai kembali dari Hijaz,
komite lantas membentuk lajnah (organisasi) para ulama yang bertujuan
membela aqidah ahl sunnah wa l-jamaah (Sunni) pada 1925, yang bernama
Nahdlatul Ulama (NU). Jabatan ketua (Rais ‘Am) diserahkan kepada KH. Muhammad
Hasyim Asy’ariy, dan KH. Muhammad Faqih Maskumambang sebagai wakil (Naib ‘Am).
Penunjukkan Kiyai Faqih sebagai wakil ketua NU itu, juga berkaitan erat dengan
kitab yang pernah beliau karang pada 1922, berjudul an-Nushush al-Islamiyyah
fi Raddi ‘ala al-Madzahib al-Wahhabiyyah yang semula ingin diberi judul, ar-Risalah
bi Taqlid al-Wahhabiyah li an-Nashara al-Brustantiyah li Ajli Mahw al-Madzhib
as-Sunniyyah (Sebuah Risalah yang Mengungkap Taklid Golongan Wahabi kepada
Kristen Protestan dalam Menghapus Madzhab Sunni). Kitab ini dengan keras
menolak Wahabi sebagai madzhab dengan membongkar penyimpangannya sedari Ibn
Taimiyah, hingga Abdul Qadir at-Tilimsani.
Kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab itu pernah diterbitkan oleh Darul Kutub al-Islamiyah di Mesir pada
1922—sebelum akhirnya hilang dari permukaan literasi lalu kemudian ditemukan
kembali oleh penerbit Sahifa dan diterbitkan ulang pada 2015 lalu, dalam bahasa
Indonesia. Kelebihan kitab ini dan tentu Kiyai Faqih sebagai pengarangnya adalah,
telah lebih dulu mengulas madzhab Wahabi (dua tahun lebih awal) dari perebutan
Hijaz oleh Abdul Aziz bin Sa’ud.
Lantas, ada apa dan kenapa
dengan Wahabi?
Wahabiyah adalah sebutan
kepada suatu kelompok yang dinisbatkan pada pendirinya, Muhammad bin Abdul
Wahab yang muncul di Nejd sekira 250 tahun lalu (Abad 12 H/18 M). Sejak muncul
di tanah Arab, golongan ini telah ditandai para ulama masyhur dengan doktrin
mereka yang berbahaya dengan mengafirkan, menghalalkan darah dan harta golongan
yang bukan Wahabi. Formulasi ini bisa ditemukan dalam Kitab at-Tauhid
karangan Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Aliran inilah yang sejak
awal kemunculannya, digandeng oleh Ibn Sa’ud, yang ingin merebut Makkah dari
tangan Bani Hasyim. Jika merunut sejarah kelahirannya, kita akan sampai pada
seorang teolog bernama Ibn Taimiyah (l. 1263 – w. 1328). Siapakah orang ini?
Kiyai Faqih menggambarkannya dengan menukil tulisan Sayyid Murtadha az-Zabidiy
dalam kitab Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin fi Syarh al-Ihya Ulum ad-Din, berikut
tambahan informasi dari Imam as-Subki.
“Pada sekitar penghujung
Abad ke-7 H, datanglah seorang lelaki yang memiliki kelebihan berupa kecerdasan
dan keluasan pengetahuan. Akan tetapi, sayangnya ia tidak menemukan sosok guru
yang bisa mengarahkan dan membimbingnya, sehingga ia terseret mengikuti aliran
Hasyawiyah (perusak keyakinan sebagian pengikut madzhab Syafi’i). Akibatnya ia
sangat berani merumuskan madzhab pemikiran yang diyakininya dan juga berani
mengatakan adanya unsur-unsur sifat makhluk Allah dalam Dzat Allah. Ia telah
memecah persatuan umat Islam dan mengacaukan aqidah mereka. Tak berhenti di
wilayah tauhid dan ilmu kalam saja, perusakan yang ia lakukan juga merembet ke
wilayah lain, seperti halnya ia mengatakan bahwa berziarah ke maqam Rasulullah
Saw. adalah kemaksiatan. Ia juga mengatakan bahwa talaq tiga takkan pernah
dianggap sah, dan apabila ada seseorang yang bersumpah akan menalaq istrinya
lalu melanggar sumpah itu, maka talaq tersebut tetap dihukumi tidak jatuh
(sah).
Akibat dari pandangan tersebut,
para ulama sepakat memenjarakannya dalam waktu lama. Lalu kesepakatan para
ulama tersebut ditaati oleh penguasa di masa itu, sehingga Ibn Taimiyah pun
akhirnya dijebloskan ke dalam penjara. Tak hanya itu, semasa di penjara ini, ia
juga dilarang menulis dan siapa pun dilarang membawakan tinta untuknya. Hingga
kemudian, ia pun meninggal. Kemudian setelah itu, datanglah sekelompok
pengikutnya yang secara rahasia menyebarkan ajarannya, sehingga mereka kembali
menebarkan bahaya ke dalam pemikiran umat. (Faqih, 2015: 64-65)
Selain catatan di atas, Ibn
Taimiyah juga melecehkan Umar bin Khattab, Ali bin ‘Abi Thalib, Ibn ‘Arabi,
Ibnu Sab’in, dan Hujjat l-Islam, al-Ghazali. Padahal semua nama itu
adalah barisan pemuka Islam yang perannya tak mungkin dinafikan begitu saja.
Kerusakan yang sudah sedemikian parah, masih ditambahi lagi oleh pengikut
Wahabi berikutnya dengan ketimpangan lain. Anjuran mereka menerapkan syariat
Islam tak diimbangi dengan pemahaman memadai terkait variabel yang meliputi
konteks kebahasaan (as-siyaq al-lughawi), konteks budaya (as-siyaq
ats-saqafi), konteks kekinian (as-siyaq al-waqi’i). Dampak dari
keterlepasan dari konteks ini, mereka terjebak/sengaja menjebak diri dalam
pemahaman literalis (harfiah) pada teks-teks agama (al-Quran dan Hadits). Tak
heran jika penganut Wahabi mudah sekali menyalahkan pihak lain, lebih tepatnya,
mengafirkan sesama Muslim. Seolah kebenaran dan surga hanya milik mereka,
sementara kesalahan dan neraka adalah milik siapa pun atau golongan mana pun
yang tak berpihak pada mereka.
Kini, setelah hampir seabad
menguasai Makkah dan Madinah, kerajaan Saudi yang menganut paham Wahabi—yang
juga menjalin hubungan politik mesra dengan Barat kristen (Amerika dan Eropa,
terutama Inggris), menyeret begitu banyak kekacauan sektarian yang berbuntut
perang di Timur Tengah—juga pertikaian pikiran di dunia Islam. Saking tak
terkendalinya gelombang kekacauan yang mereka timbulkan, Gus Dur menyebut
gerakan ini sebagai ”agama dalam agama.”
Becermin dari fenomena takfiri
(pengafiran) dan Wahabi di Indonesia, sebagai umat Muslim kita bisa memilih
jalan mana yang seharusnya ditempuh. Jalan kedamaian atau sebaliknya. Jalan
yang akan membuat kita dikenang atau jalan yang kan menjerumuskan kita menuju
kehancuran. Jauh melampaui itu semua, mari kita berpegang teguh pada sebuah
Hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw. berikut ini:
“Akan selalu ada sekelompok
dari umatku yang senantiasa memperjuangkan kebenaran hingga keputusan Allah
(hari kiamat) itu tiba.” HR. Muslim. []
Dimuat di http://riverpost.id/kiyai-dari-maskumambang-melawan-raja-saudi/ pada Jumat, 8 April 2016
No comments:
Post a Comment