Seni Berpolitik Sukarno


KETIKA menjalani masa pembuangan di Ende, Flores, Sukarno muda dalam usia ke-33 dibenam sepi dan dijauhkan dari rakyatnya tercinta—oleh kolonial Belanda. Meski ditemani Inggit (sang istri), ibu mertua, Ratna Juami (anak angkat), dan dua anjing kesayangan, ia nyaris patah arang. Dibuang begitu jauh dari tanah Jawa, dilarang menulis (bahkan sekadar surat), apalagi naik podium, membuatnya murung berbulan lamanya. Namun, Sukarno pantang menyerah. Akhirnya ia memilih seni sebagai basis gerakan baru. Entah dari mana inspirasi itu ia peroleh. Belum ada penelitian lebih lanjut tentang itu. Bersama segelintir orang asli di sana, Sukarno pun mendirikan Tonil Klub Kelimutu—diambil dari nama danau tiga warna yang melegenda di Ende.
Darham, Kotadia, Riwuga, Ibrahim Haji Umarsyah, Martin Paraja, adalah sederet nama yang jadi saksi kejeniusan Sukarno dalam mengelola kelompok sandiwara tersebut. Dari buah tangannya, lahir dua belas naskah selama di Ende (lima lainnya ditulis di Bengkulu ketika dibuang pada medio 1938-1942 bersama kelompok sandiwara baru, Monte Carlo). Satu di antaranya, “Indonesia 1945”. Naskah yang seolah meramalkan kemerdekaan bangsa kita. Di kota ini Sukarno mengajak segelintir tokoh Muhammadiyah sebagai pemain. Seperti Abdul Manaf, AM Hanafi, Zahari Tani, Manaf Sofyan dan Bachtiar Karim. 
Klub Kelimutu yang ia bina, sontak, berubah jadi alat perlawanan terselubung. Sukarno tak hanya menulis naskah. Ia menyutradarai, jadi aktor, menata panggung, merancang kostum, menata rias, membuat komposisi musik latar, bahkan mengajari anggota Kelimutu memanajemeni grup mereka. Sebagai catatan, grup ini berhasil bertahan selama Soekarno dibuang di Ende, dan membuat anggotanya berdaya guna di masyarakat mereka. Pola itu, di zaman yang serbasusah, jelas pencapaian luar biasa. Hanya Teater Populer, Koma, dan Garasi, yang bisa mengulang kejeniusan Sukarno itu—lima puluh tahun kemudian. Setelah bangsa yang ia perjuangkan, merdeka. Pertanyaannya, dari mana Bung Karno beroleh pengetahuan teater?

Menolak Kalah
Ada tujuh belas naskah sandiwara yang pernah ditulis Sukarno selama menjalani masa pembuangan. Dua belas naskah ditulis di Ende: “Dr. Syaitan”, “Indonesia 1945”, “Rendo”, “Rahasia Kelimutu”, “Jula Gubi”, “Kut Kutbi”, “Anak Haram Jadah”, “Maha Iblis”, “Aero Dinamit”, “Amuk”, “Sanghai Rumba”, dan “Geura Ende”. Lima lainnya saat di Bengkulu: “Chungking Jakarta”, “Hantu Gunung Bungkuk”, “Rainbow atawa Puteri Kencana Bulan”, dan “Si Kecil” (Klein’duimpye). Dari kesemuanya, sepuluh naskah berhasil diselamatkan dan kini tersimpan di situs Bung Karno, yakni: “Rahasia Kelimutu”, “Rendo”, “Jula Gubi”, “Kut Kutbi”, “Anak Haram Jadah”, “Maha Iblis”, “Aero Dinamit”, “Dr. Syaitan”, “Chungking Jakarta”, dan “Rainbow atawa Puteri Kencana Bulan”.
Naskah yang dihasilkan Sukarno tak bisa dianggap remeh. Di dalamnya tecermin wawasan kebangsaan-nasionalisme yang telah ia bangun sejak di Bandung. Hal itu terbaca jelas dalam naskah “Chungking Jakarta” yang menggambarkan semangat kesadaran nasionalisme bangsa Asia melawan kolonialisme. Pun dengan “Putri Kencana Bulan” yang mungkin dianggitnya dari cerita epik historik: “Tambo Bangkahulu”.Ketika masih jadi interniran di Ende, Soekarno menulis naskahnya secara garis besar saja, memilih pemeran, dan memberikan contoh pengadeganan. Sedangkan ketika di Bengkulu bersama Monte Carlo, Sukarno yang kemudian mendapat panggilan hangat khas warga lokal, Bung Karno, menulis naskah secara lengkap. Meski secara penyutradaraan, tak jauh beda ketika memimpin Kelimutu. 
Gaya berkesenian Sukarno ini agak lain dengan kelompok sandiwara komersial sezaman seperti Komedi Stambul (1891), Miss Ribut Orion (1925), Dardanella (1926), dan sejenisnya, yang masih mengadopsi model pertunjukan gaya Turki. Selain mengajari anggotanya menyiapkan kebutuhan artistik, Soekarno juga menambahkan trik dengan teknik menyerupai peristiwa asli. Seperti menggunakan lembaran seng, kaleng, pasir, kerikil, bebatuan, bubuk mesiu/zat peledak, dan lain-lain, guna menirukan suara gemuruh angin, hujan, petir, halilintar, dan sebagainya. Ia juga menggunakan peralatan elektrik dengan kabel-kabel strum. Sebuah pencapaian yang tak terpikirkan oleh seniman panggung di masanya.

Seniman Besar Dunia
Dua tahun sisa masa pengasingan di Ende sejak 1936-1938, Sukarno juga menghasilkan ragam lukisan naturalistik dari cat air yang menawan. Lukisan bertajuk "Rini" yang ia buat pada 1958 dengan dimentori pelukis kawakan, Dullah, jadi bukti ketajaman intuisi seninya. Sukarno juga rapat bergaul dengan para pematung, dan sastrawan. Chairil Anwar misalnya. Menurut kurator seni, Bambang Asrini Widjanarko (2017), koleksi Soekarno pribadi, yang dihibahkan pada negara, lebih dari separuh di antara 3.000-an karya seni yang dikelola negara di enam Istana Presiden, yakni Istana Merdeka, Istana Negara (Jakarta), Istana Cipanas, Istana Bogor, Istana Yogyakarta, serta Istana Tampak Siring (Bali). Catatan di atas jelas belum bisa dilampaui presiden mana pun di dunia modern pasca-Sukarno.
Di bawah kepemimpinan Sukarno, bayi Republik Indonesia tumbuh membesar begitu cepat dan disegani negara adidaya seperti Uni Soviet, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Kelincahannya bergaul di dunia internasional lebih sering dilatari motif kesenian. Sebagaimana ketika pertama kali menginjakkan kaki di Amerika. Sukarno malah minta diajak ke Hollywood dan berpose dengan Elvis Presley.
Politik, bagi Sukarno, tercitra sebagai panggung seni akbar yang mencitra kehidupan manusia. Ia menguasai seni berpikir, seni bicara, seni menulis, dan seni memimpin. Sejak mendirikan Tonil Kelimutu yang berbasis teater, ia sejatinya telah bersinggungan dengan induk kesenian—yang telah melahirkan begitu banyak cabang seni. Maka wajar bila kemudian Sukarno jadi tergila-gila dengan semua bentuk kesenian yang bisa diaksesnya. Atas pencapaiannya itu, tak salah bila pemerintah mendapuk Sukarno sebagai Bapak Seni Modern Indonesia.
Setelah Presiden Sukarno dilengserkan Soeharto, tak satu pun penerusnya yang menjadikan seni-budaya sebagai basis kepemimpinan demi mengangkat harkat martabat bangsa ini di hadapan masyarakat global. Nilai capaian material, entah kenapa, selalu digaungkan sebagai standar kemajuan. Padahal tanpa seni, hidup berjalan tanpa estetika. Hilang indahnya. Sayang sekali...


Dimuat di Rilis.id pada Jumat, 28/4/2017 | 02:00

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews