Kisah Cinta Demokrasi & Lainsebagainya


sore itu, Kamis, 8 Desember 2011. Hanya sepelemparan batu dari Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang riuh-rendah ditikam kemacetan, digelar sebuah perhelatan bermutu tinggi: Nurcholish Madjid Memorial Lecture edisi 5, di aula Universitas Paramadina, yang diampu oleh R. William Liddle selaku penyampai orasi ilmiah. Tak tanggung-tanggung, Liddle yang Indonesianis sedari 1960-an, sengaja terbang langsung dari The Ohio State University (OSU), Columbus, Amerika Serikat, demi menyampaikan kegelisahannya untuk dunia politik kiwari.

          Liddle yang memulai kiprahnya sebagai Indonesianis di Simalungun, Sumatera Utara, kentara betul sedang memeragakan gaya Tapanuli yang ekspresif dan tanpa tedeng aling-aling. Ia, tak terlihat canggung samasekali di hadapan ratusan orang yang terdiri dari para mahasiswa, pemikir jempolan Indonesia, pengusaha, dan pegiat bisnis perbukuan. Intinya, malam itu Liddle menjelma bak aktor handal “Naga Bonar” besutan sutradara kondang, Asrul Sani.  

Marx atau Machiavelli?
Jarak hidup kedua pemikir politik papan atas itu memang terentang hampir 5 abad jauhnya. Tapi ternyata keduanya sedang menawarkan dua opsi yang seperti saling melengkapi. Niccolo Machiavelli, hidup di Firenze (sekarang Florence), Italia, pada abad ke-15, mengusung spirit individualitas. Sedang Karl Marx yang tumbuh bersama kerasnya roda Revolusi Industri menggilas adab manusia, merumuskan sebaliknya. Ia melulu percaya bahwa individu tak lagi bisa dipercaya, kecuali setelah dibenturkan dalam kelas sosial. Begitulah tema utama orasi ilmiah Liddle yang ia beri tajuk “Marx atau Machiavelli? Menuju Demokrasi Bermutu Indoneisa dan Amerika”.

          Kerana terbatasnya ruang untuk menuliskan secara utuh-menyeluruh apa yang dipaparkan Liddle tersebut, maka kami pun akan melakukan penyenaraian sahaja, berikut beberapa kritisasi berkenaan dengan hal tersebut. Secara tegas, Liddle langsung mencoret Marx dalam orasinya. Dengan alasan, politik bukan perkara keroyokan alias tawur antar sekelompok orang. Tapi jadi hak milik mutlak orang per orang dengan virtu dan fortuna-nya masing-masing,

Virtu yang tak jauh beda dengan meritrokrasi Plato, terambil dari kata vir dalam Bahasa Latin, yang berarti keterampilan atau kejantanan. Bukan virtue dalam bahasa Inggris yang bermakna kebaikan hati. Liddle menerjemahkan virtu Machiavelli sebagai sekumpulan sumber daya yang dimiliki seseorang, atau yang bisa ia ciptakan, dimobilisasi dan dimanfaatkan sebagai moda utamanya selaku aktor politik.

Konsep Machiavelli yang kedua adalah, fortuna, yang juga terambil dari Bahasa Latin yang artinya adalah kans, keberuntungan. Siapa pun kita, atau mereka yang terlibat dalam ranah politik, mesti melibatkan faktor ini demi menghidupkan kehendak bebasnya untuk bertindak meraih keberhasilan dengan merebut tiap jengkal kesempatan. Apa pun resiko yang sedang menunggu di depan batang hidungnya. 

Dengan meminjam dua gagasan kunci Machiavelli di atas, Liddle berhasil menghapus noktah di wajah filosof politik Italia itu, yang kadung di cap sebagai filosof politik kejahatan. Meski tak dapat dielakkan bahwa apa yang digagas Machiavelli dalam De Principatibus, 1513 (The Prince, 1527) yang ia hasilkan setelah patron-kliennya, Gonfalonier Piero Soderini tumbang, dan ia dituduh menjadi dalangnya dengan berkomplot bersama keluarga Medici. Pukulan telak dalam bentuk kemelaratan yang kemudian diterima oleh Machiavelli, adalah bagian penting dari lahirnya De Principatibus yang monumental itu. 

Sampai di sini, jelaslah apa yang hendak disasar Liddle. Secara kontekstual ia berhasil menarik garis lurus dari teori politik Machiavelli ke era kekinian—di mana sistem politik partisan tak lagi ampuh dijadikan sarana menemukan solusi kesenjangan sosial dan kemiskinan yang diciptakan oleh perkawinan haram jadah antara elit birokrasi dengan korporasi global. Amerika yang notabene negara maju dan katanya super power itu saja, tingkat ketimpangan sosial masyarakatnya jauh lebih parah tinimbang Indonesia. Sejak 1979, pendapatan 1 % orang terkaya meningkat 275 %. Jauh melampaui kelas menengah yang hanya berkisar di angka 40% saja.

Protes berkepanjangan di Wall Street oleh sejumlah besar aktivis pecinta hidup setara adalah bukti betapa kacaunya tatanan dunia politik abad modern. Kendati dengan bangga menggadang demokrasi setinggi matahari, tetap saja urat primordial manusia untuk saling menggilas tak bisa diredam. Pertanyaan kita bisa berbentuk macamrupa. Dekorasi demokrasinya yang salah ataukah para pelakunya? Keduanya absah belaka.

Proyek Pencerahan
Maka dari itu, kita selaku penghuni bumi yang mulia ini, dibebani tanggungjawab lumayan besar guna mereboisasi kehidupan secara berjamaah. Kita, tak lagi bisa menumpukan beban dunia ini kepada satu atau segelintir manusia lain—kendati ia diberkahi potensi luarbiasa oleh tuhan untuk menyelenggarakan dan menyemarakkan kehidupan ini. Berhentilah menjadi apatis apalagi skeptis untuk seinchi pun perubahan yang mungkin terjadi. 

Kita bisa memulainya dengan mengusung semangat partisif-aktif, emansipatoris, dan munisipal. Juga sesegera mungkin melengkapi diri dengan segenap kemampuan mengolah kehidupan, mengangkat grafik indeks pembangunan diri, meretas batas, dan menciptakan masa depan yang terukur-terarah. Agar kita tak jadi makhluk lemah yang hanya berkutat dalam soal karma polis, lalu sintas dibekap waktu. Mati suri di tengah pesta raya semesta yang masih terus ingin berkembang. Ada atau tanpa kita. [baratCilandak, 09122011]


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews