Onggokan sampah peradaban manusia kian tak terbendung
lagi. Di tiap benua, samudera, daratan, udara, bahkan hingga ke relung jiwa,
berserakan sampah apa saja. Kita nyaris kesulitan memilah-memilih sampah mana
yang bisa didaur ulang, mana yang tidak. Tapi sebagaimana lazimnya sampah,
tetap saja berbahaya. Apalagi jika tidak tertanggulangi. Tulisan sederhana ini,
tidak sedang berpretensi mendedah sedetil apa riwayat manusia modern itu. Namun
lebih kepada bagaimana kiranya kita manusia zaman kiwari ini harus menyikapi
hidup yang sama-sama sedang digeluti. Tentu, dengan menimbang sebanyak apa
sampah peradaban yang telah kita hasilkan selama ini.
Selaiknya
biografi, maka mau tidak mau akan kami sertakan sebuah alur berpikir yang
menceritakan tentang proses kelahiran manusia modern itu. Meski sekali lagi
harus ditegaskan, bahwa yang tertulis ini akan sangat jauh dari lengkap dan
teliti. Manusia menjadi atau bisa disebut modern apabila ia telah bersentuhan
dengan beberapa anasir berikut ini. Pertama,
pencerahan rasio. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Socrates di Athena, hampir
dua milenium silam. Tapi karena baru pada era René Descartes, cita-cita
Socrates itu baru bisa diwujudkan, maka kita beroleh bantuan sejak kapan
tepatnya manusia menjadi sebenarnya modern. Jika dihitung mundur, maka
modernitas manusia usianya tak lebih dari lima abad saja.
Kedua. Setelah mengalami kemajuan secara
rasional, terutama setelah para positivis macam August Comte—untuk tidak
menyebut yang lain, bersekongkol dengan para saintis di era Revolusi Industri
Inggris (Abad 18), modernitas pun mulai melangkaui Abad Teknik. Hampir sebagian
besar tugas manusia mulai didelegasikan kepada mesin. Sedari urusan pribadi
hingga yang paling massif sekali pun. Individu, komune, bahkan sebuah negara,
tak pelak menikmati kemudahan ini. Apa lacur? Manusia kehilangan sebagian besar
elan vitalnya. Kita menjadi lemah untuk banyak hal. Untuk sekian macam kodrat
alami yang kita miliki. Bahkan berjalan pun dirasa menjadi beban yang mesti
dicari kemudahannya.
Rezim Informasi
& Audio-Visual
Mesti diakui, kehadiran internet menjelang akhir Abad 20,
jadi faktor kunci kemerosotan manusia modern—untuk tidak menyebutnya sebagai
titik balik kehancuran peradaban manusia itu sendiri. Sejatinya, kemerosotan
ini bisa dicegah. Tapi karena keniskalaan manusia yang cenderung
ceroboh-gegabah dalam menyelenggarakan hidupnya, ada banyak hal yang kemudian
terabaikan begitu saja. Misal, kemampuan berpikir kita yang tiada berbatas,
macet sebab kebiasaan googling yang
keterlaluan.
Maka
dari itu, bicara budaya baca-tulis pun tak lagi relevan jika Google kerap
digadang sebagai gudang informasi unggulan. Setelah indera—satu fakultas
kemanusiaan kita yang sudah ditumpulkan teknologi, kini fakultas rasio pun
melumer dihantam gempuran internet. Kita terjebak dalam Abad Artifisial belaka.
Masuk dalam simulakrum—meminjam Baudrilard, yang kita bangun sendiri. Ditambah
dengan menjamurnya media online dan
jejaring sosial, ketenangan-keharmonisan kita pun rusak digempur semilyar
informasi yang melesat tiap saat.
Ada
banyak orang yang lebih nyaman bersembunyi di dunia maya, bersenang di
dalamnya, tinimbang terjun langsung di dunia nyata. Terlibat dalam banyak
kegiatan kemanusiaan. Begitu banyak orang yang dengan sengaja merusak hubungan
kemanusiaannya dengan tersangkut langsung di dunia maya. Lalu gagal turun
gelanggang di saat banyak orang kelaparan akibat perang yang di desain
sedemikian rupa oleh segelintir orang yang bermaksud meratakan adab manusia
dengan tanah. Kita, terlambat menyikapi internet dengan cermat dan santun.
Terlampau asyik menjadi soliter. Lantas lupa bahwa kita adalah makhluk sosial
yang tak bisa hidup sendiri. Kecuali ketika lahir dan mati nanti.
Televisi
yang lebih dulu merambah hidup kita ke ruang paling privat, tak kalah gila
merobek jantung pertahanan terakhir kemanusiaan: keluarga. Dunia modern yang
kian banyak menuntut ini, diperkuat posisinya dengan beragam acara televisi
yang sebagian besarnya spectacle sahaja.
Tontonan. Kesedihan korban tsunami, kebanjiran, kelaparan, pembunuhan, perkosaan,
gempa, dan perang sekali pun, bisa dikemas menjadi komoditas dagang. Ada nilai
jual yang kerap dihitung di situ. Di balik meja para produser dan pemilik modal
yang seolah ingin membawa hartanya hingga ke Langit sana. Miris.
Itu baru
soal kesedihan. Belum soal lain. Maka wajar jika seorang anak yang kedua
orangtuanya pergi pagi pulang malam, berubah menjadi anak artifisial bentukan
televisi dan internet. Ia jadi anak yang gagap di lingkungan, sekolah, kampus,
dan ruang kerjanya. Mudah saja. Sedari kecil, ia tak beroleh perhatian cukup
dan bimbingan memadai dari orangtuanya, yang sudah kehabisan enerji selepas
kerja. Hal ini diperparah dengan kian menjauhnya kita dari fondasi paling ultim
kemanusiaan: spiritualitas.
Merajut
Benang Sutra Kehidupan
Bicara spiritualitas, tak melulu harus melibatkan agama.
Kendati untuk memudahkannya, kita bisa memulai diskusi dengan melibatkan agama
sebagai lokus dari spiritualitas. Intuisi, fakultas terbaik kita yang terus
meredup waktu ke waktu, merupakan moda yang sejatinya masih bisa digunakan
untuk menahan kehancuran peradaban yang sudah menanti di ambang jurang. Sudah
bukan waktunya lagi tuding-menuding benar-salah. Mencari siapa yang berhak
untuk itu, sama rumitnya dengan mencari jarum dalam sekam. Jadi tugas termudah
kita adalah, kembali ke diri. Kembali ke hati.
Begitu kosa kata lain untuk intuisi.
Bila di
Zaman Aksial dulu sebagian besar manusia menyerahkan masa depannya kepada
segelintir individu tercerahkan macam Muhammad Saw, Sakyamuni Buddha, Socrates,
Rumi, Confusius, Lao Tze, para Brahmin, para Mpu, maka di era centang-prenang
begini, kita juga membutuhkan sosok macam mereka. Bahkan boleh jadi, kita juga
berpotensi menyelamatkan masa depan bersama dengan mengambil posisi itu, dengan
kesadaran penuh untuk sebuah pencerahan baru. Karena masing-masing kita telah
diberi potensi besar oleh tuhan, yang seharusnya bisa diberdayakan untuk
menyelenggarakan hidup di dunia dengan baik & sebenar-benarnya.
Belakangan
ini, banyak kegalatan yang terjadi jika kita bicara seputar spiritualitas. Seolah
ranah ini melulu bersentuhan dengan agama saja. Padahal spiritualitas berada di
luar itu. Ia (spiritualitas—pen) melampaui ruang-waktu. Tidak seperti agama yang
fatsunnya ada di dalam spasio-temporal. Kita bisa menemukan banyak kearifan para
Guru Bijak (Gnostikus) spiritual yang bahkan agama hasil pengajarannya tak
diakui di negara ini. Tapi itu soal lain. Hal utamanya adalah, mereka berhasil
menangkap spirit paling ultim manusia sebagai makhluk unggulan dari Langit. Sehingga
ajaran yang mereka wariskan secara tepat-guna, berhasil menyinari kegelapan
yang menyaput hidup manusia di belahan dunia mana pun.
Hampir di sebagian besar penjuru bumi, telah muncul para
pembaru yang siap berhadapan dengan kedegilan abad modern. Imam Khomaini, Mahatma
Gandhi, Muhammad Iqbal, Bunda Theresa, Lady Diana, Cak Nur, Gus Dur, Muhammad
Yunus, Karen Armstrong, Henry Saragih, adalah segelintir orang yang sudah
mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan universal. Mereka adalah manusia
lintas-batas yang lebur dalam hidup yang hakiki. Kendati membawa kelekatan
primordial dalam dirinya masing-masing, mereka berhasil menyebarkan enerji
positif untuk perbaikan hidup manusia. Ada spirit luarbiasa yang mereka
tularkan kepada kita. Bahkan hingga kini.
Manusia penyintas itu adalah mereka yang hidupnya secara fisik tak terbatasi oleh wilayah
suku-bangsa dan kenegaraan. Jiwa mereka seluas semesta. Kekuatan spiritualnya
adalah tiang penyangga langit. Bangunan pikiran mereka terus bertahan sepanjang
masa. Diteruskan, dipelajari, dikritisi, diperbaiki, dianut, dijalankan. Seperti
kata Socrates, “Manusia yang berarti adalah ia yang berpikir.” Maka seperti
itulah posisi para pelintas batas itu melakoni hidupnya masing-masing. Mereka telah
memberi sumbangsih terbaiknya untuk kelangsungan peradaban kita.
Manusia yang hidupnya nampak terserak, tak beraturan,
terpolarisasi, sejatinya sedang memintal benang yang sama: misteri. Jika
diteroka lebih menjeluk, misteri takdir manusia itu berujung pada Kebahagiaan
Sejati. Karena tak ada satu pun manusia yang ingin menuntaskan hidupnya dalam
kesengsaraan, kehancuran, kenistaan. Kita membawa secara kodrati keagungan
tuhan, kesucian-Nya, daya cipta-Nya, keluasan Cinta-Nya, kehalusan Rahman & Rahim-Nya ke dalam diri ini. Sehingga dengan mudah kita menjadi gusar dan
merasa bersalah jika menyakiti orang lain dan menghancurkan hidup sendiri.
Karena itu jelas bertentangan dengan kecenderungan hati yang di puncak
pencapaiannya adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan
yang harus kita capai jelas bukan jenis artifisial yang ditawarkan dunia modern
saat ini. Tidak terletak pada seberapa canggih perabotan rumah tangga yang
dimiliki; seberapa banyak harta disimpan; secantik apa suami atau istri di
rumah; secerdas apa daya jelajah intelektual kita; setinggi apa kita bisa
sekolah; sehebat apa karya yang telah dihasilkan, tapi seberapa paham kita pada
diri sendiri; pada hidup yang sekarang kita tekuni ini; tentang sebaik apa
tingkah-polah kita menyelenggarakan hidup di dunia dan merayakannya dengan
kasih-sayang yang terus membentang. Sepanjang usia. Sejauh sejarah yang bisa
ditorehkan manusia. Itulah benang sutra pemersatu kita--yang sejatinya mozaik
ini, menjadi kesatuan utuh lagi padu. Harmonis dalam serbaneka warna kehidupan.
[gandul, 270312]
*ilustrasi oleh Bruno Catalano
Tulisan yang menarik Kang Reno,
ReplyDeleteSaya suka dan alhamdulillah hidup saya sekeluarga aman saja.
Meskipun terus terang anak anak dan istri memang menjadi lebih 'pandai' karena Internet dan bukan malah lebih kehilangan rasa kemanusiaannya, mereka tidak terpenjara di rumah, mereka beredar terus dalam komunitas olah raga juga bisnis(jualan kaki lima)
paling tidak ada uang buat bayar semua tagihan.
Selebihnya kita hidup tetap sederhana,
Kerjaan sosial kemasyarakatan kadang menyita waktu tapi kita memang emoh berpolitik apalagi ikut kegiatan ormas jahat yang lagi marak belakangan ini.
Hanya Allah yang maha tahu kita sudah melakukan apa apa dengan benar atau tidak, karena hanya kepada Allah subhanahu wataala sajalah kita berkiblat bukan pada yang lainnya (.)