Reno Guenon (pernah dimuat di Lampung post)
PUKUL tujuh belas lewat tiga puluh empat menit, waktu Indonesia bahagian barat. Laut Angke masih menawarkan aroma kesegaran di dalam ingatanku. "Dasar laki-laki bajingan!" Sayup-sayup kudengar suara Mamay dengan logat Tionghoanya. Angke tetap tersenyum manis, sangat manis sekali. Aroma masin dan amis ini tak membuatku lupa akan keindahannya. Itu dulu, sewaktu pantai ini masih dibalut pasir putih.
"Memangnya mau seputih apa, Susu? Apa kulitku kurang mulus?" Suara Mamay melengking di lepas pantai.
Di sana, di laut lepas itu beberapa tahun lampau, kusaksikan sendiri ayahku tenggelam dihempas ombak. Badai itu sungguh tak berperasaan. Aku dibiarkannya menangis sendirian di tengah laut Jawa, sebelum akhirnya ditemukan oleh Mang Kroyep, nelayan aneh penuh misteri.
"Kerbau kau!" Ah, Mamay."
Aku bergeming. Kakiku melangkah di atas beton hasil penurapan tepi pantai. Tapi belum tiga depa kujejak kaki, seketika bertiup angin dari arah belakang. Laut telah mengirimkannya padaku. Tapi tunggu dulu, ini bukan hanya angin, bukan. Aku merasa ada sesuatu dibalik semilir tiupannya. Itu dia, angin ini membawa ingatanku melayang jauh ke belakang, ke suatu masa, di mana aku melihat ayah untuk terakhir kalinya. Tepat seperti dugaanku, ia kini berubah kian kencang. Menerbangkan apa saja. Bahkan, gema adzan maghrib pun ia lenyapkan seketika. Tapi aku akan tetap di sini. Menantangnya untuk beradu kekuatan. Mana lebih hebat, aku atau dia, benda halus tak berwujud itu.
Badai itu urung berkunjung. Sial! Ternyata ia pengecut. Aku tetap tegak berdiri menatap ke tengah laut. Hitam warnanya disapu malam. Di ujung barat sana, mega gemawan masih berarak-arakan. Ramai sendiri. Sepi di sini. Sesekali tamparan ombak di turapan, mengenai pelipis kiriku. Masih dengan tatapan dendam, kutelan bulat-bulat awal malam itu di kedipan mataku. Satu kerjapan saja, ia pun hilang, lalu hanya ada aku di sini. Di tepi pantai Muara Angke. Seorang remaja dua puluhan. Terdiam seribu bahasa. Terkunci rapat dua bibirnya. Tersisa dendam dan keperihan semata. Semata.
***
Semenjak kematian ayah tiga belas tahun lalu, hidupku dan juga keluargaku jauh berubah. Apalagi ibu. Ia betul-betul tak bisa menerima kepergian ayah. Sehingga kini ia tetap mencari sosok ayahku pada diri setiap lelaki, teman tidurnya. Padahal, sudah berkali-kali kuingatkan ia untuk tidak lagi memberikan kehangatan tubuhnya itu kepada lelaki lain. Karena aku kini telah dapat menghidupinya dan adik perempuanku dengan bekerja sebagai pengawas pintu masuk tempat pelelangan ikan. Namun ia masih saja menepis, bahwa kelak sosok ayahku akan dapat ia temukan. Entah kapan.
Malam ini aku berencana untuk tidak pulang ke rumah. Karena di sana pasti sudah menanti seorang lelaki tengik penggila janda seperti ibuku. Donkisme, begitu ia biasa disapa. Lelaki tengik itu rutin berkunjung ke rumahku setiap malam Sabtu. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan menghadiahkan kepada Mirah adikku, seekor lobster rebus dan sembilan bungkus otak-otak ikan tenggiri bakar. Selalu begitu setiap berkunjung.
Anehnya, adikku tak pernah merasa bosan sama sekali. Di awal mula kedatangannya ke rumahku, dia punya kepala hampir saja kupecahkan. Bagaimana tidak! Tanpa sepengetahuan mereka, mataku sempat menangkap secara tidak sengaja, disaat ia sedang menggarap dan melumat habis tubuh ibuku. Sontak darahku mengggelegak. Kuraih pengayuh perahu peninggalan ayah, dan kuarahkan persis di kepalanya. Sialnya, belum lagi hantaman kedua kuselesaikan, ibu telah lebih dulu menggenggam pergelangan tanganku sambil berkata lirih,
"Apa kau mau ibu menyusul ayahmu?"
Selain malam penuh kebencian, malam ini juga sangat berarti bagiku. Setiap kali malam Sabtu begini, pilihan untuk tidak pulang akan segera kualihkan dengan beranjangsana ke rumah Vanita. Gadis baik, manis dan juga menarik. Ia bekerja di sebuah pusat perbelanjaan raksasa, tak jauh dari kampung kami ini. Vanita itu bukan nama sesungguhnya. Itu adalah nama pemberianku. Ia bernama asli, Dyah Pitaloka Rajapatni. Nama itu ia dapatkan dari ayahnya sewaktu mereka masih bermukim di pesisir Jawa Barat.
Baru pada tahun ke tujuh belas ia menetap di sini, namanya kuganti menjadi Vanita. Setahuku, di bangku esde dulu pak Lontur pernah menerangkan arti dari kata vanita itu. Kata itu diambil dari bahasa Sanksekerta. Artinya kurang lebih adalah, cinta, disukai, dan sejenisnya. Sekarang, dari kata vanita inilah lahir sebutan baru yaitu, wanita. Dengan itu pula maka namanya kuganti menjadi Vanita. Tapi orang lain dan keluarganya tetap memanggilnya dengan sebutan Dyahratni.
Para wanita di Muara Angke ini terkenal sebagai penghibur sejati. Banyak janda dan perawan, tapi kebanyakan dari mereka menempuh hidupnya dengan jalan seperti itu. Kenyataan ini bukanlah sebuah hal aneh dan memalukan, tapi sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat kami. Di kampung nelayan kecil ini, semua tempat adalah ruang bebas untuk melampiaskan segala rasa. Apa saja. Tak ada batas ruang dan norma. Gubuk-bubuk kecil berlapis papan dan juga triplek bekas adalah saksi dari hidup dan kehidupan kami sehari-hari.
Bagaimana pula batasan itu dapat diterapkan di tempat ini. Karena pada kenyataannya, wilayah-wilayah keluarga pada setiap rumah sudah tidak dapat lagi diperjelas dan diagung-agungkan keberadaannya, seperti cara orang-orang di kota melakoni kehidupannya. Kami tak pernah membicarakan perihal itu di dalam obrolan keseharian. Sebabnya jelas, semua adalah sama. Bernasib satu, miskin dan penuh penderitaan. Miskin bagi kami sudah menjadi bahagian hidup. Ia telah mengakar kuat. Seperti pohon randu menancapkan akarnya ke perut bumi, begitu pula cara kami menyikapi kemiskinan itu.
"Mau diapakan lagi? Nasib kita memang sudah digariskan begini. Terima sajalah." Kata-kata seperti itu kerap terlontar dari bibir Mang Kroyep kepadaku kala ia melintas di depan rumah Vanita.
***
Malam ini adalah Sabtu pertama di bulan Februari saat aku bertandang kembali ke rumah Vanita. Sebenarnya ia sudah kuanggap sebagai adik sendiri, atau lebih tepatnya lagi adalah kekasih hatiku. Tapi perihal terakhir ini, ia samasekali tidak pernah mengetahuinya. Aku menyimpannya saja di dalam hati. Walau sudah berlangsung selama bertahun-tahun, namun tetap saja rasa itu kupendam baik-baik di dalam sanubariku. Ia tak boleh tahu, dan aku juga tidak pernah berkeinginan untuk memberitahukannya.
Ia terlihat biasa-biasa saja. Tidak begitu cantik dan sangat bersahaja. Wajahnya belum pernah ia kotori dengan peralatan-peralatan mek'ap orang kota sana. Hanya satu senjata andalannya; ia rajin membersihkan wajahnya dengan air wudu, lima kali dalam satu hari ketika hendak melaksanakan shalat. Belum lagi jika ditambah dengan beberapa shalat sunnah, baik siang ataupun malam hari. Sungguh kuakui, aku betul-betul terpesona saat memandang wajah bulat putihnya itu. Cahayanya mampu meredam kepenatanku setelah seharian penuh berjibaku dalam panas dan kerasnya suasana pesisir.
Vanita sering menasihatiku dengan pengetahuan agamanya. Meski tak cukup lumayan, tapi ia terbilang beruntung. Karena semenjak kecil, ia sudah mendapatkan sedikit pelajaran tentang agama Islam dari kedua orangtuanya. Sedangkan aku dan Mirah? Jangankan pelajaran tentang Islam, perihal kasih sayang saja tak pernah kami dapatkan dari mereka, kedua orangtuaku. Tapi sudahlah, tak ada gunanya menyesal dan mengeluh. Semua sudah terjadi. Kini perjalanan semakin jauh, dan sekarang inilah hidupku. Selain Mirah, aku hanya memiliki Vanita, sebagai tempat untuk berbagi rasa. Dan ibuku sama sekali tak pernah mau tahu dengan hal-hal kecil seperti ini.
Dikala rembulan kian meninggi di langit sana, seketika Mang Kroyep muncul dari sebuah gang kecil di sebelah rumah Vanita. Raut wajahnya nampak berseri-seri. Entah sedang merasakan apa dia hari ini. Begitu melihat kami sedang duduk berdua, ia segera membelokkan langkahnya ke arah kami. "Hari ini ikanku habis terjual, Roe." Tanpa basa-basi ia segera membuka pembicaraan.
"Syukurlah, Mang. Tumben malam-malam begini masih keluyuran, ada angin apaan nih?"
"Nda, saya cuma mau menanyakan satu hal padamu, Roe."
"Perihal apa, Mang?"
"Harimu..."
"Maksudnya, hari bagaimana?"
"Begini. Tadi ikanku sudah habis terjual. Nah, sekarang bagaimana dengan harimu. Sudahkah kau jual habis?"
Aku tiba-tiba tersentak dengan pertanyaan Mang Kroyep itu. Tapi bukan Mang Kroyep namanya, jika ia tidak bertingkah polah aneh. Seluruh hidupnya selalu diwarnai dengan keanehan. Sampai-sampai, aneh itu sudah menjadi satu dengan dirinya sendiri. Ya keanehan itulah dirinya. Pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini sering kudapatkan dari Mang Kroyep. Dan hampir dari seluruh pertanyaannya itu tak dapat kujawab dengan baik. Jika sudah melihatku berada dalam kondisi bingung ketika mencari jawaban dari pertanyaannya, maka ia mulai tertawa kegirangan. Seolah-olah aku adalah bahan untuk praktek dari ilmu anehnya itu.
"Tak usah dipikirkanlah... nanti kujawab sendiri, Roe".
Belum sempat kubalas perkataannya itu, tiba-tiba ia sudah hilang dalam satu dua kelebatan di antara gang-gang sempit di sekitar rumah Vanita. Tanpa terasa, hari terus merambat pagi. Dinginnya angin laut mulai merayap di lorong-lorong kumuh kampung kami. Pukul tiga lewat sembilan dini hari. Mataku mulai layu. Begitu pula dengan Vanita. Ia malah sudah tertidur pulas di pangkuanku semenjak Mang Kroyep datang. Tanpa bermaksud untuk membangunkan, kusempatkan untuk mengecup bibir mungilnya dengan penuh perasaan. Tapi ia terbangun juga dan aku segera berpamitan untuk kemudian menuju ke arah rumah.
Dalam perjalanan pulang dari rumah Vanita, ternyata rasa kantukku mulai menghilang secara perlahan-lahan. Mungkin karena dinginnya udara dini hari seperti ini, sehingga mataku tak lagi terasa ngantuk di dalam perjalanan. Sekitar seratus meter dari rumah Vanita, angin semilir itu datang kembali menyapa tubuhku. Dinginnya sungguh tak tertahankan. Dan seperti biasanya, ia mengingatkanku akan suatu masa, dimana sedih dan kegetiran menjadi bagian dari kehidupanku sehari-hari.
Dengan tidak menghiraukan datangnya semilir angin itu, kulanjutkan terus langkah kakiku untuk secepat mungkin sampai di rumah. Di dekat pintu gerbang pelabuhan, kulihat Mang Kroyep dan teman-temannya sedang asyik tertawa terbahak-bahak sambil bermain kartu dengan ditemani beberapa ekor ikan duyung, atau lebih tepatnya lagi, putri duyung. Sebentar aku tercenung melihat peristiwa aneh tersebut. Lalu dari dalam hatiku muncul sebuah pertanyaan, bukankah putri duyung itu hanya berupa dongengan belaka? Takhayul. Tetapi pemandangan di depanku kali ini betul-betul nyata.
Terlihat jelas olehku betapa mesranya Mang Kroyep mencumbui salah seorang dari putri duyung itu. Sesekali ia menghujani dada montok si putri jelita dengan pagutan penuh berahi. Entah kenapa dan apa pula sebabnya, tiba-tiba wajah dari pemilik dada montok itu berubah menjadi wajah ibuku. Tidak mungkin! Ibuku tidak pernah menyukai Mang Kroyep, meski ia pernah menyelamatkan hidupku dari kematian sewaktu aku masih kecil dulu. Entah kenapa ibu bersikap seperti itu, sampai pada hari ini aku tak pernah tahu jawabannya.
Menyaksikan adegan menjijikkan seperti itu, darahku mulai menggelegak. Kucabut sebilah pisau lipat dari saku celanaku. Lalu dengan langkah pasti dan penuh amarah, segera kudekati Mang Kroyep dan teman-temannya itu. Ia harus mati malam ini. Begitu serapahku singkat. Anehnya, mereka semua sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku. Malah kini Mang Kroyep semakin merajalela menjelajahi setiap inci dari bagian tubuh ibuku. Bajingan! Kupercepat langkah dan tanpa membuang kesempatan, segera kuhunjamkan tikaman pisauku berkali-kali, persis di bagian dadanya.
Tapi ternyata tikaman pisauku bukannya bersarang di dada Mang Kroyep. Tapi malah menghantam sebongkah batu prasasti, lambang peresmian dari pelabuhan ini beberapa tahun lalu.
"Sial! Kambing! Bajingan!"
Tubuhku lunglai, lemas tak berdaya. Untuk beberapa saat, badanku tak dapat digerakkan sedikitpun. Ternyata itu memang hanya khayalan belaka. Lalu, angin semilir itu kembali berhembus. Dinginnya semakin menusuk hingga ke tulang sumsum. Kulanjutkan langkahku. Tak lama kemudian, sampailah aku di depan gubuk reotku. Rumah dan istanaku sekeluarga. Belum lagi daun pintu sempat kubuka, aku sempat menangkap suara khas dari dalam rumahku. Aku kenal suara ini, dan pemiliknya adalah Donkisme. Lelaki tengik itu belum pulang juga. Suara seraknya masih dapat kudengar dari balik pintu depan. Dasar lintah!
Suara Donkisme sedikit menyeracau. Tampaknya ia sedang mabuk minuman, salah satu kebiasaannya jika ia berkunjung ke rumahku. Segera kuraih gagang pintu, dan kubuka begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tapi pemandangan pertama di dalam rumahku tak dapat kuterima di dalam hati. Betapa tidak, Disamping Donkisme tengik itu, terlihat jelas seorang lelaki paruh baya sedang menghujani dada montok ibuku dengan pagutan penuh berahi. Dan lelaki itu adalah...Mang Kroyep. Dasar begundal!
Darahku kembali menggelegak untuk kedua kalinya. Tak dapat lagi kukendalikan emosiku. Pisau lipat di pinggang terhunus dari sarungnya. Kedua lelaki bajingan itu masih belum menyadari kehadiranku. Dengan langkah pasti dan tentu tanpa pertimbangan apa pun, seketika itu pula pisauku menancap berkali-kali di dada dan juga leher Mang Kroyep. Sedangkan Donkisme, sudah melarikan diri di saat aku sedang melampiaskan seluruh kekesalan dan kegeramanku pada lelaki malang itu. Andaikata ia tidak melarikan diri, niscaya nasibnya akan sama dengan Mang Kroyep.
Ibuku tak dapat berbuat apa-apa ketika perbuatan itu kulakukan di hadapannya. Mulutnya tercekat. Mungkin seluruh kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Kulihat ia tersedak sambil menahan tangis. Ia nampaknya tidak setuju dengan tindakanku. Tapi aku dan Mirah lebih tidak setuju lagi dengan segala tindak tanduknya selama ini. Mirah terbangun lantaran kaget akibat suara gaduh itu. Ia berdiri termangu di depan pintu kamarnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca, hingga kemudian airmata itupun tumpah tak tertahankan.
Malam itu pula mayat Mang Kroyep kubawa segera ke rumahnya, tak jauh dari tempat pelelangan ikan di mana aku bekerja selama ini. Ia adalah manusia sebatang kara di muka bumi. Riwayat serta siapa saja sanak saudaranya tidak pernah kami ketahui dengan jelas. Di dalam gubuk berukuran tiga kali tiga meter itulah, kugali lubang untuk menguburkannya. Persetan, apabila nanti keganjilan ini juga tercium oleh para tetangga. Kemungkinan besar mereka hanya berpikiran Mang Kroyep sedang mencari ilham terbaru untuk pertanyaan-pertanyaan anehnya. Dan kalaupun mereka tahu bahwa akulah pembunuhnya, mereka mau melakukan apa? Membunuhku juga? Sepertinya itu tidak akan pernah terjadi.
***
Tiga hari setelah malam jahanam itu, beban hidupku terasa semakin berat menghimpit. Tempat pelelangan ikan ini sudah seperti penjara saja. Ikan-ikan itu seolah sedang menatap tajam dan menusukkan pandangannya tepat ke dalam jantungku. Dan para nelayan itu, semuanya tampak menaruh curiga. Seakan-akan mereka tahu bahwa aku telah membunuh salah seorang kerabatnya di laut selama ini. Tapi di balik itu semua, aku sama sekali tidak dapat memahami, tentang perilaku berahi Mang Kroyep pada malam itu. Padahal ia sangat kuhormati, terutama karena ia telah begitu berjasa dalam menyelamatkan nyawaku hingga aku dapat menikmati hidup sampai di detik ini. Dan lagi, tingkah polah anehnya juga sangat menghiburku dan juga Mirah, di kala ia sedang berkunjung ke rumahku saat pulang melaut.
Saat pikiranku sedang melayang-layang ke masa lalu hidupku, tiba-tiba Mirah datang menghampiri dengan napas tersengal-sengal. Dari bibir mungilnya kudengar kabar bahwa tadi siang Vanita terjatuh saat hendak menjemur ikan asin di belakang rumahnya tanpa sebab musabab apa pun. Dan kini gadis pujaanku itu masih terbaring lemas dan belum juga sadarkan diri. Kuraih tangan Mirah. Lalu berdua kami segera menuju ke rumah Vanita. Sesampainya di sana, kulihat kondisi Vanita sungguh sangat memprihatinkan. Wajah dan putuh kulit tubuhnya berubah pucat, tidak seperti biasanya. Kedua bibir merahnya juga tidak seterang saat terakhir kulihat malam Sabtu lalu. Namun sampai di sini, aku tak berani mengambil kesimpulan apa pun dari musibah ini.
Usai dari mengunjungi Vanita, kami berdua kembali ke rumah karena hari sudah menjelang sore. Selain itu, Mirah juga harus segera menyiapkan makanan untuk makan malam kami sekeluarga. Tapi alangkah terkejutnya kami manakala mendapatkan sepucuk surat di atas meja makan. Surat itu ditulis oleh ibuku. Dan di dalam suratnya itu ia mengabarkan kepergiannya dari rumah ini. Tak lupa ia menyelipkan sepatah kata maaf atas perilaku dan keburukan sifatnya selama ini, terutama kepada Mirah, adikku tercinta. Untuk kedua kalinya kusaksikan air mata Mirah tertumpah dengan begitu derasnya. Padahal, selama ini ia terlihat begitu tabah dalam menghadapi segala macam cobaan, terutama saat ibu mulai memberikan tubuhnya dengan cuma-cuma kepada para lelaki hidung belang, semisal Donkisme.
Mirah nampak begitu terpukul atas kepergian ibu dari rumah. Sudah seminggu ini ia tidak berangkat ke sekolah dan juga tidak ke luar dari rumah barang sejengkal pun. Raut wajahnya kian murung. Begitu pula dengan tubuhnya, semakin hari terlihat semakin menyusut. Menyaksikan hal itu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan untuk mencari ibu agar ia berkenan pulang ke rumah. Bagiku, keberadaan dan juga sejarahnya di rumah ini sudah selesai. Dan hari ini aku berencana untuk kembali menjenguk Vanita, karena ia pun belum juga sadarkan diri semenjak peristiwa kejatuhannya itu. Seperti halnya Mirah, keadaan Vanita juga tampak semakin memprihatinkan. Bentuk wajahnya kini berubah tirus. Lingkar matanya juga bertambah cekung. Belum jika melihat tubuhnya, sungguh, di luar dugaanku selama ini.
Sampai pada hari ini saja, sudah dua orang dukun didatangkan oleh orangtuanya, namun tetap saja tak ada perubahan. Jangankan perubahan, membuka mata saja tidak. Kusarankan kepada orang tuanya untuk segera membawa Vanita ke rumah sakit terdekat, tapi mereka malah menolak meski semua biaya akan coba kutanggulangi.
"Tak usah repot-repot, Roe. Pikirkan saja Mirah. Ia lebih membutuhkan keberadaanmu. Kami yakin gajimu selama sebulan tak akan cukup untuk memenuhi biaya perobatan Dyahratni jika ia dibawa ke rumah sakit".
Mendengar nasehat dari orangtua Vanita tersebut, aku terdiam seribu bahasa. Ada benarnya juga petuah mereka. Karena biar bagaimanapun, adikku juga membutuhkan biaya untuk kebutuhan sekolahnya dan juga keperluan rumah tangga kami selama sebulan.
Tapi aku tak pernah kehabisan akal dalam menghadapi cobaan seperti ini. Dua minggu sudah menjelang, dan kondisi Vanita belum juga menunjukkan perubahan apa-apa. Maka aku segera berinisiatif untuk mendatangi rumah salah seorang teman sekolahku dulu di wilayah perumahan Pluit Permai, untuk dapat memohon bantuan darinya. Ia kini berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di ibu kota. Beruntung ia langsung mengulurkan tangannya ketika kuutarakan maksud dan tujuanku mendatanginya.
Dengan mobil mercy seri terbaru miliknya, kami segera meluncur menuju ke Muara Angke. Setelah sampai di rumah Vanita, ia dengan begitu cekatan langsung melakukan pemeriksaan. Setengah jam kemudian ia pun menyampaikan hasilnya pengamatannya kepada kami. Ia coba mengatur napas dan kemudian menerangkannya dengan penuh ketenangan.
"Gadis ini... tertular virus HIV. Atau dalam masyarakat umum biasa disebut sebagai AIDS. Dan sampai sekarang, penyakit ini tidak dapat disembuhkan oleh obat apa pun.
Ia menghela napas sejenak.
"Bersabarlah, Roe. Terutama bapak dan ibu."
Mendengar penuturan dari temanku itu, aku seolah tertampar oleh sebuah pertanyaan. Antara percaya dan tidak. Bagaimana mungkin, gadis baik-baik seperti Vanita bisa mengidap penyakit mematikan semacam itu. Sungguh aku tak percaya. Tapi di sisi lain, aku pun memercayainya bila melihat kondisi Vanita belakangan ini. Beberapa gejala dari penyakit itu dapat kutemui dengan mata telanjang. Tak lama setelah teman dokterku itu berpamitan untuk pulang, Ayah Vanita mencoba menjelaskan ceritera sesungguhnya dari kehidupan anak gadisnya selama ini. Aku memang tak tahu banyak tentang kehidupannya sehari-hari. Kecuali malam Sabtu, aku hanya mengetahui bahwa ia adalah gadis terbaik di kampung ini, karena kedekatannya dengan agama jauh lebih baik bila dibandingkan dengan gadis-gadis sebayanya.
"Maafkan bila anak kami telah berbohong sama kamu, Roe... Dia tidak pernah bekerja apa-apa selain di panti pijat, di wilayah Lokasari. Itu dia lakukan semata-mata hanya demi membantu ekonomi keluarga kami. "
Hanya hening belaka. Aku terdiam sambil menunduk tak percaya.
"Adapun kedekatannya dengan agama selama ini, adalah usahanya untuk segera berhenti agar dapat bertaubat dari pekerjaan terlarang itu. Sekali lagi, Roe, maafkanlah kami dan juga Dyahratni. "
Ruangan kembali hening. Tak ada kata-kata lagi. Semua senyap. Bibir-bibir terkunci rapat. Diam adalah bahasa kami dari detik ke detik.
***
Kurebahkan tubuhku di atas dipan di emperan rumah. Malam ini adalah malam tak bernama. Aku tak ingat lagi tentang apa pun, bahkan mungkin namaku sendiri. Ada angin bertiup semilir ke arahku. Dan tiupannya seperti sedang mengingatkanku akan sesuatu di masa lalu. Ia meruapkan sebuah kegetiran. Entah kegetiran apa. Lukakah? Atau sakitkah? Mungkin keduanya. Angin itu semakin dingin. Tapi badanku sudah terlalu lelah. Perlahan-lahan mataku terpejam dengan seribu pertanyaan di kepala. Di dalam gelap pandangan mataku, antara alam nyata dan kasunyataan, terlihat tiga orang wanita berjalan ke arahku. Namun belum lagi ketiganya mendekat, seketika mereka berbalik arah. Pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya. Selebihnya hanyalah gelap semata. Hitam, kelam. Buram menikam dalam gurindam malam.
dalamkebagusan, februari sembilan 'ribulima
"Memangnya mau seputih apa, Susu? Apa kulitku kurang mulus?" Suara Mamay melengking di lepas pantai.
Di sana, di laut lepas itu beberapa tahun lampau, kusaksikan sendiri ayahku tenggelam dihempas ombak. Badai itu sungguh tak berperasaan. Aku dibiarkannya menangis sendirian di tengah laut Jawa, sebelum akhirnya ditemukan oleh Mang Kroyep, nelayan aneh penuh misteri.
"Kerbau kau!" Ah, Mamay."
Aku bergeming. Kakiku melangkah di atas beton hasil penurapan tepi pantai. Tapi belum tiga depa kujejak kaki, seketika bertiup angin dari arah belakang. Laut telah mengirimkannya padaku. Tapi tunggu dulu, ini bukan hanya angin, bukan. Aku merasa ada sesuatu dibalik semilir tiupannya. Itu dia, angin ini membawa ingatanku melayang jauh ke belakang, ke suatu masa, di mana aku melihat ayah untuk terakhir kalinya. Tepat seperti dugaanku, ia kini berubah kian kencang. Menerbangkan apa saja. Bahkan, gema adzan maghrib pun ia lenyapkan seketika. Tapi aku akan tetap di sini. Menantangnya untuk beradu kekuatan. Mana lebih hebat, aku atau dia, benda halus tak berwujud itu.
Badai itu urung berkunjung. Sial! Ternyata ia pengecut. Aku tetap tegak berdiri menatap ke tengah laut. Hitam warnanya disapu malam. Di ujung barat sana, mega gemawan masih berarak-arakan. Ramai sendiri. Sepi di sini. Sesekali tamparan ombak di turapan, mengenai pelipis kiriku. Masih dengan tatapan dendam, kutelan bulat-bulat awal malam itu di kedipan mataku. Satu kerjapan saja, ia pun hilang, lalu hanya ada aku di sini. Di tepi pantai Muara Angke. Seorang remaja dua puluhan. Terdiam seribu bahasa. Terkunci rapat dua bibirnya. Tersisa dendam dan keperihan semata. Semata.
***
Semenjak kematian ayah tiga belas tahun lalu, hidupku dan juga keluargaku jauh berubah. Apalagi ibu. Ia betul-betul tak bisa menerima kepergian ayah. Sehingga kini ia tetap mencari sosok ayahku pada diri setiap lelaki, teman tidurnya. Padahal, sudah berkali-kali kuingatkan ia untuk tidak lagi memberikan kehangatan tubuhnya itu kepada lelaki lain. Karena aku kini telah dapat menghidupinya dan adik perempuanku dengan bekerja sebagai pengawas pintu masuk tempat pelelangan ikan. Namun ia masih saja menepis, bahwa kelak sosok ayahku akan dapat ia temukan. Entah kapan.
Malam ini aku berencana untuk tidak pulang ke rumah. Karena di sana pasti sudah menanti seorang lelaki tengik penggila janda seperti ibuku. Donkisme, begitu ia biasa disapa. Lelaki tengik itu rutin berkunjung ke rumahku setiap malam Sabtu. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan menghadiahkan kepada Mirah adikku, seekor lobster rebus dan sembilan bungkus otak-otak ikan tenggiri bakar. Selalu begitu setiap berkunjung.
Anehnya, adikku tak pernah merasa bosan sama sekali. Di awal mula kedatangannya ke rumahku, dia punya kepala hampir saja kupecahkan. Bagaimana tidak! Tanpa sepengetahuan mereka, mataku sempat menangkap secara tidak sengaja, disaat ia sedang menggarap dan melumat habis tubuh ibuku. Sontak darahku mengggelegak. Kuraih pengayuh perahu peninggalan ayah, dan kuarahkan persis di kepalanya. Sialnya, belum lagi hantaman kedua kuselesaikan, ibu telah lebih dulu menggenggam pergelangan tanganku sambil berkata lirih,
"Apa kau mau ibu menyusul ayahmu?"
Selain malam penuh kebencian, malam ini juga sangat berarti bagiku. Setiap kali malam Sabtu begini, pilihan untuk tidak pulang akan segera kualihkan dengan beranjangsana ke rumah Vanita. Gadis baik, manis dan juga menarik. Ia bekerja di sebuah pusat perbelanjaan raksasa, tak jauh dari kampung kami ini. Vanita itu bukan nama sesungguhnya. Itu adalah nama pemberianku. Ia bernama asli, Dyah Pitaloka Rajapatni. Nama itu ia dapatkan dari ayahnya sewaktu mereka masih bermukim di pesisir Jawa Barat.
Baru pada tahun ke tujuh belas ia menetap di sini, namanya kuganti menjadi Vanita. Setahuku, di bangku esde dulu pak Lontur pernah menerangkan arti dari kata vanita itu. Kata itu diambil dari bahasa Sanksekerta. Artinya kurang lebih adalah, cinta, disukai, dan sejenisnya. Sekarang, dari kata vanita inilah lahir sebutan baru yaitu, wanita. Dengan itu pula maka namanya kuganti menjadi Vanita. Tapi orang lain dan keluarganya tetap memanggilnya dengan sebutan Dyahratni.
Para wanita di Muara Angke ini terkenal sebagai penghibur sejati. Banyak janda dan perawan, tapi kebanyakan dari mereka menempuh hidupnya dengan jalan seperti itu. Kenyataan ini bukanlah sebuah hal aneh dan memalukan, tapi sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat kami. Di kampung nelayan kecil ini, semua tempat adalah ruang bebas untuk melampiaskan segala rasa. Apa saja. Tak ada batas ruang dan norma. Gubuk-bubuk kecil berlapis papan dan juga triplek bekas adalah saksi dari hidup dan kehidupan kami sehari-hari.
Bagaimana pula batasan itu dapat diterapkan di tempat ini. Karena pada kenyataannya, wilayah-wilayah keluarga pada setiap rumah sudah tidak dapat lagi diperjelas dan diagung-agungkan keberadaannya, seperti cara orang-orang di kota melakoni kehidupannya. Kami tak pernah membicarakan perihal itu di dalam obrolan keseharian. Sebabnya jelas, semua adalah sama. Bernasib satu, miskin dan penuh penderitaan. Miskin bagi kami sudah menjadi bahagian hidup. Ia telah mengakar kuat. Seperti pohon randu menancapkan akarnya ke perut bumi, begitu pula cara kami menyikapi kemiskinan itu.
"Mau diapakan lagi? Nasib kita memang sudah digariskan begini. Terima sajalah." Kata-kata seperti itu kerap terlontar dari bibir Mang Kroyep kepadaku kala ia melintas di depan rumah Vanita.
***
Malam ini adalah Sabtu pertama di bulan Februari saat aku bertandang kembali ke rumah Vanita. Sebenarnya ia sudah kuanggap sebagai adik sendiri, atau lebih tepatnya lagi adalah kekasih hatiku. Tapi perihal terakhir ini, ia samasekali tidak pernah mengetahuinya. Aku menyimpannya saja di dalam hati. Walau sudah berlangsung selama bertahun-tahun, namun tetap saja rasa itu kupendam baik-baik di dalam sanubariku. Ia tak boleh tahu, dan aku juga tidak pernah berkeinginan untuk memberitahukannya.
Ia terlihat biasa-biasa saja. Tidak begitu cantik dan sangat bersahaja. Wajahnya belum pernah ia kotori dengan peralatan-peralatan mek'ap orang kota sana. Hanya satu senjata andalannya; ia rajin membersihkan wajahnya dengan air wudu, lima kali dalam satu hari ketika hendak melaksanakan shalat. Belum lagi jika ditambah dengan beberapa shalat sunnah, baik siang ataupun malam hari. Sungguh kuakui, aku betul-betul terpesona saat memandang wajah bulat putihnya itu. Cahayanya mampu meredam kepenatanku setelah seharian penuh berjibaku dalam panas dan kerasnya suasana pesisir.
Vanita sering menasihatiku dengan pengetahuan agamanya. Meski tak cukup lumayan, tapi ia terbilang beruntung. Karena semenjak kecil, ia sudah mendapatkan sedikit pelajaran tentang agama Islam dari kedua orangtuanya. Sedangkan aku dan Mirah? Jangankan pelajaran tentang Islam, perihal kasih sayang saja tak pernah kami dapatkan dari mereka, kedua orangtuaku. Tapi sudahlah, tak ada gunanya menyesal dan mengeluh. Semua sudah terjadi. Kini perjalanan semakin jauh, dan sekarang inilah hidupku. Selain Mirah, aku hanya memiliki Vanita, sebagai tempat untuk berbagi rasa. Dan ibuku sama sekali tak pernah mau tahu dengan hal-hal kecil seperti ini.
Dikala rembulan kian meninggi di langit sana, seketika Mang Kroyep muncul dari sebuah gang kecil di sebelah rumah Vanita. Raut wajahnya nampak berseri-seri. Entah sedang merasakan apa dia hari ini. Begitu melihat kami sedang duduk berdua, ia segera membelokkan langkahnya ke arah kami. "Hari ini ikanku habis terjual, Roe." Tanpa basa-basi ia segera membuka pembicaraan.
"Syukurlah, Mang. Tumben malam-malam begini masih keluyuran, ada angin apaan nih?"
"Nda, saya cuma mau menanyakan satu hal padamu, Roe."
"Perihal apa, Mang?"
"Harimu..."
"Maksudnya, hari bagaimana?"
"Begini. Tadi ikanku sudah habis terjual. Nah, sekarang bagaimana dengan harimu. Sudahkah kau jual habis?"
Aku tiba-tiba tersentak dengan pertanyaan Mang Kroyep itu. Tapi bukan Mang Kroyep namanya, jika ia tidak bertingkah polah aneh. Seluruh hidupnya selalu diwarnai dengan keanehan. Sampai-sampai, aneh itu sudah menjadi satu dengan dirinya sendiri. Ya keanehan itulah dirinya. Pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini sering kudapatkan dari Mang Kroyep. Dan hampir dari seluruh pertanyaannya itu tak dapat kujawab dengan baik. Jika sudah melihatku berada dalam kondisi bingung ketika mencari jawaban dari pertanyaannya, maka ia mulai tertawa kegirangan. Seolah-olah aku adalah bahan untuk praktek dari ilmu anehnya itu.
"Tak usah dipikirkanlah... nanti kujawab sendiri, Roe".
Belum sempat kubalas perkataannya itu, tiba-tiba ia sudah hilang dalam satu dua kelebatan di antara gang-gang sempit di sekitar rumah Vanita. Tanpa terasa, hari terus merambat pagi. Dinginnya angin laut mulai merayap di lorong-lorong kumuh kampung kami. Pukul tiga lewat sembilan dini hari. Mataku mulai layu. Begitu pula dengan Vanita. Ia malah sudah tertidur pulas di pangkuanku semenjak Mang Kroyep datang. Tanpa bermaksud untuk membangunkan, kusempatkan untuk mengecup bibir mungilnya dengan penuh perasaan. Tapi ia terbangun juga dan aku segera berpamitan untuk kemudian menuju ke arah rumah.
Dalam perjalanan pulang dari rumah Vanita, ternyata rasa kantukku mulai menghilang secara perlahan-lahan. Mungkin karena dinginnya udara dini hari seperti ini, sehingga mataku tak lagi terasa ngantuk di dalam perjalanan. Sekitar seratus meter dari rumah Vanita, angin semilir itu datang kembali menyapa tubuhku. Dinginnya sungguh tak tertahankan. Dan seperti biasanya, ia mengingatkanku akan suatu masa, dimana sedih dan kegetiran menjadi bagian dari kehidupanku sehari-hari.
Dengan tidak menghiraukan datangnya semilir angin itu, kulanjutkan terus langkah kakiku untuk secepat mungkin sampai di rumah. Di dekat pintu gerbang pelabuhan, kulihat Mang Kroyep dan teman-temannya sedang asyik tertawa terbahak-bahak sambil bermain kartu dengan ditemani beberapa ekor ikan duyung, atau lebih tepatnya lagi, putri duyung. Sebentar aku tercenung melihat peristiwa aneh tersebut. Lalu dari dalam hatiku muncul sebuah pertanyaan, bukankah putri duyung itu hanya berupa dongengan belaka? Takhayul. Tetapi pemandangan di depanku kali ini betul-betul nyata.
Terlihat jelas olehku betapa mesranya Mang Kroyep mencumbui salah seorang dari putri duyung itu. Sesekali ia menghujani dada montok si putri jelita dengan pagutan penuh berahi. Entah kenapa dan apa pula sebabnya, tiba-tiba wajah dari pemilik dada montok itu berubah menjadi wajah ibuku. Tidak mungkin! Ibuku tidak pernah menyukai Mang Kroyep, meski ia pernah menyelamatkan hidupku dari kematian sewaktu aku masih kecil dulu. Entah kenapa ibu bersikap seperti itu, sampai pada hari ini aku tak pernah tahu jawabannya.
Menyaksikan adegan menjijikkan seperti itu, darahku mulai menggelegak. Kucabut sebilah pisau lipat dari saku celanaku. Lalu dengan langkah pasti dan penuh amarah, segera kudekati Mang Kroyep dan teman-temannya itu. Ia harus mati malam ini. Begitu serapahku singkat. Anehnya, mereka semua sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku. Malah kini Mang Kroyep semakin merajalela menjelajahi setiap inci dari bagian tubuh ibuku. Bajingan! Kupercepat langkah dan tanpa membuang kesempatan, segera kuhunjamkan tikaman pisauku berkali-kali, persis di bagian dadanya.
Tapi ternyata tikaman pisauku bukannya bersarang di dada Mang Kroyep. Tapi malah menghantam sebongkah batu prasasti, lambang peresmian dari pelabuhan ini beberapa tahun lalu.
"Sial! Kambing! Bajingan!"
Tubuhku lunglai, lemas tak berdaya. Untuk beberapa saat, badanku tak dapat digerakkan sedikitpun. Ternyata itu memang hanya khayalan belaka. Lalu, angin semilir itu kembali berhembus. Dinginnya semakin menusuk hingga ke tulang sumsum. Kulanjutkan langkahku. Tak lama kemudian, sampailah aku di depan gubuk reotku. Rumah dan istanaku sekeluarga. Belum lagi daun pintu sempat kubuka, aku sempat menangkap suara khas dari dalam rumahku. Aku kenal suara ini, dan pemiliknya adalah Donkisme. Lelaki tengik itu belum pulang juga. Suara seraknya masih dapat kudengar dari balik pintu depan. Dasar lintah!
Suara Donkisme sedikit menyeracau. Tampaknya ia sedang mabuk minuman, salah satu kebiasaannya jika ia berkunjung ke rumahku. Segera kuraih gagang pintu, dan kubuka begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tapi pemandangan pertama di dalam rumahku tak dapat kuterima di dalam hati. Betapa tidak, Disamping Donkisme tengik itu, terlihat jelas seorang lelaki paruh baya sedang menghujani dada montok ibuku dengan pagutan penuh berahi. Dan lelaki itu adalah...Mang Kroyep. Dasar begundal!
Darahku kembali menggelegak untuk kedua kalinya. Tak dapat lagi kukendalikan emosiku. Pisau lipat di pinggang terhunus dari sarungnya. Kedua lelaki bajingan itu masih belum menyadari kehadiranku. Dengan langkah pasti dan tentu tanpa pertimbangan apa pun, seketika itu pula pisauku menancap berkali-kali di dada dan juga leher Mang Kroyep. Sedangkan Donkisme, sudah melarikan diri di saat aku sedang melampiaskan seluruh kekesalan dan kegeramanku pada lelaki malang itu. Andaikata ia tidak melarikan diri, niscaya nasibnya akan sama dengan Mang Kroyep.
Ibuku tak dapat berbuat apa-apa ketika perbuatan itu kulakukan di hadapannya. Mulutnya tercekat. Mungkin seluruh kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Kulihat ia tersedak sambil menahan tangis. Ia nampaknya tidak setuju dengan tindakanku. Tapi aku dan Mirah lebih tidak setuju lagi dengan segala tindak tanduknya selama ini. Mirah terbangun lantaran kaget akibat suara gaduh itu. Ia berdiri termangu di depan pintu kamarnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca, hingga kemudian airmata itupun tumpah tak tertahankan.
Malam itu pula mayat Mang Kroyep kubawa segera ke rumahnya, tak jauh dari tempat pelelangan ikan di mana aku bekerja selama ini. Ia adalah manusia sebatang kara di muka bumi. Riwayat serta siapa saja sanak saudaranya tidak pernah kami ketahui dengan jelas. Di dalam gubuk berukuran tiga kali tiga meter itulah, kugali lubang untuk menguburkannya. Persetan, apabila nanti keganjilan ini juga tercium oleh para tetangga. Kemungkinan besar mereka hanya berpikiran Mang Kroyep sedang mencari ilham terbaru untuk pertanyaan-pertanyaan anehnya. Dan kalaupun mereka tahu bahwa akulah pembunuhnya, mereka mau melakukan apa? Membunuhku juga? Sepertinya itu tidak akan pernah terjadi.
***
Tiga hari setelah malam jahanam itu, beban hidupku terasa semakin berat menghimpit. Tempat pelelangan ikan ini sudah seperti penjara saja. Ikan-ikan itu seolah sedang menatap tajam dan menusukkan pandangannya tepat ke dalam jantungku. Dan para nelayan itu, semuanya tampak menaruh curiga. Seakan-akan mereka tahu bahwa aku telah membunuh salah seorang kerabatnya di laut selama ini. Tapi di balik itu semua, aku sama sekali tidak dapat memahami, tentang perilaku berahi Mang Kroyep pada malam itu. Padahal ia sangat kuhormati, terutama karena ia telah begitu berjasa dalam menyelamatkan nyawaku hingga aku dapat menikmati hidup sampai di detik ini. Dan lagi, tingkah polah anehnya juga sangat menghiburku dan juga Mirah, di kala ia sedang berkunjung ke rumahku saat pulang melaut.
Saat pikiranku sedang melayang-layang ke masa lalu hidupku, tiba-tiba Mirah datang menghampiri dengan napas tersengal-sengal. Dari bibir mungilnya kudengar kabar bahwa tadi siang Vanita terjatuh saat hendak menjemur ikan asin di belakang rumahnya tanpa sebab musabab apa pun. Dan kini gadis pujaanku itu masih terbaring lemas dan belum juga sadarkan diri. Kuraih tangan Mirah. Lalu berdua kami segera menuju ke rumah Vanita. Sesampainya di sana, kulihat kondisi Vanita sungguh sangat memprihatinkan. Wajah dan putuh kulit tubuhnya berubah pucat, tidak seperti biasanya. Kedua bibir merahnya juga tidak seterang saat terakhir kulihat malam Sabtu lalu. Namun sampai di sini, aku tak berani mengambil kesimpulan apa pun dari musibah ini.
Usai dari mengunjungi Vanita, kami berdua kembali ke rumah karena hari sudah menjelang sore. Selain itu, Mirah juga harus segera menyiapkan makanan untuk makan malam kami sekeluarga. Tapi alangkah terkejutnya kami manakala mendapatkan sepucuk surat di atas meja makan. Surat itu ditulis oleh ibuku. Dan di dalam suratnya itu ia mengabarkan kepergiannya dari rumah ini. Tak lupa ia menyelipkan sepatah kata maaf atas perilaku dan keburukan sifatnya selama ini, terutama kepada Mirah, adikku tercinta. Untuk kedua kalinya kusaksikan air mata Mirah tertumpah dengan begitu derasnya. Padahal, selama ini ia terlihat begitu tabah dalam menghadapi segala macam cobaan, terutama saat ibu mulai memberikan tubuhnya dengan cuma-cuma kepada para lelaki hidung belang, semisal Donkisme.
Mirah nampak begitu terpukul atas kepergian ibu dari rumah. Sudah seminggu ini ia tidak berangkat ke sekolah dan juga tidak ke luar dari rumah barang sejengkal pun. Raut wajahnya kian murung. Begitu pula dengan tubuhnya, semakin hari terlihat semakin menyusut. Menyaksikan hal itu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan untuk mencari ibu agar ia berkenan pulang ke rumah. Bagiku, keberadaan dan juga sejarahnya di rumah ini sudah selesai. Dan hari ini aku berencana untuk kembali menjenguk Vanita, karena ia pun belum juga sadarkan diri semenjak peristiwa kejatuhannya itu. Seperti halnya Mirah, keadaan Vanita juga tampak semakin memprihatinkan. Bentuk wajahnya kini berubah tirus. Lingkar matanya juga bertambah cekung. Belum jika melihat tubuhnya, sungguh, di luar dugaanku selama ini.
Sampai pada hari ini saja, sudah dua orang dukun didatangkan oleh orangtuanya, namun tetap saja tak ada perubahan. Jangankan perubahan, membuka mata saja tidak. Kusarankan kepada orang tuanya untuk segera membawa Vanita ke rumah sakit terdekat, tapi mereka malah menolak meski semua biaya akan coba kutanggulangi.
"Tak usah repot-repot, Roe. Pikirkan saja Mirah. Ia lebih membutuhkan keberadaanmu. Kami yakin gajimu selama sebulan tak akan cukup untuk memenuhi biaya perobatan Dyahratni jika ia dibawa ke rumah sakit".
Mendengar nasehat dari orangtua Vanita tersebut, aku terdiam seribu bahasa. Ada benarnya juga petuah mereka. Karena biar bagaimanapun, adikku juga membutuhkan biaya untuk kebutuhan sekolahnya dan juga keperluan rumah tangga kami selama sebulan.
Tapi aku tak pernah kehabisan akal dalam menghadapi cobaan seperti ini. Dua minggu sudah menjelang, dan kondisi Vanita belum juga menunjukkan perubahan apa-apa. Maka aku segera berinisiatif untuk mendatangi rumah salah seorang teman sekolahku dulu di wilayah perumahan Pluit Permai, untuk dapat memohon bantuan darinya. Ia kini berprofesi sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di ibu kota. Beruntung ia langsung mengulurkan tangannya ketika kuutarakan maksud dan tujuanku mendatanginya.
Dengan mobil mercy seri terbaru miliknya, kami segera meluncur menuju ke Muara Angke. Setelah sampai di rumah Vanita, ia dengan begitu cekatan langsung melakukan pemeriksaan. Setengah jam kemudian ia pun menyampaikan hasilnya pengamatannya kepada kami. Ia coba mengatur napas dan kemudian menerangkannya dengan penuh ketenangan.
"Gadis ini... tertular virus HIV. Atau dalam masyarakat umum biasa disebut sebagai AIDS. Dan sampai sekarang, penyakit ini tidak dapat disembuhkan oleh obat apa pun.
Ia menghela napas sejenak.
"Bersabarlah, Roe. Terutama bapak dan ibu."
Mendengar penuturan dari temanku itu, aku seolah tertampar oleh sebuah pertanyaan. Antara percaya dan tidak. Bagaimana mungkin, gadis baik-baik seperti Vanita bisa mengidap penyakit mematikan semacam itu. Sungguh aku tak percaya. Tapi di sisi lain, aku pun memercayainya bila melihat kondisi Vanita belakangan ini. Beberapa gejala dari penyakit itu dapat kutemui dengan mata telanjang. Tak lama setelah teman dokterku itu berpamitan untuk pulang, Ayah Vanita mencoba menjelaskan ceritera sesungguhnya dari kehidupan anak gadisnya selama ini. Aku memang tak tahu banyak tentang kehidupannya sehari-hari. Kecuali malam Sabtu, aku hanya mengetahui bahwa ia adalah gadis terbaik di kampung ini, karena kedekatannya dengan agama jauh lebih baik bila dibandingkan dengan gadis-gadis sebayanya.
"Maafkan bila anak kami telah berbohong sama kamu, Roe... Dia tidak pernah bekerja apa-apa selain di panti pijat, di wilayah Lokasari. Itu dia lakukan semata-mata hanya demi membantu ekonomi keluarga kami. "
Hanya hening belaka. Aku terdiam sambil menunduk tak percaya.
"Adapun kedekatannya dengan agama selama ini, adalah usahanya untuk segera berhenti agar dapat bertaubat dari pekerjaan terlarang itu. Sekali lagi, Roe, maafkanlah kami dan juga Dyahratni. "
Ruangan kembali hening. Tak ada kata-kata lagi. Semua senyap. Bibir-bibir terkunci rapat. Diam adalah bahasa kami dari detik ke detik.
***
Kurebahkan tubuhku di atas dipan di emperan rumah. Malam ini adalah malam tak bernama. Aku tak ingat lagi tentang apa pun, bahkan mungkin namaku sendiri. Ada angin bertiup semilir ke arahku. Dan tiupannya seperti sedang mengingatkanku akan sesuatu di masa lalu. Ia meruapkan sebuah kegetiran. Entah kegetiran apa. Lukakah? Atau sakitkah? Mungkin keduanya. Angin itu semakin dingin. Tapi badanku sudah terlalu lelah. Perlahan-lahan mataku terpejam dengan seribu pertanyaan di kepala. Di dalam gelap pandangan mataku, antara alam nyata dan kasunyataan, terlihat tiga orang wanita berjalan ke arahku. Namun belum lagi ketiganya mendekat, seketika mereka berbalik arah. Pergi meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya. Selebihnya hanyalah gelap semata. Hitam, kelam. Buram menikam dalam gurindam malam.
dalamkebagusan, februari sembilan 'ribulima
No comments:
Post a Comment