DEMOKRASI
moderen, dengan segala dinamikanya, telah melampaui Trias Politica yang disusun
Voltaire (l. 1694 - w. 1778) tiga abad silam di Prancis. Bahkan, corak
demokrasi yang dikembangkan di Indonesia juga jauh berbeda dengan apa yang berlangsung
di Amerika dan India. Dua negara demokrasi—yang konon terbesar sedunia.
Secara umum, demokrasi kita sama sekali tak mengalami
pertumbuhan berarti. Kecuali perbedaan pola dibanding dengan apa yang
dijalankan Orde Baru. Era multipartai zaman Orde Lama seketika dilebur Soeharto
menjadi tiga partai besar—yang lucunya selalu dijawarai Golkar. Selebihnya,
praktik "bagi-bagi kue" adalah kelaziman yang bahkan masih berjalan
hingga kini. Orde Baru yang secara de facto dikandaskan Reformasi, alih-alih masih
mewariskan jejak kejumudannya dalam mengelola negara—secara de jure.
Lantas, apa pembeda utama demokrasi terpimpin Soekarno
dengan demokrasi bernuansa "reformasi"? Jawabannya, akal sehat.
Soekarno berusaha membangun demokrasi yang ia pahami dari Barat, dan
memadukannya dengan musyawarah-mufakat model Nusantara. Maka berdirilah
MPR/DPR. Sejak Amerika berdiri pada 1776 sampai sekarang, hanya ada dua partai
besar yang mendominasi: Republik dan Demokrat. Dua partai inilah yang
menjalankan aspirasi ratusan partai lain di Amerika, yang menitipkan suara
konstituennya. Sampai titik darah penghabisan, Republiken takkan pernah menjadi
Demokratis. Anda bisa mengamati perbedaan tegas mereka dengan melihat
kepemimpiman Obama (Demokrat) dan Trump (dari Republik).
Indonesia Quo Vadis
Siapa pun
anggota partai di Amerika, harus sudah dengan sadar menjalankan visi besar dan
misi utama partainya—yang telah dicanangkan sejak awal didirikan. Pembelotan,
sama dengan persona non grata. Mencoreng wajah sendiri. Pada awal kemerdekaan,
politisi kita sempat menjalankan praktik yang sama. Bedanya, sebagian dari
mereka yang tak lagi cocok dengan visi-misi partai, kemudian mendirikan partai
baru. Tan Malaka dengan PKI dan Murba-nya, adalah contoh kecil untuk model ini.
Setelah lumbung despotisme Orde Baru tumpah ruah, para
politisi Angkatan ‘66 yang ikut menumbangkan Soekarno tampil dengan salin rupa
partai yang mereka dirikan. Sebagian besar berasal dari Golkar dan PDI.
Sisanya, pemain lama yang bersalin rupa. Tanpa kredo, tanpa kejelasan
visi-misi. Semata demi mengumpulkan pundi suara dan mengincar kursi presiden.
Ironi politik yang kemudian terjadi adalah, suara rakyat
tak lagi suara tuhan. Vox populi vox dei tinggal cerita. Rakyat hanya dijadikan
"sapi perah" belaka demi mengantarkan para petualang (avonturir)
politik menuju berahi kuasanya yang naudzubillah. Belum lagi bicara kecakapan
memimpin yang sama sekali tak memadai—untuk tidak mengatakannya payah.
Ilusi dan Delusi Partai
Anda bisa
membuktikan sendiri kekacauan politik kita, cukup dengan mengamati kerja partai
yang saat ini berkuasa dan duduk di DPR/D. Bajak-membajak kader sudah jadi
pemandangan umum. Ditambah "kutu loncat" yang anehnya selalu saja
beroleh tempat di partai baru—yang pernah ia tuding semasa menjadi kader partai
yang ditinggalkan. Anies-Ahok jadi gambaran sederhana terkait ini.
Kedua calon gubernur yang kini tengah beradu urat saraf
demi mengincar posisi Jakarta 1, enteng saja melenggang di hadapan konstituen
mereka. Partai bagi mereka sekadar kendaraan umum yang persis seperti angkot.
Tapi sampai di sini, kita masih punya sedikit harapan dari sisi meritokrasi.
Ahok yang petahana, menjajal dua lawannya yang secara ajaib belum pernah
menjadi pejabat publik.
Agus dan Anies, sama kita tahu rekam jejaknya. Namun,
tengoklah fakta di lapangan. Suara yang mereka peroleh, bukti lemahnya akal
sehat publik Jakarta secara khusus—dan Indonesia secara umum. Tanpa melibatkan
sentimen emosional, suka pun tidak, agama, dan ras, mestinya demokrasi kita tak
sejumud apa yang terlihat hari ini. Ahok yang telah berhasil menamatkan bab
nasionalismenya, masih tetap tak diterima publik yang jelas telah melihat
kinerjanya semasa menjadi wakil gubernur dan melanjutkan kerja Jokowi—yang
sukses menduduki kursi Republik Indonesia 1. Seandainya publik pemilih kita
beroleh kesempatan pendidikan politik lebih sehat dan masuk akal, sudah bisa
diduga siapa yang akan memenangkan pertarungan pemilihan gubernur Jakarta
nanti. Anda masih mau memilih?
Dimuat di Rilis.id pada Sabtu, 15/4/2017 | 00:16
No comments:
Post a Comment