Olah Rasa Bangsa

 
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG) 


SEPAK bola dan ulama Indonesia, ibarat mata kiri dan kanan. Jika di Inggris ada MU, maka di sini ada NU! Sayangnya, NU yang kita punya kini digerus oleh segelintir kalangan, semacam Saracen. Kita belum punya klub sekelas MU. Bahkan Timnas U-22 baru saja porak-poranda di Malaysia.

NU itu ibarat timnas, jamiyah. Adapun nahdliyinnya, jemaahnya, ya kita: para pendukungnya.
Entah harus berapa kali lagi kita gigit jari, melihat nasib olahraga yang kian menggemaskan. Praktis hanya bulu tangkis yang sanggup bicara di kancah dunia. Kendati torehan medalinya tak sanggup mendogkrak klasemen Indonesia di SEA Games 2017, pada urutan kelima.

Kita menutup kiprah dalam pesta olahraga se-Asia Tenggara tersebut dengan meraih koleksi 38 medali emas, 63 medali perak, dan 90 medali perunggu. Prestasi terburuk kita dalam ajang ini terjadi pada 2009 silam dengan menduduki peringkat ketiga. Ada apa dengan Indonesia?

Negara kepulauan terbesar ini bahkan tak sanggup melewati Singapura dan Vietnam. Tak apalah Malaysia juara, toh mereka tuan rumah. Namun, kalah dari Singapura yang luas negaranya tak jauh beda dengan Jakarta, itu jelas mengundang pertanyaan.
Menilik fakta tersebut, kita bisa menjadikannya sebagai tolok ukur kemajuan negara tercinta.

Bangsa yang kuat, jelas ditopang kesehatan jiwa raganya. Senada dengan salah sebuah lirik lagu kebangsaan yang sering kita kumandangkan, "Bangunlah jiwanya bangunlah badannya."
Lalu kenapa bangsa kita terpuruk di tingkat mancanegara? Salah Presiden kah? Apa salah Menpora?
Jika kita memang mengaku sebangsa, tanah, air, dan udara, tak elok rasanya jika kegagalan kita timpakan pada satu-dua orang saja.

Indonesia ini milik kita, bukan milik Presiden, apalagi Menpora. Kita bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan negeri ini untuk kemudian hari.

Kegagalan kita berkompetisi olahraga tak perlu terlalu disesali. Mungkin inilah pelajaran berarti dari
Tuhan untuk kita di Indonesia, ketika Idul Kurban tiba.
Jika selama ini kita sibuk pada urusan sendiri, kali ini Tuhan mengajak kita menanggung rasa bersama.

Kekalahan timnas tentu membekas kecewa. Tak satu-dua orang berkabung karenanya. Para Bonek dan Aremania yang tak henti beradu tegang pun, larut dalam nestapa kala pesepak bola pilihan Luis Milla harus berpuas diri menghaturkan medali perunggu untuk Indonesia.

Sepak bola, sebagaimana juga kebangsaan yang diyakini Ben Anderson sebagai "masyarakat imajinasi," telah sangat berhasil membangun tatanan baru dalam kehidupan manusia modern.
Bahkan, tesis Sindhunata menyatakan bahwa agama baru abad-21 adalah sepak bola. Lengkap dengan para "nabinya" meski tanpa kitab suci.

Tengoklah tayangan pertandingan sepak bola pada level puncak sekelas Piala Dunia. Para pemain dan pendukung dalam liga domestik negara masing-masing, yang semula saling tuding, seketika bersatu-padu bila negara mereka bertanding. Jika menang, mereka bersorak-sorai. Bila kalah, air mata pun tumpah ruah. Ada haru dan pilu dalam drama sepak bola.

Barangkali sebelum SEA Games 2017 dihelat, kita teramat serius mengadu pendapat mengurusi keyakinan orang lain. Naluri kebangsaan kita tenggelam di bawah tudung amarah.
Tanpa sadar, kita diadu domba melalui agama. Lantas melupakan asas utama negara yang lahir dari Pancasila ini.

Islam dengan penganut terbanyak di Indonesia jadi lebih sering muncul ke permukaan konflik. Seolah tak boleh ada pemahaman berbeda di seberang sana. Padahal agama dan keberagamaan itu soal berbeda. Keduanya tak bisa dibenturkan.

Agama itu melulu soal wahyu, doktrin, dan dogma. Keberagamaan sarat rasa. Sudah jelas rasa beragama kita tak mungkin sama. Ada yang gemar sedekah. Ada yang rajin ibadah. Ada juga yang ternyata kesengsem mengkaji huruf Hijaiyah.

Anda takkan tahu rasa rendang Sumatera sebelum mencicipinya. Anda juga tak mungkin bisa menghirup aroma mawar hanya dengan m-a-w-a-r belaka.

Mungkin kita perlu menggali rasa bersama, dan bersama merasa, bahwa bangsa Indonesia tak lahir dari ketidaksengajaan sejarah. Kita adalah pelanjut gagasan besar manusia dari masa lalu yang gemilang.

Kita berutang teramat banyak pada mereka--para pendahulu. Andai memang untuk sebuah kehancuran, mengapalah mereka bersusah payah merdeka?

Ritus kurban dalam Islam mestinya bisa kita jadikan pembelajaran, betapa Nabi Ibrahim as tak henti mengurbankan perasaannya demi sebuah ketundukan pada perintah Tuhan.

Jauh setelah turun perintah menyembelih Ismail as, anaknya, Tuhan pernah memerintahkan Ibrahim menuju tanah tak bertuan dan meninggalkan Siti Hajar bersama Ismail yang masih balita.
Tak ada salahnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah laku hanif (lurus) yang dijalankan Bapak Monotheis itu telah kita praktikkan?

Jangan-jangan selama ini kita hanya sibuk membenarkan diri sendiri, namun luput belajar dari kesalahan. Bisa jadi laku beragama kita masih diselimuti dongeng antah berantah.
Manusia itu makhluk perasa. Segala di sekitarnya dirasakan sampai ke bagian diri yang terdalam. Agama menyediakan ruang untuk merasa itu sebagai bagian utama.

Kian dalam kita menyelami agama, semakin tenggelamlah kita dalam kemenyeluruhan hidup dan merayakannya. Itulah kenapa Tuhan mengajari kita ritus kurban, sekaligus mengajak umat manusia agar senantiasa rela berkurban demi kehidupan.

Lalu kenapa kita masih beragama jika hanya menerbitkan pertikaian?


Tenjolaya, 10 Dzulhijjah 1438 H


Diterbitkan Kompas.com pada 01/09/2017, 15:04 WIB

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews