DISADARI
atau tidak, peradaban kita sedang terjun bebas ke titik nadir. Sejak tergilagila
pada diri sendiri (jadi antroposentrik dengan laku narsistik), manusia mulai
melatih diri memutus hubungan dengan dunia makro (metafisik) yang “sulit
dimengerti.” Kemenangan para pegiat Aristotelian, Newtonian, Cartesian, dan
Kantian, dalam menggusur yang sakral dalam kehidupan abad modern, ternyata
berdampak serius pada peradaban manusia. Hari ini, kita bisa membuktikan dan
ikut menanggungnya.
Segala
yang non-fisik, tak ilmiah. Maka wajar bila manusia cenderung sulit mengerti
betapa nun di belakang hidup kita dulu, pernah ada sesosok avatara pengendali
tanah, air, api, udara—yang notabene adalah unsur tubuhnya sendiri. Sejatinya,
itu bukan mitos. Tapi sangat logos, bahkan ada. Masalah manusia sekarang ada
pada terputusnya hubungan antara ia, alam, dan tuhan. Barangkali jika
ditelusur, hanya tinggal segelintir saja dari manusia yang hidup di zaman
modern, bisa melakukan komunikasi dengan; ruang, waktu, matahari, rembulan,
angin, tanah, lautan, api, hewan, tetumbuhan, dll. Sementara saat bersamaan,
manusia tak bisa menafikan peran serta mereka dalam kehidupannya. Tanpa kerja
cerdas tumbuhan memasak udara dari karbon dioksida, misal, manusia tinggal
seonggok kerangka dibalut daging membusuk.
Dalam
Secret Life of The Plant karya Peter
Tompkinn & Christopher Bird (2008, h. 3) tertulis, “Ketika tanah menjadi
kering, akarakar akan berpaling ke arah tanah yang lebih lembab, menemukan
jalan mereka ke dalam saluran yang terkubur dalam tanah, mengembang, dan dalam
kasus tanaman alfalfa rendah, ia mampu mengembang sejauh empat puluh kaki,
membangkitkan energi yang dapat melubangi tembok beton. Belum ada orang yang
menghitung jumlah akar sebatang pohon, tapi sebuah penelitian terhadap tanaman
gandum hitam menemukan jumlah total akar ada sekitar 13 juta dengan panjang
keseluruhan sekitar 380 mil. Pada setiap sulur akar ini terdapat bulubulu akar
yang halus, dan diperkirakan berjumlah sekitar 14 milyar dengan total panjang
sekitar 6.600 mil, hampir seukuran jarak dari kutub ke kutub bumi.” Sungguh
luarbiasa!
Supaya
pembahasan terkait dunia yang centang prenang ini tak melebar, mari kita batasi
kajian seputar bagaimana seharusnya manusia menyikapi tanah dan tetumbuhan—dua
hal yang jelas sangat berdekatan dengan hidup manusia.
Diriwayatkan
dari al-Baihaqi, al-Buzari dan al-Darimi dari Ibn Umar r.a, katanya, “Pada
suatu hari kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Saw. Tetiba datang seorang
badui. Rasulullah pun bertanya, “Hendak ke mana engkau?” Jawabnya, “Mau menemui
keluargaku.” Berkata Rasulullah, “Maukah engkau saya tunjukkan sebuah
kebaikan?” Jawab badui itu, “Kebaikan apakah itu?” Jawab Rasulullah, “Supaya
engkau merasakan mengakui tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah
utusan-Nya.” Orang badui itu pun bertanya, “Apa tandanya engkau utusan Allah?”
Jawab beliau, “Tandanya adalah pohon yang berdiri di ujung lapangan itu.”
Setelah
orang badui tersebut melihat ke arah pohon, tetiba pohon tersebut bergerak ke
kiri dan kanan, ke depan dan ke belakang, sehingga tercerabut akarakarnya, lalu
melompatlompat menuju ke arah Rasulullah Saw, dan akhirnya berdiri tegap di
hadapan beliau. Lalu dengan suara tegas pohon itu berkata, “Aku mengakui bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.” Perkataan ini
diulangi pohon itu sampai tiga kali. Menyaksikan itu, si badui langsung
bersyahadat. Pohon tersebut kembali ke tempat semula dan terlihat biasa lagi.
(Iskandar dalam Peter & Christopher, 2008).
Itu baru salah satu kisah mengagumkan Nabi
Muhammad Saw dengan pepohonan. Masih ada cerita yang lain. Dalam Sejarah Madinah karya Dr. Nizar Abazhah,
2009 (h. 51) terbitan Dar al-Fikr-Damascus-Syria, terdapat sebuah kisah yang
tak kalah mengesankan.
“Masjid
Nabi (Nabawi) waktu itu sebetulnya sebuah lapangan yang dilingkari tembok.
Beralaskan tanah, beratapkan langit. Di tengah masjid, sekarang ada dua ruang
dengan atap seperti payung yang bisa dibuka. Dahulu pada zaman Nabi, di tempat
itu ada pohon kurma. Bila Nabi berbicara di hadapan jamaah yang memenuhi
masjidnya, Beliau akan berdiri di bagian masjid paling depan, dan bersandar
pada batang pohon kurma itu, di sebelah kanan yang sekarang kita kenal sebagai
mihrab Nabi.
Pada
tahun ke-7 dan ke-8 Hijriyah, ketika kaum Muslim mulai membludak dan memadati
masjid, beberapa sahabat antara lain Sa'd ibn Ubadah dan Tamim al-Dari
mengusulkan agar dibuat tempat khusus untuk Nabi berdiri sehingga kelihatan
sampai ke belakang. Maka pada tahun itu pula Beliau mengirim utusan kepada
seorang perempuan untuk menyampaikan pesan, "Suruhlah budak Najjarmu
membuatkan aku penyangga tempat duduk kala berbicara di hadapan orang
banyak."
Titah
Nabi disambut dengan antusias oleh si Najjar. Dibuatlah sebuah mimbar dari
pohon tamaris ghabah. Setelah rampung, Nabi menunjuk tempat yang pas untuk
meletakkannya. Mimbar itu berundak tiga, dan nabi sering duduk di undakan
ketiga. Pada suatu Jumat, setelah mimbar rampung dibuat, Beliau yang mulia keluar
dari pintu kamarnya. Lantas berjalan menuju mimbar, dengan melewati pohon kurma
itu. Ketika Beliau menaiki mimbar untuk berkhutbah, tetiba banyak orang
mendengar rintihan yang sangat memelas. Tangisan itu mengguncangkan tanah yang
menjadi alas masjid. Debu-debu dari tembok masjid berjatuhan. Suara tangisan
itu makin lama kian keras. Para sahabat pun ikut menangis, sambil tidak tahu
dari mana sumber tangisan itu.
Nabi
turun kembali dari mimbarnya. Beliau mendekati pohon kurma, lalu meletakkan
tangannya yang mulia pada batang kurma itu, mengusap, dan kemudian memeluknya.
Pelahan, suara tangisan itu mereda dan akhirnya tenang kembali. Para sahabat
mendengar Nabi berbicara kepada pohon kurma itu, “Maukah kamu aku pindahkan ke
kebunmu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukmin, atau aku
pindahkan kamu ke surga. Setiap akar kamu minum dari minuman surga, lalu para
penghuni surga menikmati buah kurmamu?” Rupanya kurma itu memilih yang kedua,
karena Nabi bersabda, “Af’al insya Allah!
Af’al insya Allah! Af’al insya Allah!” Kemudian Nabi bersabda, “Demi Allah,
yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau tidak aku tenangkan batang kurma itu, dia
akan terus merintih sampai hari kiamat karena kerinduannya kepadaku.”
Dari Bumi ke Langit
DUA
kisah tentang bagaimana Nabi berkomunikasi secara diameteral dengan pepohonan,
jadi bukti betapa dunia kita hari ini telah jungkir balik. Alam atau lebih
mudahnya lingkungan sekitar kita, telah kehilangan pamor dan kehormatan di mata
manusia. Dunia kita tak lagi menaruh perhatian serius pada upaya penyelamatan
lingkungan dengan cara terpadu (permaculture).
Padahal industri adalah jalan pintas rusaknya wajah alam kita sekarang.
Revolusi
Industri yang bergolak di Inggris pada dua abad lampau (1750-1850), menabung
dampak serius yang masih berlangsung hingga kini. Dalam ranah ekonomi. Revolusi
Industri berdampak munculnya pabrikpabrik, lahirnya pengusaha kaya, biaya
produksi rendah sehingga harga barang dan upah buruh pun anjlok, perdagangan
dunia semakin timpang, tumbuhnya kapitalisme industri yang berpusat pada
perseorangan, dan matinya industri rumah tangga.
Dalam
ranah politik. Munculnya kaum borjuis, sebab kemajuan industri melahirkan orangorang
kaya baru penguasa industri. Dari sinilah lahir imperialisme modern, yaitu
upaya mengembangkan kekuasaan berlandaskan kekuatan ekonomi, mencari tanah
jajahan baru, bahan mentah serta mengembangkan pasar bagi industri. Gerakan
penjajahan terencana ini tersistematisasi dalam sistem demokrasi yang kelak
menemu jalan terang dengan kehadiran nasionalisme. Selain itu, liberalisme juga
pelahan merebak ke antero dunia—setelah awalnya hanya berkembang di Inggris
ketika berlangsung Revolusi Agraria dan Revolusi Industri.
Dalam
ranah sosial. Akibat berkembangnya industri, pusat pekerjaan berpindah ke kota.
Terjadilah urbanisasi besar-besaran dari pedesaan. Anakanak petani pergi ke
kota untuk menjadi buruh pabrik. Kotakota besar pun menjadi padat dan semakin
sesak. Para buruh hidup berjejalan di tempat tinggal yang kumuh dan kotor.
Tidak hanya itu, dalam pekerjaan, mereka menjadi objek pemerasan majikan. Buruh
bekerja rata-rata 12 jam sehari, namun tetap miskin. Apa lacur. Kemiskinan pun berakibat
langsung pada meningkatnya kejahatan, ketergantungan pada minuman keras,
pengangguran. Alhasil perempuan dan anak pun ikut bekerja. Sementara jaminan kesehatan
dan kesejahteraan untuk mereka sangat tidak manusiawi.
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa Revolusi Industri menimbulkan adanya imperialisme
modern yang bertujuan mencari bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar bagi
hasil-hasil produksi melalui perdagangan bebas yang kemudian melahirkan konsep
liberalisme. Hal ini berimbas pada negara-negara koloni, seperti juga wilayahwilayah
di Asia yang menjadi jajahan bangsa Eropa. Termasuk Indonesia. Ketika Thomas
Stamford Raffles, gubernur jenderal dari Inggris, berkuasa di Indonesia
(1811–1816), ia berupaya memperkenalkan prinsip-prinsip liberalisme di
Indonesia. Kebijakan yang diberlakukannya, antara lain, memperkenalkan sistem
ekonomi uang, memberlakukan pajak sewa tanah untuk memberi kepastian siapa
pemilik tanah, menghapus penyerahan wajib, menghapus kerja rodi, serta menghapus
perbudakan. Ketika Inggris menyerahkan Indonesia ke tangan Belanda, dibuatlah
perjanjian bahwa Belanda akan tetap memberlakukan perdagangan bebas. Oleh
karena itu, banyak perusahaan Inggris yang berdiri di Indonesia.
Pengaruh
Revolusi Industri juga sampai ke negeri Belanda dan memengaruhi sikap mereka
terhadap tanah jajahan. Politik imperialisme Belanda yang awalnya menggunakan
tata cara kuno, yaitu pemerasan, kekerasan, dan penyedotan kekayaan Indonesia
di kemudian hari, mendapat protes dari kaum humanis Belanda yang berpaham
liberal, seperti Max Havelaar (Mulatuli, nama pena Ernest Douwes Dekker). Maka
muncullah Politik Etis di Indonesia pada 1901, yang dipelopori Pieter
Brooshooft (wartawan koran De Locomotief)
dan C.Th. van Deventer, yang berisi:
Irigasi
(pengairan), membangun pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian koloni
Belanda di Nusantara, agar komoditas yang mereka tanam bisa melipatgandakan
keuntungan bagi Kerajaan Belanda. Emigrasi, yakni mengajak penduduk
bertransmigrasi dengan tujuan agar terjadi persebaran penduduk dan pemerataan
industri. Edukasi, memperluas pengajaran dan pendidikan. Targetnya, supaya
lebih banyak tenaga kerja lokal yang bisa diberdayakan untuk mengelola industri
yang sedang dibangun dan dikembangkan.
Alhasil,
Politik Etis tetap tinggal nama saja. Sebab pada kenyataannya, bangsa Indonesia
masih berada dalam jerat yang sama dalam formasi berbeda. Upaya pembaratan ini
menuai hasil gemilang. Para petani sebagai contoh, secara pelahan tapi pasti,
mulai kehilangan haknya sebagai pemilik lahan. Termasuk kemampuan mereka
bercocok tanam yang telah dialihkan menjadi serba modern. Kearifan lokal dalam
bertani pun luntur satu demi satu. Hubungan harmonis petani dengan tanah sawah
dan ladangnya, raib ditelan kerakusan dan penindasan.
Bertani
bukan lagi sebuah laku mulia yang dialamatkan untuk memenuhi hajat hidup orang
banyak secara baik dan benar. Tanaman dianggap sebagai barang dagangan belaka
demi memenuhi hasrat meraup pundi kekayaan sebanyak mungkin. Sehingga
keberkahan dan kebaikan sebuah tanaman yang diciptakan Allah untuk mengabdi
pada manusia, tak lagi terasa. Proses ini, terus berlangsung hingga sekarang.
Wajar bila ada begitu banyak orang di negeri kita saja misalnya, yang tak lagi
bisa memahami apa bedanya makan untuk hidup atau hidup untuk makan.
Kotakota
yang terus tumbuh karena disokong oleh transmigrasi, memaksa begitu banyak
orang untuk berpindah ruang. Desa dianggap kuno dan tempatnya kekolotan.
Sementara kota dicitrakan sebagai simbol “kemajuan zaman” yang terus bergerak.
Segala anasir yang terjadi di dalamnya, dianggap sebagai dinamika pertumbuhan.
Bukan kemerosotan. Anakanak petani yang kehilangan penghormatan pada sawah
orangtuanya, juga kehilangan kemampuan bercocok tanam demi menghidupi diri sendiri
dengan kedua tangannya.
Mereka
terus berlomba dan bersusah payah menjadi warga kota, sambil terus melupakan
kebaikan (thayyib) mengahasilkan
makanan bagi diri sendiri dan keluarganya. Mereka pun tak lagi peduli bagaimana
makanan itu telah tercemari begitu banyak kerusakan melalui pupuk kimia, cara
mengolah tanah, dan betapa makanan yang kemudian diasupnya halal atau tidak.
Keberkahan hidup pun tak lagi menjadi tujuan utama. Bumi sebagai Ibu dan Langit
sebagai Bapak, tinggal kenangan.
Sekarang
ini, hanya 55 persen kalori tanaman dunia dimakan manusia secara langsung;
sisanya menjadi pakan ternak (sekitar 36 persen) atau diubah menjadi bahan
bakar hayati dan produk industri (kira-kira sembilan persen). Meski banyak
orang makan daging, produk susu, dan telur dari hewan yang dipelihara di area
penggemukan, hanya sebagian kecil kalori dari pakan ternak yang sampai ke kita
melalui daging dan susu. Dalam setiap 100 kalori biji-bijian yang kita berikan
kepada hewan, kita hanya mendapat sekitar 40 kalori baru dari susu, 22 kalori
telur, 12 kalori ayam, 10 kalori babi, atau 3 kalori sapi. Jika kita mencari
cara yang lebih mangkus guna menghasilkan daging dan beralih ke pola makan yang
mengurangi daging—bahkan sekadar mengganti daging dari sapi yang makan
biji-bijian ke daging ayam, atau sapi yang makan rumput—sejumlah besar makanan
di seluruh dunia dapat kemudian dikonsumsi langsung oleh manusia. (Jonathan,
2014)
Manusia
yang melupakan fitrahnya sebagai makhluk mulia, jelas akan terus melakukan
perusakan pada diri sendiri. Ia bahkan tak lagi mengerti bahwa kita diminta
oleh tuhan untuk membina dan menjalin hubungan mesra dengan alam, khususnya
bumi. Corak berpikir semacam ini sudah sangat sulit ditemukan dalam kehidupan
kita sekarang, kecuali segelintir orang saja yang masih mau melakoninya dengan
susah payah.
Kita
sering membaca-mendengar seputar kisah bangsa besar di masa lalu. Tentang
bagaimana mereka lahir, tumbuh, membiak, berkembang, membesar, mendunia, dan
menyejarah. Tapi sedikit saja yang kita ketahui soal bagaimana semua yang
mereka lakukan, menguap begitu saja dalam kehancuran. Apa yang menyebabkan
semua adab besar nan unggul yang pernah ada kemudian punah? Kenapa selalu
artefak belaka yang mereka sisakan? Apakah biang keladi kehancuran mereka?
Siapa pula yang menjadi pelanjut tongkat estafet semua peradaban itu sebelum
sampai ke tangan kita? Apa sejatinya yang mereka wariskan pada kita?
Kenapa
bangsabangsa besar itu raib begitu saja? Apakah yang terjadi pada mereka, juga
kita alami hari ini? Adakah benturan antara agama dan negara juga membuat
mereka goyah dan terbelah—lantas kemudian punah? Jika memang benar semua bangsa
unggul itu telah mencapai puncak azimut kejayaan dalam segala bidang (termasuk
pengetahuan & spiritualitas), lantas kenapa mereka merosot ke titik nadir?
Tak cukupkah dua anasir peradaban itu bagi mereka? Sementara kedua hal itulah
yang dikejar sekuat tenaga oleh Abad Modern yang kita hidupi hari ini.
Jejak
yang ditinggalkan nenek moyang kita dari masa lalu, tak sepenuhnya bisa
ditelusuri. Bukan tak mungkin, hal yang sama juga terjadi pada kita dan
generasi mendatang. Malah bisa jadi lebih tragis dari itu. Sampai hari ini, tak
satu pun kita bisa memastikannya. Semua butuh diuji dan dibuktikan. Sejarah
yang akan menjawabnya. Sayang, sedikit sekali manusia yang mau menyelam ke
dalam sejarah. Cicero, filsuf Yunani pernah berkata, "Orang yang menafikan
sejarah dalam hidupnya, maka dia adalah kanakkanak seumur hidupnya ..."
Harus
diakui, kini wajah dunia kita jadi buruk rupa kerana ada milyaran orang yang
melakukan sesuatu tapi bukan berdasar kemampuannya. Ada banyak zombie di
manamana. Manusia tinggal atribut belaka. Mereka tak lebih dari onggokan daging
yang melekat pada tulang belulangnya. “Aku melawan saudara kandungku; aku dan
saudara kandungku melawan sepupuku; aku, saudara kandungku, dan sepupuku,
melawan klan lain.” Bunyi pepatah kuno itu kini kita saksikan di depan mata.
Perang pecah di manamana. Sedari tepian Afrika, hingga Timur Tengah. Manusia
telah kehilangan harga dirinya yang sejati selaku makhluk mulia.
Jadi
atas kepentingan apakah Abad Modern ini dikembangkan? Dari manusia untuk
manusia? Sayangnya, tidak. Apa yang kita alami dan rasakan, jauh panggang dari
api. Padahal Nabi Muhammad Saw pernah menitipkan pesan bahwa, "Permulaan
akal, setelah iman/agama, adalah menunjukkan kecintaan kepada manusia." Kita
harus bisa menjawab dari mana muara kerumitan hidup manusia hari ini. Kita
bahkan harus menaikkan keberanian beberapa tingkat untuk angkat bicara,
bertindak, dan menyelamatkan begitu banyak korban yang masih dan akan terus
berjatuhan akibat degradasi alam yang kita picu sendiri. []
Dimuat Alif.id pada Selasa, 06 Maret 2018
Ren
Muhammad, 9 Februari 2018
No comments:
Post a Comment