Sebuah bangunan batu reot berlumut. Kaca berdebu tebal dan cat tembok berwarna putih buram. Memprihatinkan. Sejatinya, bangunan itu adalah sebuah surau. Nurul Huda namanya. Berdiri tegak persis di tepi jalan raya. Orang-orang di Dusun Lawangsari biasa menyebutnya rumah Mbah Kroyep. Karena di surau inilah ia tinggal selama beberapa tahun belakangan.
Tujuh tahun lalu, Mbah sudah mengabdikan dirinya di surau sebagai marbut. Ia rela meninggalkan pekerjaannya berdagang antarpulau, untuk menjalani hidup barunya itu. Dua kali sehari surau dibersihkan oleh Mbah. Pukul lima sore sampai menjelang magrib, dan usai subuh hingga fajar menyingsing.
Selama di surau, Mbah kerap terlihat berzikir, mendaras Quran, taklim bersama kaum bapak, shalat Tahajud, jadi muazin, shalat wajib lima waktu sekaligus didapuk mengimami shalat. Di luar kegiatan di surau, Mbah juga menyempatkan diri menyambangi rumahnya, juga dua kali sehari; makan pagi dan berganti pakaian di sore harinya. Hanya itu.
Ihwal kegiatannya inilah, keluarga Mbah Kroyep jadi tidak harmonis lagi. Bagaimana tidak. Semenjak melakoni hidup di surau, ia betul-betul tidak pernah memerhatikan lagi kebutuhan rumah tangganya. Baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Ia hanya menyerahkan seluruh uang sedekah dari jamaah surau setiap bulan, sebesar dua ratus sembilan puluh ribu rupiah kepada istrinya. Lama-kelamaan, sang istri pun "angkat senjata". Gugatan cerai dilayangkan. Dan anehnya, Mbah malah langsung menyetujui. Tanpa ekspresi berarti.
Peristiwa perceraian itu terjadi setelah dua tahun Mbah mengabdikan dirinya di surau. Lalu disusul oleh kepergian empat orang anaknya menuju Jakarta. Kini rumah Mbah kosong-melompong. Tak berpenghuni. Mungkin sudah menjadi rumah hantu. Lucunya, ia masih tetap pulang ke rumah setiap pagi dan sore hari. Padahal sudah tak ada siapa-siapa. Ketika salah seorang dari kami menanyakan perilaku anehnya itu, Mbah hanya menjawab singkat, "Hidup kita itu hanya mengulang kehidupan orang-orang di masa lalu. Saya hanya rindu dengan aroma tubuh istri, anak-anak, dan diri saya sendiri. Itu saja.”
***
Hari ini surau Nurul Huda genap berusia tujuh belas tahun. Dan hari ini seluruh tetua dan warga dusun sepakat menggelar musyawarah untuk membahas keberlangsungan surau sekaligus keberadaan Mbah Kroyep di dalamnya. Musyawarah pun digelar pada malam Jumat, usai majelis taklim bersama ustaz Salahdin. Mbah didaulat untuk menjadi pemimpin musyawarah, sebab beliaulah orang paling dituakan di dusun Lawangsari.
Agenda musyawarah lantas digulirkan. Ada usulan untuk mengganti namanya. Memindahkan lokasi surau dari jalan raya, lalu merenovasinya. Dan ada pula usulan kontroversial, muncul dari keluarga Mbah sendiri: merobohkannya, dan tak usah dibangun kembali. Dari nadanya, kami dapat menebak bahwa si empunya usul nampak menaruh dendam kepada Mbah, atas polah tingkahnya selama ini di surau. Tapi Mbah tidak sendiri. Kami segera berpihak padanya. Bagaimana mungkin surau itu mau dirubuhkan dan tidak dibangun kembali? Itu kan sunah Rasul.
Telah tiga jam kami berurun rembuk. Namun belum juga ditemukan kata sepakat. Masing-masing pihak berusaha mempertahankan pendapat agar usulannya dapat diterima peserta musyawarah. Semua orang bersilat lidah. Bahkan dua orang di antara kami hampir terlibat baku hantam, jika Mbah tidak segera angkat bicara. Menurut usulan Mbah, surau tetap dirubuhkan, tapi dipindahkan lokasinya. Tidak berganti nama dan dibangun kembali dengan arsitektur baru. Statusnya pun diubah menjadi masjid. Ternyata semua peserta langsung menyepakati. Disusul dengan perincian dana pembangunan sementara. Sedang penghitungan ulang akan dilakukan dalam musyawarah berikutnya, sambil kegiatan pembangunan terus berlangsung Menjelang dini hari rapat diakhiri.
Esok harinya, upaya pencarian dana segera dilakukan dengan cara berbeda-beda. Pertama, dengan membangun posko di samping surau, kemudian meletakkan kotak amal di tengah jalan raya. Dijaga oleh dua orang relawan, bergantian setiap hari. Kedua, memohon bantuan dana kepada pemda setempat. Ketiga, menetapkan sumbangan sukarela bagi warga, seminggu sekali. Keempat, mencari donatur dari hartawan muslim dan juga nonmuslim. Dan terakhir, dengan mengandalkan kotak amal pada hari Jumat. Begitulah upaya kami untuk membangun sarana ibadah baru. Hingga tanpa terasa, masjid Nurul Huda telah berdiri tegak setahun kemudian. Tanpa hambatan berarti. Cepat bukan?
Kini, anak-anak kecil menjadi rajin berangkat ke masjid untuk belajar ngaji. Selepas magrib, mereka kerap berjalan beriringan sambil mendekap Al Quran di dada masing-masing. Dan untuk memenuhi hasrat belajar tentang pengetahuan keislaman, maka diadakanlah TPA (Taman Pendidikan Al Quran) lengkap dengan beberapa disiplin ilmu tingkat dasar dalam Islam. Di TPA, Mbah ditunjuk sebagai pengajar sekaligus kepala sekolah. Kami percaya betul pada Mbah Kroyep. Pengetahuan agamanya mumpuni. Tak ada tandingannya di sekitaran dusun. Entah belajar di mana beliau selama ini.
Fenomena santri cilik di dusun kami, betul-betul membuat hati terasa lebih tenteram. Kami selaku orang tua merasa bersyukur dengan adanya masjid baru itu. Paling tidak, ketidaktahuan kami dalam pengetahuan agama, dapat sedikit tercerahkan. Selain santri cilik, para remaja juga mulai bersimpati mengikuti kegiatan di masjid. Untuk remaja putra, ada latihan mengumandangkan azan pada tiap-tiap waktu shalat, shorogan kitab kuning, menghafal Quran-hadis nabi, dan lain-lain. Bagi remaja putri, diajarkan juga bagaimana sesungguhnya peran perempuan dalam Islam, terutama berkaitan dengan urusan syariat.
Untuk kaum bapak dan ibu, juga sama keadaannya. Kami jadi semakin terlatih untuk mencintai masjid dari waktu ke waktu. Para istri juga dapat mengikuti kegiatan majelis taklim pada hari Minggu di bawah bimbingan ustazah Laila dari dusun sebelah. Sementara bagi kami kaum bapak, disiplin melaksanakan shalat lima waktu mulai kami pahami setahap demi setahap. Jika azan berkumandang, kami segera meninggalkan pekerjaan di ladang atau di rumah, untuk segera menuju ke masjid. Dan sekali lagi, itu berkat pengajaran dari Mbah kepada kami semua.
Khusus untuk jamaah shalat. Semakin hari kelihatannya terus mengalami perubahan. Banyak kaum lelaki di dusun ini telah memahami arti penting dari shalat lima waktu berjamaah. Seperti dicontohkan oleh baginda Nabi dulu. Saya sering mengingat uraian sederhana Mbah perihal shalat lima waktu ini;
"Cobalah Sampeyan sekalian membeli 3 kilogram jeruk tanpa harus memeriksanya. Lalu bawalah pulang. Di rumah, Sampeyan akan melihat berbagai macam keanehan pada jeruk itu. Misalkan cacat, atau ada ulatnya, dan banyak lagi. Itu tidak kita sadari, karena di awal membeli, kita sudah menyamaratakannya. Nah, begitu juga dengan shalat berjamaah. Ganjarannya kan dua puluh tujuh kali lipat. Apapun kekurangan dan kesalahan kita dalam shalat berjamaah itu, akan juga dihitung sama oleh Gusti Allah. Tak jauh beda dengan cara kita membeli jeruk tadi."
***
Hari ini masjid Nurul Huda genap berdiri setahun. Dan di hari ini pula kami dihadapkan pada satu kenyataan terpahit sepanjang sejarah dusun. Mbah Kroyep tutup usia. Ia mengembuskan napas terakhirnya di angka sembilan puluh satu. Berita menyebar secepat angin meniup tanaman padi kami di sawah. Dusun Lawangsari geger. Anak-anak, remaja, sampai orang tua dan teman seangkatan Mbah, ikut membicarakan perihal "kepergian" manusia terbaik di dusun ini. Hidupnya betul-betul diridai Allah. Menurut penuturan beberapa saksi mata, ia meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Usai mengucap salam pada shalat subuh pagi tadi, ia terbatuk-batuk. Dan dari mulutnya keluar darah segar. Hingga akhirnya terbaring lemas. Tak lama, ia pun mengucap kalimat syahadat, kemudian matanya pun terpejam. Tak terbuka lagi. Dari kejadian itulah para jamaah segera menyimpulkan, bahwa beliau telah berpamitan dengan alam fana. Saya menyesal karena tidak dapat mengantar kepergiannya, karena keenakan tidur hingga melewatkan waktu subuh.
Pagi itu jenazah Mbah dibaringkan di beranda masjid. Seluruh warga datang bertakziah sebagai salam perpisahan. Dilanjutkan dengan memandikan jenazah, mengafani, lalu menshalatkannya di waktu zuhur. Dan terakhir, memakamkan jasad almarhum di sisi kanan masjid. Sesuai permintaannya, jauh sebelum ia meninggal dunia. Setelah jenazah dimakamkan, kami pulang ke rumah masing-masing. Sebagian orang terlihat ngungun. Lesu tak bersemangat. Sebagian lagi biasa-biasa saja. Tapi intinya, kami tetap kehilangan tokoh pembimbing.
Setelah hari kematian itu, perlahan mulai terbongkar rahasia hidup Mbah selama ini. Sumber utamanya adalah ustaz Salahdin, salah seorang karib almarhum di masjid.
"Tapi ini rahasia lo, jangan diceritakan kepada siapa-siapa. Begitu pesan Mbah pada saya," singkat sang ustaz.
Cerita itu akan saya singkat menjadi seperti ini: Almarhum memilih hidup zuhud, karena semasa menjadi saudagar antarpulau dulu, ia sering melakukan perbuatan-perbuatan dosa terselubung. Kegiatan dagangnya itu tidak murni berdagang barang-barang kebutuhan rumah tangga belaka, melainkan dibarengi dengan menjual perawan-perawan cantik ke rumah bordil di beberapa pulau besar. Lalu uang hasil dagang lendirnya kerap ia sumbangkan untuk kegiatan keagamaan. Terutama untuk pembangunan masjid di pulau-pulau tempat ia singgah.
“Tapi ingat ya! Ini rahasia lho. Jangan sekali-kali menceritakannya pada siapa-siapa?" Begitu pesan ustad Salahdin pada saya.
Tujuh hari setelah kematian Mbah
Selama tujuh hari ini, nama almarhum selalu menghiasi pembicaraan kami. Karena dengan meninggalnya Mbah, secara tidak langsung turut pula mengganggu beberapa kegiatan di masjid. Untuk azan shalat, misalnya, para remaja masih terlihat kebingungan. Karena menurut ingatan mereka, Mbah masih tetap hidup, dan akan segera datang untuk mengumandangkan azan. Maka masjid kami pun selalu tertinggal azannya karena hal sepele seperti itu. Tapi tadi pagi, kami semua dikejutkan oleh sebuah keanehan. Suara syahdu azan Mbah kembali. Awalnya kami tidak percaya. Namun setelah mendatangi masjid, kami baru meyakini bahwa suara itu memang milik Mbah. Padahal di tempat muazin tak ada siapa-siapa, tapi ada suara di menara masjid. Aneh!
Empat puluh hari setelah kematian Mbah
Peristiwa azan gaib dikaitkan sebagai karomah Mbah Kroyep. Bahkan saking sibuknya kami membicarakan karomah itu setiap hari, sampai-sampai perihal kebersihan masjid pun jadi terabaikan. Rumput di halaman kian meninggi. Debu di kaca jendela, pintu dan beranda masjid sudah setebal daki badan. Karpet sajadah juga tak pernah lagi dicuci. Soalnya sepele. Karena kami masih tetap meyakini bahwa Mbah belum meninggal, maka menggantikan tugasnya sama saja dengan melangkahi orangnya. Pamalih.
Suatu kali di waktu zuhur, salah seorang jamaah masjid sempat berseloroh bahwa Mbah pasti akan membersihkan masjid lagi. Tak lama ucapan itu terlontar, Mbah betul-betul datang. Hidup kembali. Subhanallah! Semua jamaah shalat terlolong-lolong dan membelalak matanya ketika melihat Mbah. Usai mengucap salam dan menyalami kami satu persatu, ia langsung membersihkan lingkungan masjid. Dan hari itu juga, masjid terlihat lebih bersih.
Seratus hari setelah kematian
Bertambah lagi cerita aneh tentang Mbah Kroyep. Keyakinan kami bahwa beliau memang seorang wali, menjadi semakin tebal. Dua cerita di atas masih belum cukup untuk dijadikan bukti kewaliannya. Ada cerita terbaru dan ini jauh lebih mengesankan. Awalnya kami hendak melaksanakan shalat magrib berjamaah. Usai ikamah, kami menyusun saf lurus ke samping. Seperti biasa, kami tetap menunggu kedatangan Mbah. Tapi setelah tersadar bahwa Mbah sudah meninggal, masing-masing dari kami saling mendorong untuk menghindari tugas menjadi imam. Bahkan ustad Salahdin sendiri tak bersedia memimpin shalat. Tiba-tiba muncul Mbah dari belakang barisan saf. Saat itu pula, keadaan shalat berjamaah menjadi kacau. Semua terlihat gelisah. Bahkan beberapa dari kami malah sempat berpikir untuk bubar dan lari sipat kuping. Tapi badan serasa tertancap di atas sajadah untuk terus menyelesaikan rakaat shalat. Usai mengucap salam, Mbah pun menghilang. Entah ke mana.
Seribu hari setelah kematian
Sudah tak ada lagi pembicaraan tentang karomah. Mbah Kroyep telah menjadi kenangan masa lalu. Warga dusun Lawangsari telah disibukkan oleh kepentingannya masing-masing. Anak-anak sudah tak lagi berangkat mengaji ke TPA. Mereka lebih suka di rumah. Menonton kartun di televisi atau bermain playStation. Ibu-ibu juga begitu. Mereka lebih senang bergunjing di rumah tetangga. Remaja putri malah lebih gemar pergi ke mal untuk berbelanja, timbang mengikuti kegiatan pengajian. Sedang kami kaum lelaki, ramai-ramai berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib. Mencari peruntungan. Jamaah shalat pun semakin mengalami “kemajuan”. Tinggal satu saf pada empat shalat wajib. Dan dua orang saja saat shalat Subuh. Tersisa imam dan makmumnya saja. Masjid Nurul Huda semakin tak terawat dan tak lagi megah, bahkan terkesan kumuh. Kami tak punya lagi perhatian kepada bangunan penuh sejarah itu. Subuh tadi, syahdunya suara azan Mbah kembali terdengar. Saya bergegas menuju masjid. Tiba di sana, ternyata masjid masih kosong. Gelap dan menyeramkan.
"Assholatu khairumminannaum… Assholatu khairumminannaum ..."
Gema azan itu melayang di angkasa. Senyap di telinga orang-orang dusun Lawangsari.
utankampung, februari lima ‘ributujuh
Cerpen Jurnal Nasional
Jakarta | Minggu, 04 Okt 2009
Reno Az, lahir di Medan 18 Agustus 1982. Sekarang mahasiswa S1 Program Studi Islam di Islamic College for Advanced Studies, Paramadina, Jakarta dan peneliti di Institute for Perrenial Studies. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Republika, Lampung Post, majalah Syir’ah, dan masuk dalam antologi cerpen Betawi Perpumda Jakarta.
No comments:
Post a Comment