
SEBELUM pembahasan menjeluk pada
kategorisasi seni sakral dan yang profan, maka terlebih dahulu penulis
berusaha mendudukkan basis yang jelas pada wilayah epistemologi. Hingga
kemudian muncul sebuah premis bahwa seni harus ditipologikan menjadi sakral dan
profan. Landasan epistemologis seni, bermula dari filsafat yang salah satu
rantainya adalah aksiologi: estetika. Dimana segala jenis penilaian seputar
keindahan, berkutat di dalamnya.
Filsafat
memandang seni bukan hanya sekadar pada segi keterampilan, teknik atau
bagaimana permainan emosi itu menjadi serba mungkin dalam penciptaan estetik.
Lebih tepat seni dilihat sebagai sebuah pola atau “modus pemikiran” dari sini
kita bisa secara langsung bersentuhan dengan dunia bentuk-bentuk (forms) struktur,
sistematik dan rasional. (Awuy: 2003, 38). Hal yang sama diungkapkan oleh
Schuon (2003, 113) bahwa “bentuk dalam seni” sebenarnya suatu istilah pleonastis,
karena bentuk tidak mungkin dipisahkan dari seni. Seni adalah azas perwujudan
dalam bentuk. Namun, karena alasan di atas, kita terpaksa menggunakan istilah
ini.
Bentuk
yang dapat dipahami oleh indra terkait dengan ketepatan pemahaman, dan karena
alasan ini pula seni tradisional memiliki kaidah yang menerapkan hukum kosmis
dan universal dalam bidang bentuk. Karena itu di balik aspek lahiriahnya yang
umum, tersingkaplah pola peradaban yang bersangkutan. Pada gilirannya pola ini
menunjukkan bentuk intelektualitas peradaban tersebut. Jika seni kehilangan
sifat tradisionalnya, dan menjadi manusiawi, individual, dan oleh karena itu
berubah-ubah, ini menjadi pertanda pasti dan penyebab dari kemerosotan
intelektual.
Khusus
dalam seni Islam, falsafah yang sangat berpengaruh ialah Mashsha`iyah (Peripatetik), `Ishraqiyah
(Iluminasi) dan Sufiyah (Tasawuf).
Aliran-aliran ini berpengaruh karena para pemukanya membahas masalah-masalah
berkenaan estetika dan para pengikutnya banyak yang berkecimpung dalam kegiatan
seni. Sejak awal perkembangan Islam, mereka (para seniman dan perajin) pada
umumnya merupakan anggota dari futuwwa dan ashnaf,
yaitu gilde-gilde yang diorganisir dan dibiayai oleh para saudagar kaya,
bangsawan, pangeran kaya, gubernur dan bahkan sultan. Sejak abad ke-13 M banyak futuwwa dan gilde bergabung
dengan tariqat-tariqat sufi yang mempunyai peran
menonjol dalam penyebaran Islam dan pembentukan kembali kebudayaan Islam,
khususnya sejak kejatuhan Baghdad karena serangan tentara Mongol.
Tariqat-tariqat sufi ini memiliki jaringan internasional yang luas, begitu pula
gilde-gilde yang bergabung dengannya mempunyai jaringan kuat di bidang
perdagangan, membentang dari Afrika, Timur Tengah, Persia, India, dan Asia
Tengah hingga negeri Cina dan Asia Tenggara. (Hadi: 2006, 12-13).
Maka,
ketika sebuah karya seni itu dihasilkan, apapun hasil pencapaiannya, akan tetap
dikenai hukum estetik. Tentu tergantung juga dengan jenis estetika mana yang
digunakan. Barat atau Islam. Keduanya memiliki ciri dan karakternya
sendiri-sendiri. Sejauh pengamatan yang telah penulis lakukan, klaim atas seni
profan dijatuhkan kepada Barat, yang mengadopsi sistem estetika Yunani Klasik.
Dan klaim tersebut dilontarkan oleh ilmuwan Muslim yang selain berpijak pada
model estetika Yunani, juga banyak terpengaruh oleh sistem filsafat Isyraq dan mistisisme.
Argumen yang dilontarkan oleh Schuon pada paragraf di atas, adalah usaha
kerasnya untuk mengembalikan derajat seni ke dalam bangunan aslinya: seni yang
bersifat murni. Dan di sinilah kemudian dapat ditengarai kenapa akhirnya meruak
pernyataan tentang sakralisasi dan profanisasi seni.
Seni
Sakral
Setelah Divine-Revelation melewati
alam barzakh bersemayam di hati para al-insan al-kamil,
ada dua resiko yang harus diakui sebagai bagian dari pereduksiannya. Pertama, as
much as possible (terkait masalah pembahasaan), kedua formalisasi
bentuknya (society exoterism). Baru kemudian ia menjadi exoterim recognation dan kelak diakses lewat organisasi tariat.
Seni sakral adalah, satu bentuk pengejawantahan seni yang berkorelasi dengan content
cannonical, yang masih harus dibagi lagi ke dalam pembatasan dan subjek
(tema). Kemudian menyusul simbolisme serta gaya ekspresinya. Selain landasan
metafisika itu, ada pula pengaruh sudut pandang filsafat `Ishraqiyah yang
didirikan oleh Suhrawardi al-Maqtul pada abad ke-12 M, yang muncul setelah
surutnya pengaruh rasionalisme Aristotelian. Dalam kitabnya al-Hikmat
al-`Ishraqiyah, Suhrawardi mengritik pemikiran kaum rasionalis yang
bersumber dari ajaran Arsitoteles dalam melihat kenyataan dan kebenaran. Bagi
mereka, keindahan merupakan gambaran objektif dari dunia yang dapat disaksikan,
baik di alam nyata maupun di alam khayal. Cara mencapainya tidak dilakukan oleh
akal aktif, melainkan melalui apa yang disebut sebagai imaginasi kreatif.
Karena kedudukan imaginasi kreatif dipandang lebih tinggi dari akal aktif.
Bagi
mereka kehidupan di alam dunia ini merupakan kelanjutan dari kesinambungan
kehidupan yang ada di Alam Atas. Pandangan ini didasarkan pada sistem
metafisika yang mereka rumuskan; bahwa kehidupan di alam semesta ini terdiri
dari tiga tatanan wujud: (1) Alam Ruh, yang terdiri dari dua lapis yaitu alam
lahut (ketuhanan) dan alam jabarut; (2) Alam Kalbu,
disebut alam malakut (alam keruhanian makhluk-makhluk), juga
disebut alam mithal atau alam khayal (alam
imajinasi); (3) Alam Jasmani, disebut alam nasut atau alam
syahadah (penampakan lahir). Alam Mitsal atau Khayal merupakan
perantara atau penghubung (barzakh) antara alam ruh dan alam jasmani.
Dalam diri manusia ia merupakan badan halus yang berfungsi menangkap
cahaya kebenaran yang dipancarkan dari Alam Lahut. Dan Alam
Jasmani dipandang sebagai kelanjutan dari alam di atasnya.
Seni sakral ini banyak berkaitan dengan wilayah esoterisme, yang memasukkan
suatu ciri intelektual ke dalam bidang ibadah dan tradisi tersebut. Karena itu,
bentuk-bentuk tersebut membawa keseimbangan. Sekiranya keseimbangan tersebut
tidak ada, keseluruhan peradaban itu akan musnah. Jadi, jiwa mistikal yang
dibangun oleh seni suci itu, adalah napas dari pembentuk dunia kita:
lalu-kini-nanti. Dunia Mikrokosmik yang diharapkan tetap berjalan baik, selaras
dengan Dunia Makrokosmik. Karena kebaikan itu sendiri adalah ungkapan
keindahan.
Hanya seni tradisional (sakral), yang diwarisi melalui dan oleh tradisi, yang
dapat menjamin adanya hubungan analogis yang memadai antara tatanan Ilahi dan
tatanan kosmik di satu pihak, dan tatanan manusiawi dan artistik di pihak lain.
Seni tradisional dalam arti yang luas mencakup semua seni dari tatanan formal,
dan karena itu secara a forteriori, mencakup segala sesuatu yang
termasuk dalam bidang ritual. Karena itu, seniman tradisional tidak membatasi
dirinya hanya pada meniru Alam, melainkan “meniru Alam sesuai cara kerjanya”.
(Schuon, 2003: 119).
Spirit mimesis-aksiomatis itulah yang menuntun para seniman tradisonal untuk
menciptakan sebuah karya. Seniman adalah wahana yang berusaha menggambarkan
secara primordial gagasan penciptaan semesta. Tuhan yang berposisi sebagai Prima Causa, dicitra keindahannya lewat
citraan-citraan kesenian yang napasnya sejalan dengan wahyu yang diturunkan
kepada para Nabi-Nya. Muhammad dalam hal ini, menempati posisi sentral dalam
proses kreatif para seniman. Karena beliau adalah juga seniman sejati. Seniman
yang mampu mengaktualisasikan pengalaman kenabiannya, lewat bahasa dan material
budaya yang meng[di]hidupinya.
Dalam seni suci, semua simbolisme bersifat universal. Karena sifat inilah yang
memungkinkan seni yang suci dapat memancarkan kesucian. Sifat universal tadi
juga memungkinkan seni religius bukan hanya dapat memancarkan keadaan ruhani,
melainkan juga ciri psikologis yang dapat dipahami semua orang, terlepas dari
kebenaran metafisik dan fakta sejarah agama. (Schuon, 2003: 127). Karena faktor
keuniversalannyalah, maka seni suci tidak memiliki hambatan ketika
diejawantahkan. Siapa dan dimana pun ia dihasilkan, akan tetap berkesinambungan
dengan moralitas kehidupan yang sedang dihidupi. Dan dari semangat seni suci
ini pula, kebudayaan manusia mulai menemukan bentuk keIlahiannya.
Seni
Profan
Kemerosotan seperti yang diamati oleh
Schuon di atas, dalam hal ini adalah kemerosotan pelbagai cabang seni tertentu
selama zaman Gotik, khususnya dalam bagian terakhir, dari seni Barat secara
keseluruhan sejak Renaisans dan sesudahnya. Seni yang
sebelumnya bersifat kudus, simbolis dan spiritual, telah musnah sebelum
masuknya seni neo-antik, naturalises,
individualistik dan sentimental. Seni yang tidak mengandung sesuatu yang
menakjubkan ini, apapun pendapat mereka yang memercayai keajaiban Yunani, tidak
sesuai untuk mengungkapkan intuisi intelektual, dan tidak lagi memenuhi sesuatu
pun yang lebih sekadar dari aspirasi fisik kolektif.
Karena
itu, seni seperti itu dapat lepas samasekali dari kontemplasi intelektual dan
hanya memerhatikan perasaan belaka. Lebih-lebih lagi, perasaan itu sendiri
merosot menjadi sekadar memenuhi kebutuhan orang banyak, sampai akhirnya
menjadi seni yang vulgar. Anehnya, tak seorang pun memahami sejauh mana
kebobrokan bentuk ini, yang mencapai puncak kehampaan dan menjadi tontonan menyedihkan
pada masa Louis XV. (Schuon, 2003: 115--116).
Sebagaimana
uraian yang telah dikutip dari Schuon di atas, kecenderungan seni profan
mula-mula muncul setelah terlepasnya basis epietemologi ilmu pengetahuan yang
kemudian melulu empirik-rasional-objektif. Sebagai bahan perbandingan, mari
kita telusuri untuk sekian jenak perkara keindahan, yang diulas dalam beberapa
teori yang pernah digagas oleh ilmuwan yang memiliki perhatian khusus pada
wilayah estetika. Pythagoras, Plato, Plotinus dan Thomas Aquinas. Dalam uraian
mereka masing-masing, dikatakan bahwa keindahan itu berdasarkan pada
keseimbangan, keteraturan, ukuran dan sebagainya. Keindahan merupakan jalan
menuju kontemplasi. Ia dianggap ada di luar dan lepas dari si subjek.
Penekanannya, keindahan itu ada di “seberang”. Berada di wilayah yang imajinal,
fantasional dan juga estimasi. Tiga wilayah ini ada dalam batin manusia, yang
menjadi sarana dari mengalirnya konsep keindahan lewat fakultas akal. Namun
dalam teorinya yang lain, Aquinas sejalan dengan Aristoteles, yang mengatakan
bahwa; keindahan adalah perhatian akan apa yang secara empiris terjadi dalam
diri si subjek, yang keduanya menyajikan penyelidikan terhadap pengalaman
manusia secara aposteriori-empiris. (Sutrisno dan Verhaak; 1993, 34).
Sebenarnya,
apa yang sudah dirumuskan oleh para filosof Barat tersebut, bisa saja
didudukkan pada proporsi yang benar. Namun sayang pada perjalanan sejarahnya,
Barat yang memang telah gagal basis kebudayaannya secara epistemologis,
terpaksa menelan “pil pahit” di ranah seni. Karena disiplin seni yang mereka
kembangkan, jauh dari spirit wahyu. Bahkan lepas samasekali dari kacamata
keagamaannya. Sekulerastik akut. Kristen dalam hal ini. Seni hanya dianggap
sebagai media untuk menyalurkan aspirasi terpendam. Dan bukan sebagai bentuk
persembahan agung pada Sang Pencipta. Seperti ketika seni muncul di awal
peradaban manusia. Dalam artian seni yang paling tradisional dan bahkan
primordial.
Barat
sebagai salahsatu kutub pengetahuan di bidang seni, bahkan hampir tidak bisa
membedakan arah seni yang sesungguhnya. Atau ingin dibawa kemana sebenarnya
seni itu sendiri. Karena bagi mereka, segala yang bisa disebut sebagai
keindahan, adalah anugerah alam semesta kepada manusia. Maka untuk dapat
menikmatinya, digunakanlah segala cara agar tercapai semua hasrat pemenuhan
nafsu badaniah. Dengan bahasa yang lain, dapat pula dikatakan bahwa
kecenderungan itu adalah bagian dari pseudo seni. Penciptaan sebuah karya yang
dilakukan demi untuk memuaskan keinginan jasmaniah semata. Khususnya pada ranah
seni rupa dan juga kriya. Dan biasanya objek dari karya-karya tersebut, banyak
dinisbahkan pada kaum hawa. Sebagai sumber dari keindahan yang lain. Tentu
dengan banyak varian. Bisa berbentuk telanjang atau sedang melakukan
persetubuhan.
Bentuk-bentuk
karya ini dapat ditelusuri pada dinding-dinding atau kubah-kubah katedral di
banyak negara Eropa. Vatikan adalah salahsatu yang memajang jenis karya seperti
itu, yang dihasilkan oleh Michaellangelo pada kubah Basilika St. Petrus.
Ironis! Lepas dari perspektif estetik yang digunakan, sebenarnya kita masih
bisa memertanyakan perihal ini: apakah hanya melulu wanita yang bisa dijadikan
sumber keindahan? Apakah lelaki atau materi lain tidak bisa memenuhi
standardisasinya? Oleh karena itulah, Schuon (2003: 129) mengatakan bahwa seni
profan bernilai psikologis bagi jiwa yang memiliki intelegensi rendah. Ia akan
kehabisan sarananya justru karena kedangkalan dan vulgaritasnya, yang pada
akhirnya hanya akan menimbulkan reaksi berupa kebencian. Reaksi ini terlalu
umum dan dapat dianggap sebagai balasan penolakan seni profan terhadap seni
yang suci, khususnya pada tahap-tahap permulaan.
Sejatinya,
anasir-anasir erotis yang banyak ditemukan dalam karya-karya seniman Eropa atau
di banyak belahan dunia lain, bukan kecenderungan satu-satunya. Masih banyak
ragam yang bisa kita temukan terkait dengan perkara seni profan. Semisal para
penggagas seni avant garde, surealisme dan absurdisme (untuk tidak
mengikutkan semua contoh), adalah bentuk penciptaan seni terbaru yang
objektifikasinya selalu terkait dengan ruang gerak peradaban yang ditafsir
secara berbeda oleh para seniman tersebut. Dengan catatan, sarat nilai
antroposentrisme. Sehingga tak ada lagi tempat yang tersisa bagi
teosentrisme.
Sebelum
pembahasan beranjak pada topik berikutnya, saya ingin memasukkan sebuah
analisis yang berkenaan dengan seni profan dan sakral ini. Sebenarnya tidak ada
yang salah dengan keduanya (seni sakral dan profan). Karena perdebatan seputar
ini, menurut saya hanya bersumber pada objek dari karya seni tersebut, lewat sudut
pandang epistemologis yang sarat unsur teologisnya. Apa dan bagaimana pun ragam
yang dihasilkan. Lebih tepatnya, ruang perdebatan itu hanya berkutat pada
dimensi spirit dan pijakan epistemologis yang melatarbelakangi terciptanya
sebuah karya seni. Sehingga hasil akhirnya adalah, terdapat dua jenis seni yang
saling bertolak belakang. Padahal secara substansial, seni adalah seni. L’art
pour l’art. Apa pun subjek dan objeknya, seni tetap menjadi buah dari
peradaban manusia. Pembentuk semua dasar dari tindak-tanduk kemanusiaan.
Peran
Seni dalam Tasawuf
Leaman dalam bukunya Estetika Islam (2005, h. 106-110), memaparkan tiga argumen kuat
yang menentang penggunaan seni dalam budaya Islam:
- Penggambaran visual yang kreatif berakibat pada
dikuasainya akal pikiran.
- Pemusatan pada gambaran, menghambat pemahaman
hakikat segala sesuatu.
- Nabi mencela pemberhalaan.
Jika
kita mengomparasi analisis Leaman tersebut dengan sejarah seni yang berkembang
dalam Islam, maka teramat mudah untuk mematahkan analisis tersebut. Sebab pada
kenyataannya, hampir di setiap cabang seni, Islam turut menanamkan pengaruhnya.
Bahkan ikut menentukan arah perkembangan seni dunia hingga kini. Terutama seni
sastra, musik dan lukis (arabesque).
Pertanyaan mendasarnya adalah, apa yang melatari para seniman muslim, yang
notabenenya banyak yang berlatarbelakang tasawuf, untuk menggunakan medium seni
sebagai modus pengaktulisasian diri? Saya akan coba menjawabnya seperti
ini.
Berkenaan
dengan seni yang landasannya adalah keindahan, al-Ghazali membaginya pada
beberapa peringkat yang disusun sebagai berikut: keindahan inderawi dan nafsani (sensual),
disebut juga keindahan lahir, keindahan imaginatif dan emotif, keindahan aqliyah atau
rasional, keindahan ruhaniyah atau irfani, keindahan Ilahiyah atau
transendental. Dua keindahan terakhir dari al-Ghazali itulah yang kerap
dieksplorasi oleh para sufi dalam karya-karya mereka. Baik dalam ranah sastra,
musik dan juga seni lukis. Dalam satra misalnya, sumber-sumber pengaruhnya
adalah adalah al-Quran–sifat kelembutan Tuhan (lutf), keindahan-Nya (jamal),
Maha Pemaksa Tuhan (qadr),
keagungan-Nya (jalal), Sunnah, dzauq (rasa bahasa) yang
berusaha membahasakan derajat tertinggi metafisika dan psikologi spiritual,
dengan menggunakan fenomena paling wajar dan pengalaman hidup sehari-hari
(Nasr: 2003, 155).
Imajinasi puitis sebenarnya adalah, bila tidak dalam teori, menjadi sarana
prinsip para penyair mistikus untuk membawa pembaca ke suatu pegertian tentang
wahyu kenabian. Suatu pengertian yang bahkan melampaui kemampuan tinggi
intelektual. Kebingungan bukanlah suatu kemandekan. Kebingungan adalah permulaan
dari suatu pengetahuan mistis yang sesungguhnya (Renard: 2001, 40). Puisi
menurut Rumi, adalah sebuah upaya untuk menuturkan kebesaran Ilahi, yang
mengungkapkan dirinya sendiri melalui pelbagai aspek kehidupan–esensi
ketauhidan karena segala sesuatu melantunkan puji-pujian bagi yang Esa.
Mengingat setiap kejamakan, pada akhirnya dapat direduksi menjadi ke-Esaan
(Nasr: 2003, 160).
Secara epistemologis, para penyair sufi ini termasuk ke dalam golongan ketiga
dalam hierarki para ahli hikmah yang disusun oleh Suhrawardi (Mulyadhi; 2003,
92). Karena mereka terbilang mampu membahasakan cerapan pengalaman mistiknya
itu ke dalam bahasa yang bisa dipahami dan juga diskursif, seperti yang
dilakukan oleh ‘Ibn Arabi. Hossein Nasr (2004), mengistilahkan kemampuan
berbahasa atas cerapan pengalaman mistik itu sebagai scientia sacra (tradisi
seni suci). Yang memandang Realitas Tertinggi itu sebagai Kemutlakan,
Ketakterbatasan dan Kesempurnaan atau Kebaikan. Keindahan yang dihubungkan
dengan semua hipotesa tentang Yang Riil. Ia merefleksikan kemutlakan dalam
keteraturan, dan tatanan ketakterhinggaan dalam pengertian batin dan misteri,
yang menuntut kesempurnaan. Dari jalur inilah kemudian mengalir ribuan ghazal
dari Attar, Rumi, ‘Ibn Arabi dan para penyair sufi masyhur dalam bidang
ini.
Keindahan
ruhaniyah dan `irfani (mistikal) dapat dilihat
dalam pribadi Nabi. Nabi merupakan pribadi yang indah bukan semata-mata
disebabkan kesempurnaan jasmani dan pengetahuannya tentang agama
dan dunia, tetapi terutama karena akhlaq-nya yang mulia dan tingkat
makrifatnya yang tinggi. (Hadi, 2006: 15). Hal ini pula yang melatari lahirnya genre seni
rupa yang motif karyanya banyak termotivasi dari unsur Kebesaran Allah yang pengejawantahannya
ada pada satu objek tertentu. Biasanya dinisbahkan pada Nur Muhammad atau para
sufi agung yang penempatannya diletakkan di tengah-tengah, dan dikelilingi oleh
objek-objek lain yang terlihat tidak begitu menonjol posisinya.
Beberapa
hal menyangkut Gambaran Dunia (weltanschauung) yang
disajikan al-Qur`an dan pengaruhnya terhadap estetika, khususnya
karya sastra, musik dan seni rupa, dapat dirunut seperti ini:
Pertama, dalam al-Quran dinyatakan bahwa alam semesta,
juga pribadi manusia di mana ayat-ayat-Nya terbentang,
diumpamakan sebagai Kitab Agung atau sebuah karya sastra yang
ditulis oleh Sang Pencipta dengan kalam-Nya di atas lembaran
terpelihara (lawhu`l-mahfudz). Gambaran seperti
itu jelas mendorong perkembangan sastra, penulisan kitab, seni kaligrafi
dan perbukuan.
Kedua, telah dinyatakan bahwa menurut al-Quran,
Tuhan meletakkan ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang menakjubkan di alam
semesta dan dalam diri manusia. Ayat-ayat Tuhan dalam alam semesta berupa
pelbagai fenomena alam, peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah. Dan
dalam diri manusia ialah akal pikiran, imajinasi dan fakultas keruhanian yang
lain. Berdasarkan pandangan di atas
pula para sufi memberikan beberapa pembagian peranan
atau fungsi karya seni.
(1) Fungsi seni ialah untuk tawajjuh,
yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiwa yang damai (mutmainah) dan
menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi. Ini dikemukakan antara lain
oleh Imam al-Ghazali.
(2)
Fungsi seni yang lain, sebagaimana dikemukakan Ruzbihan
al-Baqli (abad ke-13 M) ialah tajarrud, yaitu
pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal
dari alam benda itu sendiri. Misalnya
suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata.
(3) Fungsi seni yang lain lagi ialah tadzkiyah al-nafs, yaitu
penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk melalui
bentuk-bentuk itu sendiri. Ini dinyatakan antara lain oleh Jalaluddin Rumi,
sebagaimana terekam dalam ribuan sajak-sajaknya.
(4)
Fungsi seni yang lain ialah, untuk menyampaikan
hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita bersikap adil
dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia,
lingkungan sosial, alam tempat kita hidup dan
diri kita sendiri. Banyak dikemukakan para filosof dan sastrawan seperti
Ibn al-Muqaffa’, al-Jahiz, Ibn Sina, Abu `Ala al-Ma`arri, Ibn `Ata’illah dan
Mulla Sa’adi.
(5) Seni juga berfungsi sebagai
sarana efektif untuk menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang
berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan
sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi
dan gagasan keagamaan. Para ilmuwan, ahli adab, ulama fiqih dan ushuluddin,
serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini.
(6) Karya seni juga dicipta untuk menyampaikan
puji-pujian kepada Yang Satu. (Hadi, 2006: 7-8).
Maka
tak syak kiranya jika dalam ranah mistisisme, banyak bermunculan dan berkembang
karya-karya seni. Hal itu terjadi lebih dikarenakan karena faktor pembahasaan
pengalaman mistik yang dialami oleh para sufi. Keindahan Alam Lain yang lazim
disaksikan oleh para pesuluq sejati, lewat kasyf dan musyahadah-nya,
tentu berdekatan medium ekspresinya dengan dunia seni yang inheren dimiliki
oleh manusia. Sehingga sah kiranya jika para sufi itu, juga disebut sebagai
Seniman Ilahi. Yang berusaha mengabarkan dan mengekspresikan hasil
pencerapan serta pengalaman mistiknya, ke dalam ranah kehidupan yang fana’ ini.
Setiap bentuk (surah) yang kau lihat di alam ini
Adalah salinan dari gambar di alam gaib
dan alam mitsal
Jika bentuk dan rupa dilenyapkan, raib
pulalah tanda dan benda
Asal-usul dari gambar-gambar itu berada di
alam Keabadian
~Jalaluddin Rumi
dalam Mathnawi-i Ma`nawi (1207-1273 M)
pesanggrahan,
juli limabelas ‘ributujuh
Pustaka
Rujukan |
Awuy,
Tommy F, Sisi Indah Kehidupan
–pemikiran seni dan kritik teater-. Jakarta: MSPi, 2003.
Az,
Reno, Menilik Tradisi Puisi
Para Sufi. Makalah presentasi dalam subjek mata kuliah Mystisisme di ICAS,
Jakarta pada Januari duapuluhdua ‘ributujuh. Bimbingan Bapak Muhammad Baqir.
Hadi
W. M, Abdul, Islam: Cakrawala
Estetik dan Budaya. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
------------------------, Tasawuf Yang Tertindas–Kajian
Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri-. Jakarta: Paramdina, 2001.
------------------------, Islam, Estetika dan Seni.
Makalah kuliah di ICAS, dalam matakuliah Estetika Islam, 2006.
Hilal,
Ibrahim, Tasawuf Antara Agama
dan Filsafat –sebuah kritik metodologis-. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Hossein
Nasr, Seyyed, Tasawuf Dulu dan
Sekarang. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Kartanegara,
Mulyadhi, Jalal al-Din Rumi
–Guru Sufi dan Penyair Agung-. Jakarta: Teraju, 2004.
Leaman,
Oliver, Estetika Islam –menafsirkan seni dan
keindahan-. Bandung: Mizan, 2005.
Renard,
John, Dimensi-Dimensi Islam
(Seven Doors to Islam). Jakarta: Inisiasi Press, 2004.
Sutrisno,
Mudji., Verhaak, Christ, Estetika
Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Schuon,
Frithjof, Titik Temu
Agama-Agama (The Transcendent Unity of Religions) . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
No comments:
Post a Comment