Lebaran di Bawah Nisan



Sore itu langit di atas Tanjungmorawa terlihat pias. Bagai wajah ibu merindukan anaknya di perantauan. Desau angin hanya terasa sesekali. Hembusannya lambat, karena nun di utara sana, laut juga enggan bersiul. Di masjid ujung kampung, beberapa orang lelaki renta tengah tekun mendaras al-Qur’an. Persis di sebelah masjid, di bawah rimbunnya pohon beringin, beberapa orang remaja saling berbagi cerita tentang pacar terbaru masing-masing, berikut gaya kemesuman mereka. Sementara dalam sebuah rumah mungil milik petani Sunda, seorang gadis jelita sedang menangisi perbuatan cabul lelaki setengah abad di atas tubuhnya, seorang terhormat di mata banyak orang, dan sebuah adegan konyol televisi dari pelawak Ibukota terkesan menertawai kedegilan mereka.
 
Kampung kecil di Kabupaten Deli Serdang itu sudah tak lagi riuh karena Idul Fitri tak jadi bertandang tahun ini. Bagi sebagian besar warga, peristiwa aneh tersebut jelas akan dianggap sebagai teguran keras dari Allah, Pemilik Semesta Raya. Tapi tidak halnya dengan setiap obrolan para lelaki di warung-warung kopi di tepian jalan. Ada unsur klenik meruak dari tempat masyarakat Melayu merajut mimpi-mimpinya itu:

”Lebaran mesti dicuri sama orang sakti dari Gunung Sibayak, Pakcik! Mungkin juga dari Toba Na Sae, atau boleh jadi si pencuri sakti itu berasal dari Gunung Kawi di Jawa sana,” seloroh seseorang kepada sesama penikmat kopi lain. Mereka semua mengangguk takzim. Meski tak tahu kenapa harus mengangguk-angguk mendengar ucapan pembual handal keturunan pesilat lidah kawakan tanah Deli, Pak Belalang. Seorang imam masjid melintas di depan warung, mengajak si pencerita dan pendengarnya untuk berjama’ah Maghrib, tapi ia hanya mendapatkan beberapa lambaian tangan saja. Sang imam pun lindap di temaram senja.

Pakcik Ladang senang betul memainkan emosi para penikmat kopi di setiap warung. Ia terampil meramu cerita perpaduan dongeng Melayu, Hang Tuah, dengan suku Bajo pengembara laut, untuk membuat para keturunan Jawa bungkam. Mereka dipaksa mengamini dalam hati, bahwa di laut hanya ada Melayu dan Bajo, “Amboi, laksamana raja di laut...” begitu selalu ucapan Pakcik Ladang bila para pendengar setia mulai terkesima dengan kisah-kisah samudera bualannya. Bagi lelaki berperawakan tambun tapi padat berisi ini, tanah Sumatera adalah miliknya seorang.

Saat mendengar sambungan untaian kisah Pakcik Ladang tentang tak adanya lagi Idul Fitri beberapa bulan silam, Poniman hanya bisa menelan ludah sambil menggigiti kuku jarinya. Dia nyaris tak punya alasan untuk mudik, karena hanya di saat begitulah kebiasaan pulang ke kampung halaman jadi terasa berarti. Sementara  di Sleman sana, kedua orangtuanya sudah marhum dua tahun silam, dan kampungnya sudah rata tanah setelah ditudungi abu sulfur Merapi lantas dirayah lava. Sekarang, ia merasa dirinya sebagai yatim-piatu termalang sedunia. Mungkin dengan mendengar kisah Pakcik Ladang saja-lah, dari bibirnya bisa terkulum senyum.

“Man, usah lah kau bersedih terus! Nabi kita Muhammad tuh, juga sama nasibnya macam kau. Tapi coba kau tengok hasil jerih-payahnya selama 22 tahun berjuang? Dunia ada di bawah telapak kakinya, Bujang! Itu karena beliau adalah yatim-piatu. Ah, mau kali rasanya aku jadi macam tuh. Tapi manalah mungkin kudoakan omak-bapakku mati, Man? Kau tahu berapa umur mereka sekarang hah?”

Poniman hanya melongo. Tak menjawab. Seekor lalat hijau hinggap di bibir gelas kopinya. Sementara para pendengar setia di sudut meja, sudah bersiap menanti kelanjutan kisah Pakcik Ladang.
“Bapakku, 187 tahun. Sedang omak, 178. Tahu kalian, dulu itu mereka teman sepermainan babah Tjong Ah Fie. Saudagar Tionghoa paling kesohor pembangun tanah Deli menjadi kota Medan.” Air liur Pakcik Ladang menghambur sekenanya ke segenap wajah para pendengar. Dengan penuh kesetiaan, mereka pun menyeka liur itu dengan segenap permaafan. Pakcik Ladang mengatur napas. Bersiap meneruskan kisahnya.
“Kenapa kalian semua ribut-ribut karena Lebaran Haji nanti indak jadi datang?”
“Buat apa pula kita siapkan hewan-hewan tuh untuk dikurban, Pakcik?” jawab seorang di pojokan warung sambil meneguk kopinya.
“Andai kita bisa berlebaran haji tapi hewan kurbannya tak ada, apa pula masalahmu? Setahuku, tak sekali pun kau pernah berkurban!” sergah Pakcik Ladang tangkas.
Tak ada jawaban. Kecuali hanya mata saling bersitatap. Si penanya beroleh kesempatan menyeruput kopinya barang seteguk. Sambil membetulkan posisi kopiah, ia pun bertanya lagi.
“Heh Bujang, apa jawabanmu dari pertanyaanku tadi?” telunjuk Pakcik menuding langsung ke muka Poniman.
“Wah, saya ndak tahu, Pakcik. Wong cuma ikut-ikutan tok. Sebenernya sih, saya kepengen betul ketemu sama Lebaran Haji. Tapi kalau memang ndak bisa juga, yowis. Ndak kenapa kok.” Jawaban polos itu meluncur tanpa beban.
“Dasar pandir! Asal kau tahu ya. Setelah tahun ini, takkan ada lagi Lebaran datang ke Tanjungmorawa... Tapi kalian masih bisa berpuasa sebulan penuh, berkurban jika sanggup. Itu pun jika masih mau melaksanakan.”
Semua pendengar setia di warung itu terdiam. Mulut mereka seolah terkunci oleh ucapan Pakcik Ladang.
“Darimana Pakcik tahu Lebaran Haji juga takkan datang lagi ke sini?” tanya seorang di samping Poniman.
“Percuma kuberitahu kau, Zul. Waktu bapakmu belum lagi di khitan, aku sudah menikah kali kedua. Kalau nanti kujawab, pasti kau tanya lagi darimana si fulan tahu dan darimana dan darimana...”
Setelah meneguk habis sisa kopi di gelas, Pakcik Ladang menghambur pergi tanpa sepatah kata, dan meninggalkan sebuah pertanyaan sederhana bagi pemilik warung, Zulfikar: “Kapan mau kau lunasi tumpukan hutang-hutangmu, Pakcik?”

***

Rembang petang menggantung di ufuk barat. Hari menjelang berganti. Migrasi sekawanan camar tampak sedang melintas di atas persawahan. Rombongan anak-anak kecil membawa obor terlihat menuju masjid untuk shalat Maghrib berjama’ah dan bertakbiran setelahnya. Warga Tanjungmorawa hampir dibuat putus asa oleh berita dari Pakcik Ladang sehari lalu, tentang takkan juga ada Lebaran Haji di kampung mereka. Meski awalnya tak percaya, tapi akhirnya harus diyakini. Karena di lidah mereka saja kalimat takbir dan tahmid tak lagi bisa dikumandangkan.
            “Sudah entah berapa banyak orang mencoba bertakbiran... dan hasilnya sama saja, Bang. Nihil. Sama macam Idul Fitri lalu.” kata seorang warga pada tetangganya. Seorang Batak Mandailing.
            “Apa kau masih ingat ucapan selamat berlebaran itu apa, Lé[i]?” tanya si tetangga dari daerah Natal.
“Minal... min... al... ah, lupa pula awak[ii], Bang.“
“Bah! Macam mana ini. Pasti kampung kita dikirimi begu[iii] dari Berastagi. Aku jadi teringat sama omongannya Pakcik Ladang kemarin, Lé.”
“Bisa jadi begitu. Tapi rasa-rasanya, semua orang dewasa di kampung kita ini, sama kayak kita, Bang. Aneh...”
“Betul juga ya. Betul itu!”
“Abang ada keperluan apa datang kemari?”
Bah, ya mau silatur...” seketika suara si Mandailing tercekat di tenggorokannya.
“Maksud abang silaturahmi, begitu? Memangnya ada angin apa? Tumben kali...”
“Bukannya sekarang ini Lebaran, Lé?”
“Harusnya begitu, Bang. Tapi tengoklah buktinya. Sudah tak ada Idul Fitri di Tanjungmorawa. Untuk apa pula nanti kampung ini berkurban..?”
            Dalam keadaan kalut seperti itu, sebagian besar warga mulai pasrah. Mereka serahkan semua keanehan itu kepada Pemilik segala keanehan ciptaan. Dalam benak mereka, hanya Tuhan saja-lah tempat kembalinya segala sesuatu. Aneh atau tidak. Berbeda halnya dengan segelintir warga lain. Mendengar masih ada takbir dan tahmid berkumandang dari kampung tetangga, mereka bergegas menyambangi karib masing-masing. Setiba di tujuan, hasilnya sama saja. Mereka tetap tak bisa merasakan bahwa memang masih ada Lebaran Haji di sana. Bahkan mereka pun tak bisa memahami apakah Lebaran Haji itu memang pernah ada atau tidak.
Berita menghilangnya Idul Fitri di Tanjungmorawa pernah merebak ke antero penjuru dan jadi berita besar koran-koran di Medan. Banyak orang berdatangan ke sana sekadar memastikan kebenarannya. Kini, cerita itu berulang lagi. Warga dari kampung tetangga kembali berdatangan, termasuk beberapa orang wartawan juga reporter televisi dan radio, demi mengorek berita seputar kehilangan hari berkurban itu. Berdasar petunjuk para tetua kampung, juga kabar angin dari mulut ke mulut, maka para wartawan pun segera mengerumuni Pakcik Ladang. Terik siang kali itu tak membuatnya berhenti menyeruput kopi panas Aceh racikan Zulfikar, lengkap dengan sepinggan pisang sale. Beberapa warga tampak penasaran dan ikut mengerubung si sumber berita. Sementara lainnya, hanya cukup mencuri dengar dari meja sebelah.
“Darimana lagi Pakcik Ladang beroleh petunjuk soal hilangnya Lebaran Haji tahun ini?” tanya seorang wartawan dari koran Waspada.
Setelah menghisap rokok kreteknya dengan tarikan panjang lantas mengembuskannya ke udara, Pakcik menjawab santai.
“Halah, kau ini sama saja macam si Zulfikar tukang kopi itu. Apa tak ada lagi pertanyaan berbobot bisa kau ajukan dari mulutmu itu, Bujang?”
“Maksud Pakcik macam mana?”
“Untuk apa pula kau tanya maksudnya. Ah, kalian ini terlalu banyak bertanya tapi tak pernah punya waktu untuk menekuri pesan alam kepada kita.”
“Maksud awak, pertanyaan berbobot itu maksudnya macam mana, Pakcik?”
“Sudah berapa lama kau jadi wartawan hah? Apa kau tak pernah tahu tentang bagaimana orang-orang di Jakarta sana merusak puasa dan kurban mereka? Kau pun harus tahu kalau mereka tuh juga merusak kita?
“Maksud Pakcik, Jakarta ada hubungannya dengan dua peristiwa aneh di kampung ini?” wartawan Waspada itu kian penasaran.
Alamakjang...! Darimana pula kau dapat kesimpulan serampangan macam tuh? Jadi begitu caramu menulis berita, Bujang?” si wartawan terdiam. Pun dengan beberapa rekannya. Sementara Pakcik Ladang masih tetap tekun menikmati kreteknya. Hembus demi hembus. Kerut-merut di wajahnya membuat ia nampak semakin berwibawa di hadapan para kuli berita itu.
“Sekarang kutanya, berapa kalian dibayar untuk berita ini?”
Tak satu pun wartawan berani menjawab. Mereka hanya berpura-pura memainkan lensa kamera dan mencorat-coret seadanya di kertas memo masing-masing.
“Pantas saja tak ada lagi orang Melayu sebesar Hang Tuah dan Hang Jebat. Heh bujang! Cobalah kalian belajar dari para laksamana itu. Hebat nian hidupnya. Laut mereka hormati seperti omak sendiri. Karena di tengah laut sana, setiap kita pasti akan mengapurancang di hadapan Tuhan. Lebaran itu bukan milik kita. Sampai kapanpun, takkan pernah jadi milik sesiapa. Kecuali milik Dia saja.”
“Jadi kemana sebenarnya Lebaran Haji itu pergi, Pakcik?” tanya seorang wartawan lain.       
Pakcik Ladang terdiam sejenak. Diraihnya sebatang kretek baru untuk disulut. Setelah meneguk kopi hingga tuntas, ia pun bersuara.
“Aku tak tahu. Mungkin Lebaran masih menempel di dinding masjid seberang jalan sana; Di sajadah si Poniman itu; Dalam sarung dan telukung warga kampung; Di setiap butir kue-kue dan tumpukan makanan-minuman mereka; Diantara setiap jahitan pakaian baru anak-anak kampung ini; Di setiap derai tawa mereka di sepanjang Ramadhan lalu; Atau di aliran darah hewan-hewan yang mau dikurbankan itu. Karena beberapa bulan lalu aku merasa tak sedang berpuasa. Tak ada Ramadhan di sini... Tak lagi ada yang bisa dikurbankan...”
Warung kopi Zukfikar Aceh seketika senyap. Hanya terdengar suara kumandang adzan Ashar dari kampung seberang. Ditingkahi suara mercon milik beberapa orang anak kecil dari belakang warung. Sementara di bibir Pakcik Ladang, terbit seulas senyum sambil matanya menatap lurus ke arah barat. Matahari nampak megah kemerahan. Ia tercenung memikirkan nasib kampungnya. Pelahan, sosok penuh misteri di Tanjungmorawa itu beranjak dari duduk. Ia menghampiri Zukfikar, menepuk bahunya, sembari mengucapkan beberapa patah kata.
“Zul, terimakasih untuk semua kopi seduhanmu. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu selama ini padaku.”
Pakcik Ladang beringsut. Ia pergi menyambangi imam masjid Tanjungmorawa, Nuruddin, karibnya. Seorang terhormat lagi disegani oleh siapapun di kampung itu. Shalat lima waktunya tak pernah luput. Bahkan hampir tiap malam ia bertahajjud sendiri di kesunyian masjid. Tak ada warga lain bisa menandingi gairah peribadatannya. Usai memimpin doa jama’ah Ashar, sang imam bergegas pulang. Ia tak tahu Pakcik Ladang sudah menantinya di teras masjid. Mereka pun saling berjabatan tangan dan berpelukan. Seulas senyum kembali terkulum di bibir Pakcik. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu menyerahkannya pada Nuruddin.
“Bacalah, Din.”
“Apa ini, kawan?” tanya Nuruddin penasaran.
“Jika memang dalam setiap pintu rahasia dibutuhkan sebuah petunjuk, maka sekarang simpanlah baik-baik pesanku ini bersamamu.”
“Aku masih tak paham apa maumu, Ladang?”
Pakcik Ladang menyapu pandangannya ke sekitar. Memastikan bahwa tak ada satu pun orang menguping pembicaraan mereka. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Nuruddin.
“Aku tahu persis kelakuanmu selama kita bersahabat. Aku pun tahu kapan kau hamili gadis Sunda itu dan dimana kau sembunyikan ia sebagai istri ketigabelasmu. Jika memang nanti semua perilakumu itu terkuak, dan kau tak sanggup menanggung beban itu sendirian, katakan pada warga kampung, bahwa aku-lah pelakunya. Aku ikhlas...”
Mendengar bisikan itu, jantung Nuruddin seketika berhenti berdegup. Sebuah gelombang kimia dahsyat segera bereaksi dalam tubuhnya. Ia pun lemas. Jatuh terjerembab di lantai depan masjid. Pelahan, ia membuka lipatan surat itu dan membacanya. Pakcik Ladang berlalu. 

Rahasiamu jangan ungkapkan pada seorang pun; ia kan hilang jika diceritakan. Karena bila dadamu sendiri tak dapat menyembunyikan itu, bagaimana orang lain dapat menyimpannya. Hanya orang beriman dan terbaik bisa menyimpan rahasia dalam rumah tertutup rapat, sedang kuncinya telah hilang dan gemboknya terpatri erat. (Ladang bin Belalang bin Abu Nawas—Wali penghibur orang miskin, pelawak zaman, pengukir lelucon sejati sepanjang masa).

Sejak pertemuan itu, batang hidung Pakcik Ladang tak lagi terlihat di Tanjungmorawa. Kepergian Pakcik semakin memertebal misteri hidupnya sebagai seorang lelaki sebatang kara. Sosok manusia dengan luka teramat dalam di palung hatinya, namun teguh menantang hidup sejak masih belia. Begitulah, setiap orang hanya bisa menduga. Namun tak berani memastikan. Dimana dia berada, masih hidupkah, dan siapa keturunannya. []



teruntuk ia yang disana—tentang jauhnya jarak sebuah keintiman.



utankampung-ciputat
 nopember delapan ‘ribusepuluh

Catatan Akhir:


[i] Panggilan akrab untuk usia sebaya dalam masyarakat Batak.
[ii] Kata ganti orang pertama dalam dialek Melayu Deli. Sementara di negeri serumpun, Malaysia, dijadikan kata penunjuk lawan bicara.
[iii] Makhluk halus dari Tanah Karo, Sumatera Utara, yang biasa dijadikan sesembahan oleh para pegiat ilmu hitam.


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews