begitu cara budayawan pilih tanding Indonesia itu mencatatkan sekelumit mukadimah dalam karya fiksi terbarunya, Lalu Aku, yang dilansir tadi malam di Gedung Kesenian Jakarta, dalam bentuk theatrical poetry reading oleh Teater Kosong. Reportoar ini menjadi istimewa bukan kerana Glenn Fredly, Nugie, Olivia Zalianty, dan Samuel Watimena, yang ikut meramaikan panggung. Juga bukan oleh Meritz Hindra yang aktor kawakan; atau Rick A. Sakri yang jenius; atau Jecko Siompo yang memiliki kecerdasan kinetik luarbiasa; atau bahkan Wong Dzolim yang sakti mandraguna; juga bukan kerana Radhar sang pengampunya. Tapi kerana reportoar ini ada sebagai sebuah hajatan kata. Sebagai puisi. Sebagai Indonesia. Sebagai manusia.
Bagi kami, seorang Radhar Panca Dahana tak ubahnya guru sekaligus saudara tua. Sejak mendaku diri sebagai “santri” di kediamannya yang teduh di bilangan Pamulang pada medio 2003-2005, hidup yang seolah pelik ini jadi terasa mudah terpahami. Melulu lewat katakata. Petuah. Puisi indah kehidupan yang kerap meluncur dari cerapan hatinya yang luas tak terperi. Hujan Cinta di Pamulang, menyiram kemarau yang sekian lama merundung di belakang sana. Maka dengan segenap kerendahan hati kami berani bersaksi, bahwa ia adalah puisi yang mewaktu.
Lalu Aku yang meneruskan gagasan Radhar sebelumnya yaitu Lalu Waktu, dan Lalu Batu, nyata betul sebagai jalin kelindan kehidupan yang ia baca dari saat yang sempat ke saat yang tepat. Menjadi potret pamungkas abad kiwari manusia yang bernama globalisasi. Satu adab yang tak lagi memberi ruang untuk manusia yang menghidupinya, menjadi manusia. Ironis memang. Tapi begitulah kenyataannya. Kita menghadapi gelanggang penuh mara bahaya yang secara sadar kita kelola, dan lakoni dengan sekian alasan fakultatif. Melulu profit dan materialisme belaka yang membatu.
Hingga dengan sekian alasan pula, manusia kini tak lagi layak disebut sebagai manusia, kecuali manequin, ornamen, dan mozaik. Sudah teramat sulit mencari siapa manusia paling utuh di daratan bumi ini. Meski memang ada, tapi untuk menemukannya sama rumitnya dengan mencari jarum dalam jerami. Untuk proses penemuan itulah, Lalu Aku hadir dengan ramah sekaligus merusak. Setidaknya berhasil menghancurkan bangunan ego itu—yang dengan sangat berani menyatakan keakuan di hadapan aku yang lain. Ada nuansa liyan yang meruyak dari puisi-puisi itu. Sebuah noumena Husserlian atau différance Derridian yang mengantarkan kita ke ranah lain yang nir ruang-nirwaktu.
Plato menyebut “alam” itu sebagai ideos. “Alam” ideal yang menjadi purwarupa dari segala yang ada di sini. Di semesta ciptaan. Segala yang kemudian kita candra, tak lain adalah replika saja. Rekaan. Bahkan semu. Kerana kesejatian memang tak pernah berpihak pada kefanaan. Kepada sebuah alur yang hanya akan berujung pada kehancuran yang niscaya. Namun kesejatian-keindahan Abadi itu bisa menitis kepada siapa saja yang memiliki tradisi penyadaran-kesadaran manusia adikodrati (al-Insan al-Kamil) dalam termonilogi Islam, atau Atman dalam Buddha, dan Brahman dalam Hindu.
“Seorang yang terjaga,” sebagaimana yang disampaikan oleh Siddharta Gautama, adalah ia yang dengan kesadaran penuh memafhumi dirinya sebagai bagian terkecil dan terbesar kosmos ini. Aku itu kau. Kau adalah mereka. Kalian merupakan sekumpulan aku yang berdiam dalam sunyi. Kekosongan abadi—yang tak menyediakan apaapa. Mencari “Manusia Indonesia” seperti yang dimaksudkan oleh Radhar, sama peliknya dengan mencari Indonesia dalam manusia. Manusia dan Indonesia, seperti sudah menjadi entitas yang berdiri sendiri. Seolah independen tapi rapuh dan dependen. Maka menjadi wajar jika kemudian kita selalu menemui jalan buntu untuk menawar-melipur kebhinekaan itu. Sebab di darah kita mengalir sungai abadi Yang Mahahidup, Yang Mahamenyeluruh.
Hanya ada selembar kemungkinan untuk pencarian itu: terus menjadi dan terus mengada. Aku, adalah pasasi purba yang kerap dilontarkan manusia untuk menegaskan keberadaannya. Kediriannya di semesta tak bertepi ini. Ya, hanya dengan “Aku” itulah kita jadi tahu betapa yang liyan bisa terpahami-terdefinisikan. Setidaknya membuktikan bahwa kita sanggup mengikrarkan sebuah kenyataan sumir. Sebuah keniscayaan yang sejatinya semu. Kita ada sekaligus tiada. Kerana kita adalah makhluk multidimensi: jasadiah-akaliah-ruhaniah.
Seperti tuhan yang tak pernah usai, manusia pun demikian. Ada sekian gagasan yang masih akan terus bermunculan untuk menjelajahi proyek besar pencarian itu. Manusia takkan pernah berhenti mencari. Kendati kekhasan Manusia Indonesia adalah harga mahal yang sukar untuk ditandingi manusia dari bangsa lain, tapi pencapaian ini pun masih belum cukup. Sebab secara kasat, nyaris sukar menemukan jalan lempang untuk menuju ke arah itu. Kita terpaksa-dipaksa untuk melalui jalan berliku nan terjal pada hari ini, demi menggapai sebuah harapan tentang kehidupan baru. Menuju “tanah” yang dijanjikan tuhan itu—yang juga menjadi bagian terbesar dari cara kita tercipta.
Puisi memang takkan habis mengonggok di tungku peradaban. Kata memang tak mudah menguap jika diproduksi dengan segenap kesadaran tingkat tinggi. Tapi manusia, yang dhaif dan lemah ini, bisa menjadi onggokan peradaban bahkan sampah di lautan kehidupan, jika ia gagal menyadari potensi berlebihnya untuk mengelola apa yang tersedia di dalam dirinya. Mungkin akan ada manusia lain yang kemudian menelurkan gagasan baru untuk penjelajahan ini. Mungkin pula takkan ada. Tapi di balik itu semua, kita jadi tahu bahwa di bawah langit di atas bumi, manusia adalah pemain tunggal. Aktor sejati yang siap jadi apa saja. Jadi setan, malaikat, bahkan tuhan sekali pun. LALU untuk hal itu pula, manusia takkan pernah henti bertanya tentang, AKU:
lelaki bersumur hitam di matanya
lengan cacat, urat biografis
berpeta liat di jidatnya,
itulah ayahmu.
dan perempuan dengan bibir
di seantero wajahnya
bertukarkatup dengan selangkangnya,
itu ibumu juga.
lalu lihat lihatlah
air terjun sunyi, di mana
kenanganmu mencuci diri
berhulu di katup mata
berwajah tanpa pasi itu,
sebenarnya kandungmu.
anak... anakku,
mobil mainan yang meluncur
jatuh mengambang di kali itu
yang jadi perenang sejati itu,
ternyata dirimu.
siapa di antara itu
sesungguhnya aku?
[tepianCisadane, juli dua-tigabelas ‘ribusebelas]
No comments:
Post a Comment