Desa Oboh, Kecamatan Runding, Kota Subulussalam, Aceh Selatan |
Corak Sufistik
Perjalanan sastra di Nusantara telah berlangsung berabad lamanya. Kita bisa menarik benang merahnya sejak zaman kerajaan awal—di masa Mpu Sindok (Abad ke-VII M), hingga terus mengalir bahkan hingga di millennium kedua alaf ini. Namun letak kajian kita tidak ingin merangkul seluruh perjalanan historis itu secara holistik. Melainkan mencoba mengambil satu jalur lain—yang juga berkenaan dengan sastra yang pernah dan terus berkembang di negeri ini. Kami akan coba mengaitkan keterpaduan sastra itu dengan Islam, yang peran serta pengaruhnya juga penting dalam perkembangan bangsa Indonesia.
Maka untuk itu, demi melakukan kerja intelektual yang ketat dan terarah, kami akan coba melakukan pembabakan atas perjalanan sastra Indonesia yang terpengaruh semangat ke-Islaman. Setelah melakukan kajian riset mendalam, kami memilih puisi sebagai percabangan sastra, untuk diketengahkan terlebih dulu. Khususnya puisi yang bergenre sufistik. Jika sudah mengikutsertakan genre, maka tak syak lagi, tokoh garda depan yang layak diangkat adalah Hamzah Fansuri. Lepas dari adanya penyair lain yang juga ikut andil, tapi peran sufi dari Barus ini jelas tak bisa dinafikan.
Barus di zamannya, adalah sebuah transito dagang dan keilmuan—khususnya Islam yang bersinar terang bak matahari dari Timur. Sufi agung Hamzah Fansuri yang karyanya dibakar dan ditentang di masa Nuruddin ar-Raniri di istana Sultan Alauddin Syah dan Iskandar Muda itu, bukanlah seorang intelek karbitan. Makamnya harum di pekuburan Bab Ma’la, Makkah, bertarikh 11 April 1527 M. Dari tokoh inilah lahir tiga karya Asrar al-Arifin (Rahasia Orang Arif), Sharab al-Ashiqin (Minuman Orang Berasmara) dan al-Muntahi (Si Penganut) yang diyakini oleh Doorenbos, peneliti perdana Hamzah pada 1933 sebagai asli karangannya, karena dibubuhi tanda tangan langsung oleh sang penulis.
Hal ini juga diamini oleh mayoritas peneliti yang menggarap bidang sastra sufistik Nusantara. Mengapa Hamzah dan Barus menjadi penting? Jawabannya adalah, peran Barus sebagai kosmopolit di wilayah oksidental, otomatis, menyebabkab penyebaran karya dan pengaruh Hamzah merebak begitu mudah. Dari catatan yang kita dapat dari peneliti Prancis, Claude-Guillot, ada begitu banyak bangsa dunia yang berkunjung ke pulau ini untuk membeli kamper; pedagang dari Yunani, Mesir, India Selatan, Jawa dan Timur Tengah (kebanyakan Persia), penganut Agama Yahudi, Kristen Timur juga Islam, yang pernah singgah di sini dan berasimilasi dengan penduduk setempat yang beragama Hindu Brahma dan juga Buddha (hlm, 90).
Kedua, Hamzah Fansur yang berijazah Tariqat Qadiriyyah, memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Wujudiyyah Ibn ‘Arabi di Nusantara. Ini diyakini dengan adanya sistem Martabat (Derajat) Lima dalam karya-karya Hamzah. Peran penting Fansur khusus dalam wilayah sastra sufistik, jelas tak tergoyahkan. Dari konvergensi unik antara menerpadukan sastra dengan tasawuf yang dilakukannya inilah, Hamzah mencuat sebagai penyair ulung. Belum lagi jika ditambah dengan kemampuannya berbahasa—Melayu, Arab, Jawa dan lainnya, yang di kala itu, belum tentu dimiliki oleh penyair sezaman. Kelak, corak sastra sufistik beraliran Wujudiyyah ini, kembali mencuat di tangan para sastrawan andal kiwari di Indonesia.
Sejatinya, peran Hamzah sebagai pemula sastra dalam perspektif konvensional, mesti diteliti ulang. Mengingat ditemukannya Nisan Minye Tujuh yang ditemukan di Aceh (781 H/1380 M) dan syair Melayu di prasastinya dibaca oleh Willem van Der Molen. Sedang yang berbahasa Arab ditranskrip dan diterjemahkan oleh Ludvik Kalus. Satu hal yang menarik adalah, nisan yang bertuliskan aksara Melayu (Sumatera Kuno) dan seolah bercorak Arab ini, tidak ditulis dalam bahasa Arab, melainkan dalam Bahasa Melayu Tinggi yang kini hampir punah sama sekali, atau jika pun masih ada, hanya segelintir saja yang tersisa. Hal menarik dari Syair Minye Tujuh ini yaitu terkait dengan sejarah sastra literer Nusantara, yang diduga berasal dari Hamzah Fansur. Jika merujuk pada tahun pembuatan, inilah karya sastra tertua di Nusantara yang masih terselamatkan. Namun karena prasasti ini masih menyimpan kekaburan, maka kedudukan Hamzah Fansur tetap tak tergantikan. Ia berkibar sendirian di jagat sastra Nusantara.
Puisi yang digarap oleh Hamzah, banyak mengetengahkan pengalaman pribadinya yang hidup di zaman merkantil kuno Nusantara. Juga bagaimana pertalian kuat yang dirasakannya secara intim dengan Al-Haq sebagai objek batiniah dari hidup dan kehidupannya. Ia yang banyak mengembara ke pelbagai negeri manca, jelas mengikutsertakan pengalamannya itu dalam syair-syair yang digubahnya. Sehingga hasil pencerapannya itu banyak membantu kita memahami bagaimana dunia bergerak di masa itu. Secara sosio-historis, ia berhasil memetakan alam dan lingkungannya dengan sangat baik. Meski dengan berbekal bait-bait puisi yang ketat pemaknaannya.
Selain Hamzah Fansur, memang ada Sunan Bonang dengan “Suluq Wijil-Regol- dan Kalipah Asmara”-nya. Juga Sunan Kalijaga yang ditengarai telah menggubah syair “Lir-ilir” (?). Ditambah Syaikh Abdul Kadir Munsyi yang banyak melahirkan karangan sastra bertemakan hikayat, semisal Hikayat Hang Tuah, Hang Jebat dan lainnya. Namun menurut kami, peran dari tokoh-tokoh ini kurang terang dan tak terlalu teramati oleh generasi penerusnya, sehingga karya mereka tenggelam ditelan zaman. Belum lagi, lahan garapan yang mereka tekuni tak dapat dikatakan sebagai sastra puisi yang bercirikan konvensional. Sehingga tak dapat pula disejajarkan dengan Hamzah dari Barus.
Hamzah dan perannnya kelak diikuti oleh beberapa penyair lain di awal abad ke-20. Satu diantaranya adalah Amir Hamzah. Pangeran tampan dari tanah Langkat yang dilahirkan di Tanjungpura, Sumatera Utara, pada 28 Februari 1911. Ia menjalani hidupnya yang liris selama 35 tahun dan berakhir dengan kematian yang mengenaskan. Hasil gubahan puisi yang telah ditulis oleh Amir, dapat ditelusuri dalam Buah Rindu yang dikarangnya semasa ia masih aktif di organisasi Indonesia Muda. Sebenarnya masih ada beberapa karya lain dari Amir Hamzah yang bisa ditemukan. Namun Buah Rindu adalah karya unggulannya yang cukup fenomenal.
Sebagai penerus tradisi puisi modern, Amir juga masuk ke dalam jajaran penyair sufistik seperti halnya Hamzah Fansuri. Jika kita menelaah karyanya dengan baik, maka kita akan menemukan begitu banyak pesan-pesan sufistik yang tersemat dalam setiap gubahan yang ia hasilkan. Memang tak dapat dimungkiri, bahwa ia juga membuat beberapa puisi profan yang tentu adalah bagian dari pengalaman hidupnya. Penyematan pada Amir sebagai penyair sufistik, tentu bukan tanpa alasan. Hal ini lebih dikarenakan kentalnya muatan sufistik itu pada setiap syair gubahannya. Ia terkesan seperti hamba yang merindu kepada Mahbub-Nya. Terus mencinta pada Sang Cinta sejati.
Kemirisan dan kelirihan hidupnya itu, dapat kita lihat pada saat ia dipaksa menikah dengan gadis yang tidak dicintainya, seorang putri raja yang bernama Tengku Putri Kamaliah. Selama masa pernikahannya itu, ia terus menekan perasaan dalam dada dan darah mudanya yang kerap bergejolak. Amir telah menjadi merak yang kesepian. Di tanah kelahirannya sendiri ia tak dapat menikmati indah dan nikmatnya hidup. Bertolak belakang dengan keindahan syair-syair yang ditulisnya. Jika mengamati hal ini, nampaknya Amir memang tak begitu peduli dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Tapi sebaliknya, ia malah begitu mendamba bertemu dan menjemput kematian, agar dapat bertemu dengan objek Cinta yang didambanya. Meski kesunyian terus menguntitnya hingga akhir hayat.
Membuat sebuah pertautan antara sunyi dan Amir Hamzah bukanlah sebuah perkara mudah. Tapi sebagai upaya penghormatan mendalam pada sosok ini, kami akan mencoba mendedahnya sebaik mungkin. Berbekal keberanian dan konsistensinya berkarya dengan mengggunakan bahasa Melayu tingkat tinggi, Amir Hamzah menjadi satu-satunya penyair yang berjalan sendirian di jalanan kesusastraan Melayu klasik. Satu keuntungan yang ia dapat sebelumnya adalah; secara demografis ia adalah putra asli dari negeri Melayu yang masih tetap menjalankan pemerintahan patrilinial sambil terus berhubungan dengan wilayah-wilayah lain di luar Langkat, semisal, Jawa, Sumatera Timur atau dengan tetangga terdekatnya yaitu Malaka yang mempunyai kedekatan historis dalam rumpun kebangsaan.
Di masa kepenyairan Amir, ia masuk kategori sastrawan Pujangga Baru—berbarengan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, yang menolak habis-habisan gaya bahasa dan semangat klasik yang diusung oleh Amir. Di saat inilah, masa dimana kesusastraan Indonesia mulai menemukan jati dirinya setelah sekian lama terus menguntit di bawah literasi bahasa Belanda. Bagi HB. Jassin –paus sastra Indonesia, Amir layak disebut sebagai raja penyair negeri ini. Tentu gelar ini tak pernah ia dengar sama sekali.
Jika kita mengikuti karya-karya puisi yang ditulisnya dalam rentang waktu 14 tahun sedari 1932-1946, maka ini dapat ditandai sebagai sebuah proses pemindahan rasa yang bersifat emotif dan tentu bernapaskan kesunyian yang kerap ia alami pada masa-masa di mana isu nasionalisme sedang marak-maraknya dibicarakan. Solo, sebagai tempat Amir Hamzah berkegiatan saat itu, adalah sebuah kota yang sedang menggelegak akibat panasnya suhu politik yang dilancarkan oleh pihak pemuda kepada pemerintahan Hindia Belanda selaku penjajah. Walau ia sempat dipercaya menjadi ketua dari Indonesia Muda (IM) cabang Solo, dengan masa jabatan lebih kurang setahun, ia tetap tidak pernah mengobarkan semangat memerjuangkan kemerdekaan itu dalam karya-karyanya. Satu hal yang sangat kontras sekali.
Dengan begitu teduh ia mengurai gagasan-gagasan dan cerapannya itu dalam puisi-puisi yang sempat dicap Chairil Anwar sebagai puisi, duistere poezie; puisi gelap. Ungkapan itu terlontar karena puisi Amir Hamzah memang terasa sulit untuk dimengerti, hal ini dikarenakan kegemarannya menggunakan bahasa dan metafora yang sudah hampir lenyap dari peredaran bahasa tutur dan tulis, itu jika kita tak ingin menyebutnya mati. Berpegang pada konteks bahasan ini, kami mencoba untuk mendedahkan beberapa bait puisinya yang dikumpulkan dalam Nyanyi Sunyi;
Sunyi itu duka
Bagi Amir Hamzah, duka yang dihasilkan oleh sunyi itu adalah sebuah realitas yang tak bisa kita lepaskan begitu saja jika kondisi psikologis tidak mendapatkan dorongan yang kuat untuk menciptakan sisi defensif dari dalam diri kita. Sederhananya adalah, Amir dikala itu sedang mengalami benturan emosi yang bersifat ambigu. Di satu sisi; ia yang berada jauh dari tanah kelahirannya, mempunyai semangat yang begitu tinggi untuk menuntut ilmu. Sementara di sisi lain; ia harus menunjukkan keberhasilanya itu pada keluarga dengan hati teriris sebab sekolahnya itu tidak akan dibiayai lagi oleh Sultan Langkat, ayahnya. Maka untuk itu ia harus rela disandingkan dengan Tengku Putri Kamaliah, setelah ia dipaksa balik negri dengan alasan “krusial,” dan inilah yang paling melukai hatinya.
Sunyi itu kudus
Dengan 50 sajak yang masing-masing dikumpulkan dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi itu, praktis, kita akan kerap bertemu dengan puisi-puisi yang sarat muatan metafisis. Kudus, yang dalam hal ini selalu disinergikan dengan tuhan, adalah sebuah kenyataan yang sangat dekat sekali dengan pribadi Amir sebagai penyair yang dibesarkan di tanah Melayu. Kecintaannya terhadap tuhan dapat kita temukan dalam sajak-sajaknya. Satu diantaranya adalah, “Padamu Djua”;
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada.
Atau dalam sajak Hanja Satu yang lebih melankolis ini;
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serupa musa dipuncak tursina.
Masih ada juga bentuk lain dari kebebasannya bercengkrama dengan tuhan yang dirangkumkannya dalam bait lain pada sajak “Padamu Djua”;
Engkau cemburu
Engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas.
Sunyi itu lampus.
Jika tak ada kata lagi yang dapat mewakili lara di hati, mungkin lampus itulah pilihan terakhir yang diambil oleh Amir Hamzah. Sebuah runtutan kata yang begitu tertata, dimulai dari duka, kudus, hingga akhirnya, ia sepêrti menciptakan sebuah strata bagi tulisannya sendiri. Amir seolah membuat sebuah kesimpulan bahwa sunyi itu hanya bisa diselesaikan oleh satu kata, mati. Mati itulah yang akhirnya memang membuat ia berpisah dengan kesunyian. Pada 19 Maret 1946, akibat kekerasan senjata pada masa gerakan revolusi, ia dipancung tanpa diperiksa di Kuala Bingai, 10 kilometer dari kota Binjai. Amir Hamzah memang telah pergi, tapi jalan yang direntangkannya telah membuka khazanah kesusastraan modern Indonesia.
Para Pelanjut
Sastra Islam yang berbasis puisi, berakhir sementara di tangan lembut Amir Hamzah, untuk kemudian ditumbuhkembangkan oleh sastrawan lain dengan cabang berbeda, yaitu cerpen. Beberapa tonggak penting dari para sastrawan ini adalah A. A. Navis (Robohnya Surau Kami), Umar Kayam (Cerpen Lebaran) dan Danarto (Adam Ma’rifat, Godlob, dll). Era yang melatarbelakangi kemunculan ketiga pengarang ini, memang berbeda. Namun apa yang dihasilkan oleh mereka, adalah sebuah perwakilan dari sebuah tanggapan berlatar epistemologi Islam atas zamannya yang terus bergerak. Letak perbedaan antara mereka hanya berada pada soal pilihan garapan saja. Navis dan Kayam mengangkat tema keislaman yang bersifat eksoterik-sosiologis. Sementara Danarto lebih kuat ke arah esoterik. Meski ketiganya sama-sama mengetengahkan tema kultural dalam karya yang dihasilkan. Navis yang Minang, sedang Kayam dan Danarto, lebih memilih latar budaya Jawa.
Sebagai perbandingan, kami akan menyertakan beberapa nukilan dari karya mereka dalam tulisan ini. Pertama, karya yang dihasilkan Kayam (lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932), yang berjudul “Lebaran di Karet, di Karet”. Cerpen ini dimuat di Harian Kompas pada 24 Desember 2000. Tokoh pencerita dalam cerpen itu hidup sendirian di hari tua, karena istrinya telah meninggal dan anak-anaknya semua tersebar di luar negeri. Di hari Lebaran ia membuat semacam refleksi untuk menghayati perubahan yang terjadi pada anak-anaknya yang kosmopolit, sementara ia tetap dalam tradisi lamanya (Jawa).
Di situ diceritakan bagaimana anaknya minta izin tidak bisa pulang Lebaran, karena ada janji main ski di Alpen, yang lain lagi masih magang di IBM New York, dan seterusnya. Kayam menutup cerpennya dengan kalimat:
"Dengan tegas berhenti sebentar kemudian membanting stirnya ke arah jurusan kiri. Ke Karet, ke Karet-tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet... Rani pasti setuju dan senang."
Uniknya, baris akhir dari cerpen ini seperti sebuah ramalan yang ia buat untuk diri sendiri. Tak ubahnya seperti Chairil Anwar dengan puisinya, “Di Karet aku terbaring”. Kayam akhirnya pamit di usianya yang ke 70 tahun. Di Karet pulalah ia terbaring dengan tenang.
Kedua, A. A Navis dengan cerpen monumentalnya “Robohnya Surau Kami (RSK)” yang terbit kali pertama pada 1956. Cerpen ini sejatinya adalah bagian dari ontologi cerpen dengan judul yang sama. Di dalam kumpulan ini, tersirat semangat sosio-reliji, wajah Indonesia di zaman itu dengan penuh kegetiran, penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu yang bersebaran dalam setiap judulnya; Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa. Dalam RSK misalnya, terdapat sebuah dialog menarik antara tuhan dengan Haji Saleh. warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah.
Cerpen RSK bercerita tentang kisah tragis matinya seorang kakek penjaga surau, akibat menggorok lehernya sendiri, usai mendengar cerita dari Ajo Sidi—si Pembual, tentang Haji Soleh yang masuk neraka. Padahal pekerjaan sehari-harinya beribadah di masjid, dari mulai ibadah A-Z, persis yang dilakukan oleh si kakek. Jebulnya, saat "hari penentuan” bagi manusia, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka. Haji Soleh memprotes Tuhan. Tapi ia mendapat penjelasan dari Tuhan; "Kamu tinggal di tanah Indonesia yang kaya raya, tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang."
Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, kakek memutuskan bunuh diri. Ajo Sidi yang mengetahui kematian kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk kakek, lalu beranjak kerja ...
Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, kakek memutuskan bunuh diri. Ajo Sidi yang mengetahui kematian kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk kakek, lalu beranjak kerja ...
Ketiga, Danarto yang dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Ia dikenal sebagai salah satu sastrawan produktif di Indonesia. Karyanya yang cukup terkenal adalah ontologi cerpen, Godlob (1975), Adam Ma'rifat yang, memenangkan Hadiah Sastra 1982 Dewan Kesenian Jakarta, serta Hadiah Buku Utama 1982. Sebagai sastrawan, Danarto adalah cerpenis yang paling istiqomah dengan tema yang digarapnya. Sejak awal kemuculannya di jagat sastra Indonesia, ia tetap mengusung latar budaya Jawa yang melulu dibalut oleh jalinan metafisika khas Islam. Sehingga akhirnya kita akan mengalami kesulitan ketika melakukan penandaan terhadap karyanya itu. Apakah ia sedang menceritakan Jawa dalam konteks keislaman, atau ia sedang mengangkat Islam yang bersinergi dengan semangat kejawaan.
Para kritikus sastra sepakat memasukkan Danarto ke dalam tipologi sastrawan yang berjenre realis-magis–yang di Indonesia masih dianggap nyeleneh. Padahal sebagai jenre, pengarang besar semisal Gabriel Garcia Marquez, telah mengadopsinya dalam setiap karya yang ia hasilkan. Mungkin di Indonesia, hanya Danarto seorang-lah yang tekun dan sanggup mengibarkan jenre ini hingga puluhan tahun. Memang ada juga sastrawan lain yang mengolah tema serupa, tapi daya imajinasi dan stamina mengarang mereka, kalah jauh dibanding Danarto. Sehingga penulis-penulis itu pun berguguran seiring waktu.
Demi mengangkat karyanya itu ke dalam besutan realis-magis, Danarto dengan sangat mudah menggunakan tokoh yang bukan manusia. Dalam “Setangkai Melati di Sayap Jibril”, misalnya. Ia menjadikan bunga dan manusia sebagai tokoh utama yang saling mengisi. Tak penting apakah si bunga memiliki karakter atau tidak, tapi pada prakteknya, tokoh-tokoh itu lahir dengan keunikan yang tak pernah ada pada penulis sezaman, bahkan hingga kini. Bukan hanya benda-benda duniawi, Danarto pun kerap meminjam sosok matahari, bulan bahkan malaikat, untuk menguntai jalinan cerita yang ia susun.
Berbekal teknik bercerita yang non-konvensional pula, Danarto menjadi semakin liar menggambarkan kegelisahannya pada ruang spiritual yang pada hakikatnya memang tak berbatas. Maka dari itu, apa pun yang ia gunakan sebagai penunjang cerita, berubah menjadi metafor, tanda, atau perbandingan terbalik antara dunia kasat dengan alam sunya ruri–istilah yang sering digunakannya untuk membahasakan alam metafisika. Kentalnya ruang mistik Islam dalam karyanya, masih bisa ditelusuri pada ontologi cerpennya yang terbaru, Kacapiring (2008). Dalam karyanya yang terbaru ini, ia malah bertambah lihai mengolah gagasan estetiknya, untuk menggambarkan situasi spiritual yang sedang ia alami.
Karyanya yang lain adalah: Orang Jawa Naik Haji; catatan perjalanan ibadah haji (1983); Abracadabra yang ditulisnya pada saat ia mengikuti program menulis di Kyoto, Jepang, Lauk dari Langit, Alhamdulilah, Masih Ada Dangdut dan Mie Instant, Berhala, Rembulan di Dasar Kolam, Nostalgia, Asmaradana dan Armageddon—yang kemudian dikumpulkan dalam ontologi yang bertajuk, Godlob, dan sebuah novel yang berjudul Asmaraloka.
Gelombang Novel Islami
Setelah kami mengurai bagaimana para cerpenis ulung Indonesia bergulat dengan gagasan mereka dalam konteks keislaman, maka kini kami hendak beralih pada kalangan novelis, yang juga memiliki andil bagi perkembangan Islam melalui karya novel yang mereka hasilkan. Di urutan pertama ada Ackhdiat Karta Mihardja yang menulis novel Atheis. Karya ini sempat membuat heboh jagat sastra Indonesia karena kontroversi yang ditimbulkannya. Seperti judul novelnya, karya ini banyak sekali membicarakan bagaimana akhirnya seorang manusia Muslim kelak menjadi atheis—dengan menggunakan tokoh yang kebetulan adalah pembesar-pembesar Islam, termasuk Muhammad.
Ada beberapa kalangan yang menganalisa, bahwa karya Ackhdiat ini berhasil mengguncang nalar kaum Muslim waktu itu, untuk menyadari betapa kian terpuruknya bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehingga dengan kemunculan karya ini, banyak sastrawan Muslim lain yang kemudian muncul dan masuk dalam polemik ilmiah dan budaya untuk membincang Islam sebagai salahlandasan dasar kebangsaan. Tak pelak, tokoh sekaliber HB. Jassin pun merasa perlu turun gunung demi mewarnai diskusi sastra yang sedang marak-maraknya itu.
Tapi sayang, keberhasilan Ackhdiat dengan Atheis-nya itu, tak berulang dalam karyanya yang terbaru, Manifesto Kalifatullah. Novel ini malah hampir tidak bergigi sama sekali untuk bisa mencuat dan menyaingi jenre baru Cheecklit-Teenlit yang sedang marak di awal medio 2000-an. Satu-satunya novel bertema Islam yang kemudian sanggup menyalib dominasi jenre baru di atas adalah Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el-Shirazi. Alumnus IAIN Ciputat yang mendapat beasiswa ke al-Azhar, Kairo, Mesir, dan kemudian menuliskan pengalaman pribadinya selama mukim di negeri Afrika itu, usai kepulangannya ke Indonesia.
Semula, karya el-Shirazi ini muncul tanpa diprediksi bisa laku keras di pasar. Namun karena karya ini muncul pada saat sepi dan keringnya gairah sastra, maka tak syak, novel ini pun langsung menjadi incaran para pembaca yang sebagian besar awam terhadap Islam. Sehingga banyak dari para pembaca yang menjadikan novel ini sebagai kitab rujukan sekunder untuk memahami Islam dengan cara yang lebih mudah. Padahal pada kenyataannya, tak ada yang baru dalam novel ini. Bahkan dari segi gaya bahasa pun, el-Shirazi masih belum layak disebut sebagai sastrawan. Ia jelas kalah kualitas jika dibandingkan dengan Danarto, yang sudah lebih dulu muncul dengan Abracadabra, Asmaraloka dan Setangkai Melati di Sayap Jibril. Hanya saja, Danarto tidak semujur el-Shirazi yang dibantu oleh publisitas dan penggelembungan media yang begitu massif. Bahkan novel el-Shirazi ini malah diangkat ke layar lebar oleh Multivison Plus dan gaungnya semakin merebak ke seantero negeri.
Setelah kemunculan Ayat-Ayat Cinta, geliat sastra Indonesia mengalami kelatahan akut. Bersusulan berikutnya, muncul karya-karya yang tak jauh beda dan sialnya, menggunakan judul yang tak jauh dari penyematan kata cinta seperti; Ketika Cinta Bertasbih, Sajadah Cinta, Airmata Cinta, dll. Belum dengan penggunaan sampul depan yang disertai gambar perempuan berjilbab, cantik dan terkadang berwajah khas negeri Onta. Beruntung negeri ini masih punya potensi jenius lokal yang teramati oleh penerbit Bentang (Mizan grup). Di tengah carut-marutnya novel bernapaskan Islam yang tak jelas juntrungannya, lahir novel baru yang awalnya hanya sebuah memoir belaka, Laskar Pelangi, yang dikarang oleh Andrea “Fenomenon” Hirata.
Tak ubahnya el-Shirazi, Andrea manulis riwayat hidup dan pengalamannya sedari masa kecil hingga saat ia tinggal dan bersekolah dengan bekal beasiswa di Universite de Paris Sobonne. Putra asli Belitong ini, mampu menggugah empati pembacanya dengan kepolosan, kelucuan, integritas dan kejeniusan khas masyarakat Melayu dalam bertutur. Ia mampu menjalin ceritanya dalam kekhasan berbahasa, yang sebelumnya tak pernah digarap oleh sastrawan lain, seperti membunuh karakter tokoh utama yang melulu harus beruntung. Bahkan kerap kali ia mencibir dirinya sendiri, yang di dalam tetraloginya, diberi nama Ikal—nama panggilannya sejak ia masih kecil. Meski dalam karyanya yang terbaru, Maryamah Karpov, Ikal dan kawan-kawannya, ternyata menemukan kebahagiaan mereka sendiri-sendiri.
Tapi kekurangan Andrea ini, terhapus dengan pengaruh yang disebarkannya ke penjuru Indonesia. Dalam Laskar Pelangi, misalnya, ia mampu menyihir jutaan orang untuk mampu bangkit melawan kemiskinan dan tekanan hidup. Padahal di dalam karyanya ini, ia hanya mengetengahkan bagaimana sepuluh orang anak Melayu terpencil begitu bersemangat untuk bisa belajar di sekolah Muhammadiyah, meski keadaan ekonomi keluarga tak mendukung niat mereka. Tapi dengan semangat baja yang mereka miliki, Ikal dan Arai (dua tokoh dalam tetralogi ini) mampu lulus dari universitas kenamaan dunia, dengan predikat cum laude. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol.
Andrea mampu mengangkat spirit Muhammadiyah hingga terpahami dengan baik oleh khalayak sastra Indonesia. Ia dengan begitu gemilang berhasil memberikan refleksi kepada para pembacanya—yang tak cuma masyarakat Muslim, bahwa pendidikan itu penting dan perlu. “Revolusi sosial” yang ingin digarapnya pun mendapatkan tandem, dengan seringnya ia muncul di televisi dalam acara Kick Andy di MetroTV, sebuah talk show yang sedang digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Selain karyanya menjadi best seller, prestasi pamungkas Andrea juga tak ubahnya dengan el-Shirazi, yaitu diangkatnya “Laskar Pelangi” ke layar lebar oleh Mizan Cinema dan Miles Production. Sehingga sebaran pengaruhnya, semakin meluas dan kian massif saja.
Puisi Modern
Setelah mengurai para novelis yang mengolah karyanya dalam tema keislaman, kini kami akan kembali beralih pada bidang puisi sufistik, yang semasa Amir Hamzah sempat berkibar. Sejak era 60-an, jenre puisi mulai dihidupkan kembali gairahnya oleh beberapa penyair pilih tanding. Mereka adalah, Umbu Landu Paranggi, Sutardji Calzoum Bachri (SCB), Danarto, Abdul Hadi W.M, Ahmadun Yosi Herfanda, D Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Mustofa Bisri (Gus Mus), dan Acep Zamzam Noor. Tapi dari sederet nama di atas, hanya SCB yang memiliki reputasi tak tertandingi. Ia bukan cuma sekadar menggubah puisi sufistik, tapi juga mendobrak tradisi lama puisi Indonesia, dengan berusaha melepaskan kata dari beban makna, dan mengembangkan kata-kata yang digunakannya dalam koridor mantra.
SCB lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada tanggal 24 Juni 1941. Pujangga terkemuka Indonesia ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Di kota kembang inilah karier kepenyairannya terasah lewat media surat kabar—seperti Sinar Harapan dan Berita Buana, majalah Horison dan Budaya Jaya. Sepanjang 1974-1975, SCB memulai lawatannya ke negeri manca dengan mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam, dan dilanjutkan dengan mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat.
Beberapa sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada 1979, buah pena SCB diganjar anugerah South East Asia Writer Awards dari raja Thailand. Sebagian besar karyanya dapat ditemukan dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak yang memuat sajak-sajaknya sedari periode penulisan 1966 sampai 1979. Dalam kumpulan sajak itulah tecermin secara gamblang pembaruan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. Berikut ini kami sertakan sebuah sajak gubahannya;
Kami tak dimana-mana
kami mengatas meninggi
kami dekat
Kalau kalian mabuk Tuhan
kami mabuk sama kalian
Kalau kalian rindu Dia
rindu kalian bersama kami
kalau kembali ke rumah Diri
kalian kembali ke rumah kami
sampai kalian ke puncak nurani
kalian pun sampai sebatas kami.
Perbedaan tegas antara SCB—yang kini didapuk sebagai Presiden Penyair Indonesia, dan beberapa penyair seangkatannya yang sudah disebut di atas adalah, SCB tidak memulai karyanya dengan tema sufistik, melainkan mengalami evolusi setelah sebelumnya ia lazim digelari sebagai penyair botol—karena kebiasaannya minum alkohol sambil berdeklamasi dengan gaya mantranya. Berbeda halnya dengan Abdul Hadi W. M, Danarto, Gus Mus, Cak Nun, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noor, yang tetap istiqomah hingga kini untuk mengembangkan tradisi sastra sufistik, tanpa kenal lelah. Tapi lepas dari latar yang mereka punya, para penyair ulung ini telah memiliki andil besar atas menyebarnya semangat estetika spiritual Islam yang sampai detik ini pun terus dikibarkan.
Di Panggung Teater
Dari sederet nama penyair di atas, hanya Cak Nun dan Danarto saja yang memiliki kemampuan melintasi batas seni ke ranah yang beragam. Keduanya manusia yang memang terlahir untuk menjadi seniman. Danarto, bukan hanya mampu menulis, melainkan juga menggeluti bidang seni rupa dan juga teater. Sedang Cak Nun, juga mampu mengolah ekspresi seninya dengan menggubah lagu yang bernapaskan budaya dan dipagelarkan bersama Kyai Kanjeng dengan beragam nama yang disemat di pelbagai daerah. Di Jakarta, ia lazim menggunakan nama Kenduri Cinta, lalu di Jombang (Pengajian Padhang Bulan), di Semarang (Gambang Semarangan) dan masih ada beberapa nama lain.
Sub judul di atas, ingin mengetengahkan kemampuan keduanya dalam menggarap bidang teater. Kenapa akhirnya teater juga kami sertakan dalam kajian ini? Karena dalam teater, juga ada unsur sastra yang menjadi bagian dari proses penciptaan lakon yang tertuang dalam naskah. Cak Nun pernah terlibat secara intens bersama Teater Muslim di Jogjakarta yang sempat dikomandani oleh Arifin C. Noer. Selain itu, ia juga sempat menggebrak jagat teater nasional dengan menciptakan model pemanggungan terbuka yang bertajuk “Lautan Jilbab”—di mana antara pemain dan penonton membaur jadi satu. Penonton adalah pemain dan pemain juga penonton.
Seperti halnya Cak Nun, Danarto juga tak kalah dalam hal prestasi di bidang teater. Ia pernah bergabung dengan Teater Sardono sebagai penata artistik, dalam lawatan ke Eropa Barat dan Asia, pada 1974. Selain berpameran Kanvas Kosong (1973) ia juga memamerkan puisi konkret (1978). Di dalam negeri, ia juga aktif menulis lakon teater yang juga bernapaskan Islam. Satu yang paling seringdipentaskan hingga kini adalah, lakonnya yang berjudul “Rintrik”. Namanya juga kian harum dengan proses kreatifnya yang menciptakan gagasan “Teater Tanpa Penonton” yang dipentaskan di Jakarta.
Kasidah: Ritual dan Shalawat
Adakah orang yang sedang kasmaran menyangka bisa merahasiakan rasa cinta? Sedang airmatanya masih bercucuran dan hati yang masih terbakar api cinta … Inilah petikan salahbait Kasidah Burdah yang sangat popular di Indonesia, karangan Syaikh Busairi, dalam Kasidah Burdah, (Abad ke-XIII). Kasidah ini selalu dibaca tiap sepekan sekali atau waktu-waktu tertentu. Kasidah Burdah yang berisi kerinduan ke-Ilahian juga berisi pujian dan sejarah Nabi Muhammad. Di daerah seperti Pati, Jawa Tengah, terbentuk kelompok-kelompok pembacaan Kasidah Burdah.
Pembacaan ini tidak hanya sekadar membaca saja, namun juga ada unsur ritual yang sakral. Mereka meyakini ritual ini mampu mengundang Nabi Muhammad Saw. Tentu saja sebagai sebuah ritual, acara pembacaan ini juga dapat dijadikan sarana memeroleh hajat tertentu. Biasanya ada piranti minyak wangi atau kemenyan untuk menambah suasana sakral, dan mereka menyakini pemakaian wewangian karena mengikuti sunnah Nabi. Syaikh Busairi sendiri adalah seorang mursyid Tariqat Sadziliyah generasi ketiga. Di kalangan pengikutnya, Kasidah Burdah dibaca dan menjadi semacam wasilah (perantara) untuk berhubungan dengan Nabi dan para Wali. Saking popularnya kasidah ini, masyarakat yang bukan pengikut Tariqat Sadziliyah pun membaca dan menggunakannya sebagai wasilah—yang bisa diartikan semacam sarana memeroleh manfaat bagi si pembaca, misalnya penyembuhan suatu penyakit.
Keyakinan ini berawal dari sejarah penciptaan Kasidah Burdah. Pada suatu ketika Syaikh Busairi mengalami sakit lumpuh (stroke), Syaikh lalu bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dan beliau dikerudungi dengan jubah (burdah). Setelah dikerudungi, Syaikh terjaga dari tidurnya dan secara ajaib langsung sembuh. Sebagai ungkapan rasa syukur atas kesembuhannya dan kekaguman pada Nabi Muhammad Saw, maka Syaikh Busairi menggubah syair yang diberi judul Burdah (jubah dari Nabi yang mengerudunginya).
Nada dan Dakwah
Dakwah sebagai salahdoktrin yang cukup penting dalam Islam tak pelak lagi menjadi acuan seniman dalam memotivasi dirinya dalam berkarya. Seniman atau kelompok yang sangat getol dengan dakwah adalah Haji Rhoma Irama bersama Soneta yang dibentuknya. Kita bisa mendengar dengan jelas nada dan dakwah yang disampaikan melalui bait-bait dalam lagunya. Stop judi, berzina, stress obatnya iman dan takwa, kutipan hadis nabi, dan lain-lain. Saking jelasnya pesan dakwahnya, kita nyaris tak bisa membedakan mana yang nada-mana yang dakwah.
Terma di atas, juga bermetamorfosa menjadi sebuah film yang digarap Bang Haji dengan menggandeng KH. Zainuddin MZ—da’I sejuta umat. Bang Haji memang sangat fenomenal. Dialah orang yang mencipta jenre baru dalam musik, dengan menciptakan musik dangdut—yang diramu dari musik India, Arab, dan Melayu. Dari segi produktifitas selama berkarir ia sudah menelurkan tak kurang 860 lagu dan belasan film. Popularitasnya melebihi Presiden Suharto. Hal ini terbukti pada saat Sang Presiden dan Sang Raja Dangdut punya acara dalam hari dan tempat yang sama di suatu daerah. Uniknya, acara Sang Raja dangdutlah yang dikerumuni banyak orang. Lebih mengejutkan lagi, Soneta juga punya penggemar fanatik dari Amerika.
Umat Islam Indonesia menempatkan Soneta menjadi ikon yang penting dalam kancah dakwah melalui seni. Para kiayi dan juru dakwah tak segan mengutip syair lagunya bersanding dengan kutipan Al-Quran dan Hadis Nabi. Popularitasnya juga bertahan berpuluh tahun dan menjadi santapan tayangan gosip di acara televisi, kasus hubungannya dengan para wanita cantik nan muda menjadi sorotan publik. Juga kasus yang menggemparkan jagat perdangdutan Indonesia, yaitu Goyang Ngebor Inul, yang membuat Rhoma menjadi sosok yang banyak disorot media dan masyarakat.
Tradisi dakwah yang digagas oleh Rhoma bersama Soneta-nya, kelak diteruskan oleh Nidaria, Nasidaria, el-Hawa, dll (Semarang), Salafuddin (Pekalongan), Bimbo (Bandung), Hadad Alwi & Sulis serta Opick yang bergerak di Jakarta. Peran para pelantun ini tak bisa dianggap enteng. Mereka mampu menjaga spirit keberagamaan umat dengan larik-larik Islami yang digubah ke dalam lagu. Kita masih tetap bisa mendengar syahdu dan merdunya lirik-lirik mereka itu kala Ramadhan tiba menjelang. Hampir di semua stasiun televisi dan radio, kita dapat mendengarnya dengan baik. Bahkan kaset dan kepingan cakram mereka pun masih tetap digandrungi hingga kini.
Fungsi dan Kepentingan
Dari uraian yang telah kami babarkan di atas, ada dua kemungkinan sudut pandang yang bisa diamati. Pertama, dari sisi pencipta. Kedua, dari pembaca atau penikmat karya. Bila ditanya posisi dirinya dalam berkarya, sastrawan kemungkinan akan menjawab bahwa karyanya berfungsi menjadi medium eskpresi, medan dakwah, untuk mendidik, dan atau sebagai media tuturan sejarah. Dari sudut pandang penikmat sastra, kita bisa mendapat jawaban bahwa karya sastra yang dibaca itu adalah upaya pemotretan kehidupan yang kemudian dapat menjadi i’tibar bagi khalayak, atau juga sebagai bagian dari cerminan atas apa yang terjadi di masa lalu dan kini.
Sastra juga bisa berfungsi sebagai ungkapan keberagamaan. Ungkapan yang berusaha membahasakan luapan cipta, rasa dan karsa seseorang. Dalam hal ini, tulisan, kata-kata dan musik menjadi media untuk mengungkap. Menarik dikemukakan bahwa dari beberapa seniman yang menjadi fokus amatan kami mempunyai corak yang berbeda-beda. Pola yang berbeda ini dapat kita lihat dari karya-karya yang tampil. Tentu saja perbedaaan ini memiliki beberapa variabel yang memengaruhinya. Dari awal tulisan kita lihat jenre sastra yang berbeda-beda yang digunakan sang seniman untuk mengeskpresikan gelora keislamannya, yakni: puisi, cerpen, novel, monolog, puisi yang dilagukan (termasuk kasidah). Selain itu ada perbedaan dari bahasa yang dan alat musik yang digunakan untuk mengiringi puisi.
Kita bisa melihat penggunaan bahasa Indonesia oleh Bimbo dan Soneta, dengan menggunakan alat musik modern. Sedang Salafuddin menggunakan bahasa Arab dan alat tradisiolal (rebana). Grup Kiyai Kanjeng bentukan Cak Nun, kelompok gambus Nasidaria, Opick, Hadad Alwi dan Sulis, menggunakan bahasa Arab dan Indonesia secara bersamaan dan juga menggunakan alat musik tradisional serta modern secara bersamaan. Meski di kalangan umat Islam (Wahabi), masih ada yang meyakini haramnya penggunaan alat musik modern seperti gitar, karena dianggap sebagai alat malahi (alat yang mengarah kepada kemaksiatan).
Selain bagian dari ekspresi, sastra sastra juga bisa menjadi tuturan sejarah—Islam khususnya. Seperti dalam novel berjudul Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar yang mengangkat biografi seorang tokoh Islam yang sangat terkenal sekaligus kontroversial. Ini novel terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh penerbit LKiS yang biasa menerbitkan buku-buku keislaman. Tuturan sejarah juga dapat kita jumpai dalam syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam tradisi keraton juga ada beberapa serat yang secara khusus menuturkan sejarah, seperti Serat Cebolek, dll. Di tanah Melayu, Syaikh Abdul Kadir Munsyi sudah getol mengerjakan sastra model ini, dan hingga kini pun, masih ada sastrawan muda yang kerap tertarik menggelutinya.
Belakangan ini juga bermunculan komunitas epistemik yang mendiskusikan sastra, bahkan mampu menghidupi organisasi mereka dengan mengelaborasi sastra itu sendiri. Di Jakarta saja, ada DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia & YISC (Youth Islamic Studies Center) bentukan Moh. Natsir dan Buya Hamka, Forum Lingkar Pena—yang bahkan memiliki cabang di Hongkong dan Mesir, pimpinan Helvi Tyana Rosa), Penerbit Mizan—yang diawali dari lingkaran diskusi kecil di Masjid Salman, Bandung, Pustaka Sastra, Basmallah Publishing, Pustaka Navila, Departemen-Departemen seni budaya dalam organisasi Islam, Festival Istiqlal yang digelar medio 90-an, dll.
Meruaknya komunitas epistemik di atas, juga turut andil dalam pelaksanaan pengajaran-pendidikan umat Islam di Indonesia. Karya-karya sastra yang mereka terbitkan, jelas berpengaruh, bahkan sebagian di antaranya telah digunakan sebagai rujukan dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Sehingga dapat pula menjalin ukhuwah Islamiyyah yang melintasi batas-batas nasionalisme. Secara aksiologis, hal seperti ini jelas telah menyumbang satu bentuk pandangan hidup yang sarat dengan etos dan elan vital keislaman, yang kemudian dapat menyuarakan semangat zaman yang sedang berkembang. []
Ciputat, Maret duapuluh ‘ribusembilan
Akhir catatan:
Term al-Haq banyak digunakan kalangan penganut mistik Islam yang beraliran Wujudiyyah mazhab Ibn ‘Arabi. Secara ontologis, term ini melampaui kata "tuhan" yang lazim digunakan oleh kalangan awam dalam Islam. Sehingga kemudian banyak menimbulkan perdebatan, khususnya jika sudah berkenaan dengan doktrin penyatuan antara khaliq dengan makhluq.
Dua jenre yang mayoritas dihasilkan oleh kalangan remaja. Tema-tema yang diangkat pun bernapaskan keremajaan serta seluk-liku hidup yang mereka alami. Jenre ini ditulis dengan gaya bahasa bersahaja dan jauh dari jangkauan standar pusat bahasa. Tapi uniknya, mampu menggedor semangat kebahasaan aliran baru yang pada era 90-an lazim disebut gaya bahasa prokem. Forum Lingkar Pena, sebagai basis penulis muda Islam, juga tekun manggarap genre ini. Ratusan karya telah mereka terbitkan, tentu dengan latar keIslaman yang dipahami oleh generasi muda Indonesia.
Rujukan Pustaka:
- Awuy, Tommy, F, Teater Indonesia–Konsep, Sejarah dan Problema, Jakarta: Cipta, 1999.
- Danarto, Asmaraloka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
- -----------, Godlob, Jogjakarta: Mahatari, 2004.
- Hirata, Andrea, Laskar Pelangi, Jogjakarta: Bentang, 2008.
- Ismail, Taufiq, dkk (editor), Horison Esai Indonesia 1-2, Jakarta: Horison, 2004
- Kayam, Umar, Satrio Piningit–ing kampung pingit, mangan ora mangan kumpul, Jakarta: kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI & Ford Foundation dengan Grafiti, 2002.
- Sunyoto, Agus, Suluk Abdul Jalil–perjalanan ruhani Syaikh Siti Jenar, Jogjakarta: LKiS, 2003.
- Teew, A, Prof, Dr, Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.
No comments:
Post a Comment