Reno Guenon (pernah dimuat di Republika)
Desa terpencil di pesisir pulau Sumatra tepatnya bagian Utara itu kelihatan begitu tenang dan damai. Seluruh warga desa seperti terkesan tak tersentuh oleh perkembangan atau kemajuan dari luar desa. Mereka lebih menyukai hidup tenang dan nyaman. Bersahaja juga tentu bahagia. Tidak seperti kehidupan warga kota; semrawut, ketaknyamanan, penuh intrik dan kelicikan.
Sebagian kecil penduduk menggantungkan hidupnya dengan berfrofesi sebagai nelayan. Aneh memang kedengarannya? Masyarakat di Desa terpencil wilayah pesisir ini tidak begitu menyukai bidang pekerjaan sebagai nelayan. Entah karena apa, mereka juga tak tahu. Kebetulan tanah di wilayah desa terpencil ini terbilang cukup subur, maka mereka juga bercocok tanam, untuk kemudian hasilnya dijual di pelabuhan tradisional, di mana Jung-jung besar dari pulau lain bersandar untuk menjual barang dagangannya dan membeli hasil-hasil pertanian dari masyarakat desa terpencil itu.
Begitulah pemandangan sehari-hari di Desa terpencil. Semuanya berjalan teratur dan berkesinambungan. Segalanya berjalan biasa-biasa saja dan bahkan telah menjadi kebiasaan. Namun rutinitas sehari-hari tersebut agak sedikit berubah sejak kepulangan seorang putra desa bernama Roe dari Tanah suci setelah ia menyelesaikan sekolahnya di sana. Awalnya mereka menyambut baik kepulangan pemuda itu dari Tanah suci. Karena biar bagaimanapun, kebanggaan atas keberhasilan salah seorang putra desa itu tak dapat disembunyikan dengan baik di dalam hati. Tapi lama-kelamaan, mereka malah dibuat repot oleh kepulangan Roe dari Tanah Suci itu.
Hari itu Jumat pukul 11.30 WIB. Roe dan sebagian besar warga masyarakat berangkat menuju ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di dalam perjalanan ia keliahatan begitu akrab dengan beberapa orang teman masa kecilnya dulu. Juga dengan seorang lelaki paruh baya, gurunya sewaktu di SD dulu. Mendadak keakraban itu berubah seketika manakala mereka tiba di Masjid dan Roe menyaksikan teman-teman masa kecil dan juga gurunya itu kencing sambil berdiri di pinggir sebuah sungai tak jauh dari tempat ia mengambil wudhu. Bahkan bukan cuma mereka saja, seluruh warga desa tersebut juga melakukan hal serupa sebelum mereka mulai berwudhu. Dari sinilah persoalan kencing sambil berdiri itu muncul menjadi perbincangan sehari-hari dari warga masyarakat Desa terpencil, khususnya mereka kaum laki-laki.
Keesokan harinya, warga di sekitar Masjid menemukan sebuah papan pengumuman di pinggir sungai, tempat di mana mereka biasa membuang air kecil sambil berdiri.. Di dalam papan pengumuman itu tertera tiga buah kata: dilarang kencing berdiri! Langsung saja tiga buah kata tadi segera menimbulkan begitu banyak pertanyaan di kepala mereka masing-masing. Tentang siapa dan apa maksud dari orang misterius itu menuliskan tiga kata tersebut.
Karena bingung dan tak mau semakin bingung. Maka ikhwal ditemukannya papan misterius itu segera dilaporkan kepada Tokoh masyarakat setempat. Setelah selidik-menyelidiki, belakangan baru diketahui dari mulut seorang bocah kecil tentang siapa orang misterius itu. Ternyata nama Roe menjadi jawabannya. Para warga dan Tokoh masyarakat sebenarnya tak begitu yakin dengan jawaban si bocah. Tapi karena bingung dan tak mau semakin bingung, mereka langsung mendatangi Roe untuk menanyakan keabsahannya.
Usai mengucap salam dan, mengutarakan maksud kedatangan, maka Roe dengan senang hati mempersilahkan rombongan masyarakat itu untuk masuk, tapi hanya tokoh masyarakat saja. Lainnya tidak. Mengingat sedang berhadapan dengan seorang pemuda berpendidikan, Tokoh masryarakt mulai bertanya dengan penuh kehati-hatian, takut kalau-kalau pertanyaannya malah menyakiti hati Roe.
-- Saya mohon maaf sebelumnya, Roe
-- Langsung saja, pak. Apa maksud kedatangan Anda kemari?
-- Saya Cuma mau menyakanee.. anu..
-- Anu apa? Tentang papan pengumuman itu?
Sontak Tokoh masyarakat terbelalak matanya. Betapa ia tidak menduga bahwa Roe adalah pelakunya.
-- Tapi apa maksudmu dengan tulisan itu, Roe, Bukankah kencing sambil berdiri sudah lumrah terjadi di desa kita?
-- Tapi tidak demikian halnya di Tanah Suci. Dan baginda Rasul tidak pernah melakukannya. Jika mengaku sebagai ummatnya, maka ikutilah semua ajarannya.
-- Lalu jika tidak berdiri, apa kita harus jongkok? Itu kan caranya perempuan?
-- Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki sama saja
-- Coba kau jelaskan apa keuntungan dari kencing tidak sambil berdiri? -- Bacalah kitab, nanti juga kalian mengerti.
Tanpa mengucap sepatah kata lagi dari mulutnya, Roe baranjak meninggalkan Tokoh masyarakat itu sendiri di ruang tamu. Ia termangu dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Seminggu berselang setelah kejadian papan pengumuman itu, Roe kembali membuat gempar seisi kampung setelah kecamannya untuk tidak kencing sambil berdiri menelan korban yaitu seorang pemuda berandalan.
-- Astaghfirulllah! Kenapa kau kencingi pohon itu?
-- Aku sudah tak tahan. Dan lagi kukira, semoga ia tambah subur dengan siraman air kencingku.
-- Tidakkah kau mendengar di kaki pohon itu ada ratusan ribu ratapan tersendat dari semut-semut tak berdosa?
-- Mana aku bisa dengar suara binatang!
-- Sekarang jawab pertanyaanku! Bagaimana cara anjing membuang air seninya?
-- Dengan berdiri sambil mengangkat satu kaki!
-- Kalau begitu kau tak ubahnya seperti anjing! Biadab dan tak beradab! Anehnya, si pemuda berandal tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Roe tersebut. Keduanya lalu berpisah, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada mereka. Namun keanehan muncul pada diri si Pemuda berandal. Kepalanya seketika berubah menjadi kepala anjing. Dan kenyataan itu baru ia ketahui setelah orang-orang memberitahukannnya. Si pemuda berandal pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Setelah peristiwa berubahnya kepala Pemuda berandal menjadi kepala anjing, suasana di Desa terpencil pun berubah dengan sendirinya. Di beberapa tempat muncul kelompok pendukung dan penentang Roe. Kelompok pendukung mulai mengikuti seruan Roe karena takut kepalanya berubah menjadi kepala anjing, dan bukan karena mereka telah membaca kitab seperti seruan Roe sebelumnya. Sementara kelompok penentang jelas-jelas menolak dengan dalih bahwa Roe adalah tukang sihir dan pengikut aliran sesat. Bahkan saking panasnya ketegangan, kedua belah pihak hampir saja terlibat baku hantam jika tidak didamaikan oleh Tokoh masyarakat.
Masalah belum berhenti sampai di situ. Seorang lelaki datang menemui Tokoh masyarakat sambil mengeluh. Lelaki itu mengatakan bahwa beberapa hari sebelumnya ia sempat bertemu dengan Roe ketika sedang kencing di sungai, sambil berdiri tentunya. Waktu itu Roe mengatakan bahwa ia akan terus berdiri jika tak pernah mau mengikuti ajakan Roe untuk tidak kencing sambil berdiri. Kini ucapan Roe terbukti. Karena sejak pertemuan singkatnya dengan Roe waktu itu, ia tetap terus berdiri sampai sekarang. Bahkan untuk tidur sekalipun, ia harus tetap melakukannya dalam posisi berdiri.
Dengan bertambahnya daftar kejadian aneh di Desa terpencil, maka Roe mulai diperhitungkan keberadaannya. Semakin banyak orang-orang mendukung, dan semakin banyak pula para penentangnya. Sebagian pendukung mengatakan bahwa Roe adalah seorang Wali, dan sebagian kelompok penentang mengatakan bahwa Roe adalah jelmaan dari syetan alas. Kini ketegangan terasa semakin memanas, karena bukan cuma baku hantam, mereka malah saling memusuhi satu sama lain. Segala dalih mereka lontarkan untuk memperkuat posisinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat.
Desa terpencil itu tak lagi seperti dulu. Ketenangan dan juga kedamaian, kini beralih menjadi perselisihan, perkelahian dan pertikaian. Sehingga tak jarang akibat dari itu semua adalah jatuhnya korban pada kedua belah pihak; entah terluka, cacat atau bahkan meninggal dunia. Suatu kali, sebelum sempat beradu jotos, beberapa orang dari kelompok penentang Roe melakukan aksi kencing sambil berdiri secara terang-terangan persis di depan para pendukung Roe. Dan malang bagi mereka kelompok penentang itu. Setelah melakukan aksinya, kepala mereka langsung berubah menjadi kepala anjing juga.
Tak ayal lagi. Kejadian terakhir ini malah semakin memperkeruh keadaan. terutama bagi mereka para penentang Roe. Berbondong-bondong mereka mendatangi rumah Tokoh masyarakat dan menuntut agar Roe segera diusir dari Desa terpencil, karena ia telah menyebarkan ilmu sihir dan juga telah merugikan banyak warga akibat ulahnya. Karena mendapat desakan terus-menerus dari warganya, maka Tokoh masyarakat tak punya pilihan lain lagi kecuali memenuhi keinginan warganya itu. Maka Tokoh masyarakat pun segera mendatangi Roe guna mmenyelesaikan masalah dari warga Desa terpencil.
-- Sebelumnya saya mohon maaf, Roe. Sebenarnya berat bagi saya untuk bisa mengatakan ini padamu.
-- Bicaralah, pak. Sekiranya itu perlu.
-- Baiklah. Begini ceritanya. Hampir sebagian besar dari warga desa menginginkan agar kau segera pergi dari desa ini.
-- Apa alasan mereka menyuruh saya pergi!
-- Ee anu..
-- Seenaknya saja mereka menyuruh saya pergi dari sini. Justru tanah di desa ini tak sudi lagi untuk diinjak oleh mereka. Katakan pada mereka sekarang juga, bahwa mereka harus pergi dari desa ini selamanya! Seketika Tokoh masyarakat dibuat tertegun oleh jawaban Roe itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi dari mulutnya, Roe beranjak meninggalkan Tokoh masyarakat sendiri di ruang tamu. Ia duduk termangu dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Seminggu berselang. Seluruh warga dari Desa terpencil kembali dibuat geger atas kematian dari beberapa orang penentang Roe. Aneh memang? Tanpa sebab-musabab apapun, mereka kini pergi untuk selamanya dari Desa terpencil. Dan untuk itu, Roe kembali dituding sabagai biang keladinya.
Rumah Tokoh mayarakat kini telah dipadati oleh kelompok penentang dari pemuda Roe. Mereka semakin gencar melakukan tekanan pada Tokoh masyarakat untuk mengambil langkah tegas berkaitan dengan persoalan dilarang kencing sambil berdiri seruan dari pemuda Roe.
-- Roe harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kepala saya seperti semula!
Teriak salah seorang penentang berkepala anjing.
-- Ya, dia juga harus bertanggung jawab atas ketersiksaan saya karena harus berdiri terus-menerus!
Karena bingung dan tak mau semakin bingung, maka Tokoh masyarakat segera meninggalkan kerumunan orang-orang itu dan bergegas menuju ke kediaman Roe. Apapun kejadiannya nanti, ia harus bisa membuat Roe mengalah dan tidak berulah kembali dengan seruan dilarang kencing sambil berdirinya. Sepintas terbersit dalam pikiran Tokoh masyarakat bahwa seruan Roe itu memang ada benarnya juga. Tapi tiba-tiba ia menghapus pikirannya itu setelah sadar bahwa ia sedang mengemban tugas besar dari warga Desa terpencil.
Sementara di tempat lain. Segerombolan pemuda berkepala anjing berjalan sambil menenteng senjata tajam di tangan masing-masing. Mereka kini tengah bersiap-siap untuk menanti mangsanya di balik rerimbunan semak belukar. Tak perlu lama menunggu, mangsa itu kini muncul dengan mengenakan baju Ghamis di tubuhnya. Seorang pemuda tampan berjalan sambil mendekap sebuah kitab di dada. Ia berjalan tenang menyusuri jalan setapak untuk menuju ke rumahnya. Sekonyong-konyong, segerombolan pemuda berkepala anjing itu langsung menghunjamkan senjatanya kepada pemuda berbaju Ghamis tersebut.
Darah segar bermuncratan membasahi bumi. Mengalir dan menggenang di antara rerimbunan semak belukar. Pemuda berbaju Ghamis berakhir hidupnya di ujung senjata dari gerombolan pemuda berkepala anjing. Lalu mereka menguburkan mayat pemuda itu persis di tempat ia terbunuh tadi. Bersama genangan darah dan sebuah kitab terdekap di dada. Tiba-tiba gerombolan pemuda berkepala anjing itupun berubah bentuk tubuhnya persis seperti seekor anjing, utuh. Tanpa diperintah dan memerintah, gerombolan anjing itu segera mengangkat satu kakinya untuk kemudian mengencingi gundukan tanah itu dengan sebuah batu nisan dan empat rangkaian kata tertera di dalamnya; tidak dilarang kencing berdiri.
Pojokjakarta, februari satu 2004 Dzulhijjah sepuluh 1424 H
Desa terpencil di pesisir pulau Sumatra tepatnya bagian Utara itu kelihatan begitu tenang dan damai. Seluruh warga desa seperti terkesan tak tersentuh oleh perkembangan atau kemajuan dari luar desa. Mereka lebih menyukai hidup tenang dan nyaman. Bersahaja juga tentu bahagia. Tidak seperti kehidupan warga kota; semrawut, ketaknyamanan, penuh intrik dan kelicikan.
Sebagian kecil penduduk menggantungkan hidupnya dengan berfrofesi sebagai nelayan. Aneh memang kedengarannya? Masyarakat di Desa terpencil wilayah pesisir ini tidak begitu menyukai bidang pekerjaan sebagai nelayan. Entah karena apa, mereka juga tak tahu. Kebetulan tanah di wilayah desa terpencil ini terbilang cukup subur, maka mereka juga bercocok tanam, untuk kemudian hasilnya dijual di pelabuhan tradisional, di mana Jung-jung besar dari pulau lain bersandar untuk menjual barang dagangannya dan membeli hasil-hasil pertanian dari masyarakat desa terpencil itu.
Begitulah pemandangan sehari-hari di Desa terpencil. Semuanya berjalan teratur dan berkesinambungan. Segalanya berjalan biasa-biasa saja dan bahkan telah menjadi kebiasaan. Namun rutinitas sehari-hari tersebut agak sedikit berubah sejak kepulangan seorang putra desa bernama Roe dari Tanah suci setelah ia menyelesaikan sekolahnya di sana. Awalnya mereka menyambut baik kepulangan pemuda itu dari Tanah suci. Karena biar bagaimanapun, kebanggaan atas keberhasilan salah seorang putra desa itu tak dapat disembunyikan dengan baik di dalam hati. Tapi lama-kelamaan, mereka malah dibuat repot oleh kepulangan Roe dari Tanah Suci itu.
Hari itu Jumat pukul 11.30 WIB. Roe dan sebagian besar warga masyarakat berangkat menuju ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Di dalam perjalanan ia keliahatan begitu akrab dengan beberapa orang teman masa kecilnya dulu. Juga dengan seorang lelaki paruh baya, gurunya sewaktu di SD dulu. Mendadak keakraban itu berubah seketika manakala mereka tiba di Masjid dan Roe menyaksikan teman-teman masa kecil dan juga gurunya itu kencing sambil berdiri di pinggir sebuah sungai tak jauh dari tempat ia mengambil wudhu. Bahkan bukan cuma mereka saja, seluruh warga desa tersebut juga melakukan hal serupa sebelum mereka mulai berwudhu. Dari sinilah persoalan kencing sambil berdiri itu muncul menjadi perbincangan sehari-hari dari warga masyarakat Desa terpencil, khususnya mereka kaum laki-laki.
Keesokan harinya, warga di sekitar Masjid menemukan sebuah papan pengumuman di pinggir sungai, tempat di mana mereka biasa membuang air kecil sambil berdiri.. Di dalam papan pengumuman itu tertera tiga buah kata: dilarang kencing berdiri! Langsung saja tiga buah kata tadi segera menimbulkan begitu banyak pertanyaan di kepala mereka masing-masing. Tentang siapa dan apa maksud dari orang misterius itu menuliskan tiga kata tersebut.
Karena bingung dan tak mau semakin bingung. Maka ikhwal ditemukannya papan misterius itu segera dilaporkan kepada Tokoh masyarakat setempat. Setelah selidik-menyelidiki, belakangan baru diketahui dari mulut seorang bocah kecil tentang siapa orang misterius itu. Ternyata nama Roe menjadi jawabannya. Para warga dan Tokoh masyarakat sebenarnya tak begitu yakin dengan jawaban si bocah. Tapi karena bingung dan tak mau semakin bingung, mereka langsung mendatangi Roe untuk menanyakan keabsahannya.
Usai mengucap salam dan, mengutarakan maksud kedatangan, maka Roe dengan senang hati mempersilahkan rombongan masyarakat itu untuk masuk, tapi hanya tokoh masyarakat saja. Lainnya tidak. Mengingat sedang berhadapan dengan seorang pemuda berpendidikan, Tokoh masryarakt mulai bertanya dengan penuh kehati-hatian, takut kalau-kalau pertanyaannya malah menyakiti hati Roe.
-- Saya mohon maaf sebelumnya, Roe
-- Langsung saja, pak. Apa maksud kedatangan Anda kemari?
-- Saya Cuma mau menyakanee.. anu..
-- Anu apa? Tentang papan pengumuman itu?
Sontak Tokoh masyarakat terbelalak matanya. Betapa ia tidak menduga bahwa Roe adalah pelakunya.
-- Tapi apa maksudmu dengan tulisan itu, Roe, Bukankah kencing sambil berdiri sudah lumrah terjadi di desa kita?
-- Tapi tidak demikian halnya di Tanah Suci. Dan baginda Rasul tidak pernah melakukannya. Jika mengaku sebagai ummatnya, maka ikutilah semua ajarannya.
-- Lalu jika tidak berdiri, apa kita harus jongkok? Itu kan caranya perempuan?
-- Dalam hal ini, perempuan dan laki-laki sama saja
-- Coba kau jelaskan apa keuntungan dari kencing tidak sambil berdiri? -- Bacalah kitab, nanti juga kalian mengerti.
Tanpa mengucap sepatah kata lagi dari mulutnya, Roe baranjak meninggalkan Tokoh masyarakat itu sendiri di ruang tamu. Ia termangu dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Seminggu berselang setelah kejadian papan pengumuman itu, Roe kembali membuat gempar seisi kampung setelah kecamannya untuk tidak kencing sambil berdiri menelan korban yaitu seorang pemuda berandalan.
-- Astaghfirulllah! Kenapa kau kencingi pohon itu?
-- Aku sudah tak tahan. Dan lagi kukira, semoga ia tambah subur dengan siraman air kencingku.
-- Tidakkah kau mendengar di kaki pohon itu ada ratusan ribu ratapan tersendat dari semut-semut tak berdosa?
-- Mana aku bisa dengar suara binatang!
-- Sekarang jawab pertanyaanku! Bagaimana cara anjing membuang air seninya?
-- Dengan berdiri sambil mengangkat satu kaki!
-- Kalau begitu kau tak ubahnya seperti anjing! Biadab dan tak beradab! Anehnya, si pemuda berandal tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Roe tersebut. Keduanya lalu berpisah, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada mereka. Namun keanehan muncul pada diri si Pemuda berandal. Kepalanya seketika berubah menjadi kepala anjing. Dan kenyataan itu baru ia ketahui setelah orang-orang memberitahukannnya. Si pemuda berandal pun jatuh tersungkur tak sadarkan diri.
Setelah peristiwa berubahnya kepala Pemuda berandal menjadi kepala anjing, suasana di Desa terpencil pun berubah dengan sendirinya. Di beberapa tempat muncul kelompok pendukung dan penentang Roe. Kelompok pendukung mulai mengikuti seruan Roe karena takut kepalanya berubah menjadi kepala anjing, dan bukan karena mereka telah membaca kitab seperti seruan Roe sebelumnya. Sementara kelompok penentang jelas-jelas menolak dengan dalih bahwa Roe adalah tukang sihir dan pengikut aliran sesat. Bahkan saking panasnya ketegangan, kedua belah pihak hampir saja terlibat baku hantam jika tidak didamaikan oleh Tokoh masyarakat.
Masalah belum berhenti sampai di situ. Seorang lelaki datang menemui Tokoh masyarakat sambil mengeluh. Lelaki itu mengatakan bahwa beberapa hari sebelumnya ia sempat bertemu dengan Roe ketika sedang kencing di sungai, sambil berdiri tentunya. Waktu itu Roe mengatakan bahwa ia akan terus berdiri jika tak pernah mau mengikuti ajakan Roe untuk tidak kencing sambil berdiri. Kini ucapan Roe terbukti. Karena sejak pertemuan singkatnya dengan Roe waktu itu, ia tetap terus berdiri sampai sekarang. Bahkan untuk tidur sekalipun, ia harus tetap melakukannya dalam posisi berdiri.
Dengan bertambahnya daftar kejadian aneh di Desa terpencil, maka Roe mulai diperhitungkan keberadaannya. Semakin banyak orang-orang mendukung, dan semakin banyak pula para penentangnya. Sebagian pendukung mengatakan bahwa Roe adalah seorang Wali, dan sebagian kelompok penentang mengatakan bahwa Roe adalah jelmaan dari syetan alas. Kini ketegangan terasa semakin memanas, karena bukan cuma baku hantam, mereka malah saling memusuhi satu sama lain. Segala dalih mereka lontarkan untuk memperkuat posisinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat.
Desa terpencil itu tak lagi seperti dulu. Ketenangan dan juga kedamaian, kini beralih menjadi perselisihan, perkelahian dan pertikaian. Sehingga tak jarang akibat dari itu semua adalah jatuhnya korban pada kedua belah pihak; entah terluka, cacat atau bahkan meninggal dunia. Suatu kali, sebelum sempat beradu jotos, beberapa orang dari kelompok penentang Roe melakukan aksi kencing sambil berdiri secara terang-terangan persis di depan para pendukung Roe. Dan malang bagi mereka kelompok penentang itu. Setelah melakukan aksinya, kepala mereka langsung berubah menjadi kepala anjing juga.
Tak ayal lagi. Kejadian terakhir ini malah semakin memperkeruh keadaan. terutama bagi mereka para penentang Roe. Berbondong-bondong mereka mendatangi rumah Tokoh masyarakat dan menuntut agar Roe segera diusir dari Desa terpencil, karena ia telah menyebarkan ilmu sihir dan juga telah merugikan banyak warga akibat ulahnya. Karena mendapat desakan terus-menerus dari warganya, maka Tokoh masyarakat tak punya pilihan lain lagi kecuali memenuhi keinginan warganya itu. Maka Tokoh masyarakat pun segera mendatangi Roe guna mmenyelesaikan masalah dari warga Desa terpencil.
-- Sebelumnya saya mohon maaf, Roe. Sebenarnya berat bagi saya untuk bisa mengatakan ini padamu.
-- Bicaralah, pak. Sekiranya itu perlu.
-- Baiklah. Begini ceritanya. Hampir sebagian besar dari warga desa menginginkan agar kau segera pergi dari desa ini.
-- Apa alasan mereka menyuruh saya pergi!
-- Ee anu..
-- Seenaknya saja mereka menyuruh saya pergi dari sini. Justru tanah di desa ini tak sudi lagi untuk diinjak oleh mereka. Katakan pada mereka sekarang juga, bahwa mereka harus pergi dari desa ini selamanya! Seketika Tokoh masyarakat dibuat tertegun oleh jawaban Roe itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi dari mulutnya, Roe beranjak meninggalkan Tokoh masyarakat sendiri di ruang tamu. Ia duduk termangu dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Seminggu berselang. Seluruh warga dari Desa terpencil kembali dibuat geger atas kematian dari beberapa orang penentang Roe. Aneh memang? Tanpa sebab-musabab apapun, mereka kini pergi untuk selamanya dari Desa terpencil. Dan untuk itu, Roe kembali dituding sabagai biang keladinya.
Rumah Tokoh mayarakat kini telah dipadati oleh kelompok penentang dari pemuda Roe. Mereka semakin gencar melakukan tekanan pada Tokoh masyarakat untuk mengambil langkah tegas berkaitan dengan persoalan dilarang kencing sambil berdiri seruan dari pemuda Roe.
-- Roe harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kepala saya seperti semula!
Teriak salah seorang penentang berkepala anjing.
-- Ya, dia juga harus bertanggung jawab atas ketersiksaan saya karena harus berdiri terus-menerus!
Karena bingung dan tak mau semakin bingung, maka Tokoh masyarakat segera meninggalkan kerumunan orang-orang itu dan bergegas menuju ke kediaman Roe. Apapun kejadiannya nanti, ia harus bisa membuat Roe mengalah dan tidak berulah kembali dengan seruan dilarang kencing sambil berdirinya. Sepintas terbersit dalam pikiran Tokoh masyarakat bahwa seruan Roe itu memang ada benarnya juga. Tapi tiba-tiba ia menghapus pikirannya itu setelah sadar bahwa ia sedang mengemban tugas besar dari warga Desa terpencil.
Sementara di tempat lain. Segerombolan pemuda berkepala anjing berjalan sambil menenteng senjata tajam di tangan masing-masing. Mereka kini tengah bersiap-siap untuk menanti mangsanya di balik rerimbunan semak belukar. Tak perlu lama menunggu, mangsa itu kini muncul dengan mengenakan baju Ghamis di tubuhnya. Seorang pemuda tampan berjalan sambil mendekap sebuah kitab di dada. Ia berjalan tenang menyusuri jalan setapak untuk menuju ke rumahnya. Sekonyong-konyong, segerombolan pemuda berkepala anjing itu langsung menghunjamkan senjatanya kepada pemuda berbaju Ghamis tersebut.
Darah segar bermuncratan membasahi bumi. Mengalir dan menggenang di antara rerimbunan semak belukar. Pemuda berbaju Ghamis berakhir hidupnya di ujung senjata dari gerombolan pemuda berkepala anjing. Lalu mereka menguburkan mayat pemuda itu persis di tempat ia terbunuh tadi. Bersama genangan darah dan sebuah kitab terdekap di dada. Tiba-tiba gerombolan pemuda berkepala anjing itupun berubah bentuk tubuhnya persis seperti seekor anjing, utuh. Tanpa diperintah dan memerintah, gerombolan anjing itu segera mengangkat satu kakinya untuk kemudian mengencingi gundukan tanah itu dengan sebuah batu nisan dan empat rangkaian kata tertera di dalamnya; tidak dilarang kencing berdiri.
Pojokjakarta, februari satu 2004 Dzulhijjah sepuluh 1424 H
No comments:
Post a Comment