Foto oleh Muhammad Eko Prasetyo |
Pada Ziarah Budaya edisi keempat bersama Khatulistiwamuda
bertarikh Minggu, 5 Juni 2011, kami menyempatkan diri menyambangi dua monumen
sejarah Islam yang masih berdiri tegak di wilayah Tangerang, Banten. Pertama,
Masjid Pintu Seribu (Nurul Yaqin) di Kampung Bayur, Kelurahan Priuk Jaya,
Kecamatan Priuk, Kota Tangerang. Kedua, Masjid Cukulan Syaikh
Hasan Basri di Balaraja, Kecamatan Kresek, Kampung Cakung, Desa Kandawati. Dua
masjid itu memiliki keunikan tersendiri. Tapi hanya Masjid Pintu Seribu yang
kerap menjadi objek kunjungan para peziarah spiritual. Sedang Masjid Cukulan,
seakan tenggelam dalam hingar-bingar adab modern. Praktis tak banyak yang tahu,
bahwa masjid ini memiliki keunggulan spiritual yang bahkan tak dimiliki oleh
Masjid Demak sekali pun.
Sebelum kami paparkan secara mendetil seputar
Masjid Cukulan, kita mulai penjelajahan dari Masjid Pintu Seribu. Masjid ini
dibangun pada pertengahan 1970 dengan luas sekitar 1,1 hektare, oleh salah
seorang keturunan Raja Banten, Maulana Sultan Hasanudin, yaitu Syaikh al-Faqir
Mahdi Hasan al-Qudrâtillah al-Muqâddar. Nama Pintu Seribu yang disematkan
Syaikh al-Muqâddar pada masjid yang ia bangun bukan sembarang penamaan. Meski
terkesan simbolis karena pintu masjid ini memang hanya berjumlah 999 buah, tapi
jika kita renungkan labih dalam, barulah terkuak tabir apa yang menyelebungi
penamaan itu: 99 untuk Al-Asma' al-Husna, dan 9
berikutnya untuk Wali Songo.
Mari sama-sama kita selami. Pada awal mula
berdirinya, para zamaah yang bertandang ke masjid ini masih diperbolehkan
menjelajahi semua pintu itu hingga kemudian menemukan jalan keluar
masing-masing. Untuk hal ini, Anda bisa membayangkan sebuah taman labirin yang
dibangun oleh Raja Louis IV di Prancis untuk memudahkan pemahaman. Tapi entah
karena alasan apa, tradisi itu sudah tak lagi bisa dilakukan saat ini. Sekarang
pihak pengelola masjid sudah menyiapkan beberapa orang pemandu—itu juga bukan
untuk melihat-merasakan bagaimana menariknya menjelajahi ratusan pintu itu satu demi satu. Melainkan hanya
menjadi semacam pemandu “alam kubur” yang lebih banyak memberi ancaman kepada
para zamaah yang berniat masuk dan di dudukkan bersamaan di Ruang Tasbih, dalam
kondisi gelap gulita.
Sebelum dikecewakan oleh pihak pengurus masjid,
kami sudah membayangkan bagaimana menarik dan menantangnya spirit yang dimiliki
masjid ini. Dari dalam pintu masuk saja, aura mistikal itu sudah bisa kami
rasakan. Bagi Anda penggemar nalar yang ketat, silah temukan jawaban macam mana
datangnya angin sejuk yang berembus semilir dari dalam ruangan masjid yang
ternyata ketika dimasuki berhawa pengap, lembab, sempit, dan menghimpit. Bahkan
jika penglihatan tak dimaksimalkan, kepala kita bisa membentur tembok tebal
yang berada di atas kepala. Untuk hal ini, kami takkan mendebat apapun jawaban kalian.
Karena pengalaman spiritual, sebagaimana yang diamini oleh psikolog
Transpersonal Amerika, William James, berlaku secara personal dan impersonal.
Masing-masing kita akan mendapatkan pengalaman berbeda terkait jenis laku batin
apa yang sedang ditekuni.
Meski beranjak pergi dengan sedikit kecewa,
tapi kami meyakini bahwa enerji besar dari masjid ini bakal terus menyedot
siapa pun Muslim Indonesia untuk datang ke sini. Banyaknya kunjungan peziarah
pada hari itu, setidaknya cukup menjadi bukti betapa daya hisap spiritual
masjid ini memang luarbiasa besar. Perjalanan pun kami lanjutkan menuju arah
barat, ke Masjid Cukulan. Berdasar penuturan kuncen, Pak Achmad, masjid di Desa
Kandawati ini, sejatinya adalah sebuah “segitiga imajiner.” Masingmasing di tiap
sudutnya berdiri sebuah masjid yang dibangun oleh tiga guru besar pada saat
itu. Semua bermula dari Syaikh Cirewulung, Cirebon. Ia memiliki tiga orang
murid yang bernama, Hasyari bin Pangeran Kenyep Cirebon, Syaikh Astari bin Haji
Iskaq, dan Syaikh Hasan Basri bin Waliullah Ki Mahmud.
Dari ketiga murid Syaikh Cirewulung itu, Syaikh
Hasan Basri yang kemudian jauh lebih menonjol tinimbang dua rekan
seperguruannya. Semula beliau mukim di daerah alas (hutan) Bojong. Namun karena
masih dihuni oleh sedikit penduduk, ia pun berniat untuk memindahkan lokasi
dakwahnya ke Kampung Cakung. Sehari sebelum kedatangan beliau, di cikal bakal
kampung barunya, tepat di lokasi berdiri Masjid Cukulan saat ini, ada
sekelompok anak kecil yang sedang asyik bermain sambil menendangnendang sebuah
batok kelapa. Saat petang merembang, malam menjelang, dan pagi menepati
janjinya, Syaikh Hasan Basri pun tiba di lapangan tempat anak kecil bermain
batok kelapa sehari lalu itu. Kini, di hadapannya sudah berdiri sebuah masjid
(yang ternyata adalah masjidnya sendiri di daerah Bojong). Menyaksikan
pemandangan itu, warga sekitar hanya bisa terlongonglongong, sambil mengamini
karomah yang dimiliki sang Syaikh.
Hal itulah yang jadi alasan utama kenapa masjid
ini dinamakan Cukulan. Secara etimologis, kata cukul berasal dari bahasa Jawa bercampur
Sunda, yang artinya adalah, tumbuh. Meski sukar diterima akal sehat, tapi bukti
“tumbuhnya” masjid ini dapat disaksikan langsung hingga sekarang, yaitu pada
kubahnya yang memang berbentuk seperti batok kelapa. Keyakinan warga sekitar
dengan tumbuhnya masjid itu kian
diperkuat dengan raibnya masjid Syaikh Hasan Basri yang ada di daerah Bojong.
Begitulah hikayat yang kami dapatkan dari Pak Achmad dan beberapa warga lain
yang mukim di kitaran masjid. Sejak itulah, Syaikh Hasan Basri pun memulai misi
dakwahnya dengan mengajar siapa saja yang datang padanya—termasuk Nyi Haditsah.
Seorang perawan tua dan juga seorang wali, yang kemudian merawat Masjid Cukulan
sepeninggal gurunya, Syaikh Hasan Basri.
Lantas, kapan Masjid Cukulan berdiri? Pak
Achmad yang tak begitu mahir berhitung, mengajak kami mendekati satu dari empat
tiang masjid yang berbahan dasar kayu jati. Di tiang bagian kanan belakang jika
kita menghadap mihrab, ada sebuah guritan angka Arab yang jika diterjemahkan
dalam angka Romawi, berarti 1136 H. Kalender Hijriah sekarang sudah memasuki
tahun ke 1432. Itu berarti masjid ini sudah berdiri pada 1715 M. Bila
diperhatikan secara saksama, arsitektur dan ornamen di masjid ini, juga tak
menyertakan gaya masjid yang lazim dibangun kala itu, yaitu perpaduan unsur
Tiongkok, Arab, Hindu, dan Jawa. Luas aslinya tak lebih dari 10 x 10 m². Di
dekat daun jendela yang sudah berganti, ada sembilan lubang angin (seperti
mengisyaratkan adanya Wali Songo). Sedang di tembok bagian belakang, ada empat
lubang kecil yang menurut penjelasan Pak Achmad, menjadi simbolisasi para
sahabat Nabi Muhammad Saw. Masjid kecil sederhana ini, semakin mempertegas
keimutannya dengan mihrab yang hanya setinggi 1,5 m. Sebuah bantuan ringkas
untuk memahami bagaimana perawakan dari Syaikh Hasan Basri selaku imamnya.
Mengetahui tarikh pendirian Masjid Cukulan yang
misterius-mistis itu, kami pun berdecak kagum. Betapa tidak, Syaikh Hasan Basri
dan masjid ini berdiri tegak sejajar dengan masa di mana terdapat sebuah
kerajaan besar penerus Demak dan Pajang, yaitu Mataram, yang tengah dilanda
perang saudara hingga kemudian terpecah dua pada 1830, menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Terkait dengan peran Syaikh Hasan Basri
selaku ulama, masa hidupnya jauh lebih dulu timbang seorang ulama lain
pengarang kitab fiqih Fath al-Qarîb, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi yang
terlahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi pada
pada 1230 H / 1813 M. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat
kuat. Ia juga berasal dari daerah barat Jawa, tepatnya dari Kampung Tanara,
sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten (sekarang di
Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Masjid Jami’ Syaikh
Nawawi Bantani).
Syaikh Nawawi yang hidup selama 69 tahun dan
wafat pada 25 Syawal 1314 H / 1897 M, sempat didapuk sebagai mufti dan imam
Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarrâmah, menggantikan Syaikh Khâtib
al-Minangkabawi. Dari Syaikh Nawawi inilah rantai transmisi ulama besar
Indonesia berasal. Dua diantaranya adalah Kiai Khalil Bangkalan dan Kiai Hasjim
Asj’ari pendiri Nahdlatul ‘Ulama. Saking berpengaruhnya, orientalis besar
Belanda, Snouck Hurgronje, menyematkan gelar padanya sebagai Doktor Ketuhanan.
Kalangan cerdik pandai masa itu juga menggelari beliau sebagai al-Imam
wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh
dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga
mendapat gelar yang tak tanggungtanggung, yaitu al-Sayyid
al-‘Ulama al-Hijâz
(Tokoh Ulama Hijaz: Jazirah Arab). Sementara para ulama Indonesia menggelarinya
sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia karena ada kurang lebih 100 kitab yang
telah beliau karang.
Sesuai hukum sejarah, para pecinta ilmu pasti
akan berguru pada pemilik ilmu yang sedang mumpuni di zamannya, maka bukan
tidak mungkin jika Kiai Sahal di Banten, yang menjadi guru Syaikh Nawawi,
pernah berguru pada Syaikh Hasan Basri. Sayang sekali, data sejarah yang kita
miliki tak merekam dengan baik proses pentransferan ilmu para ulama di Banten
dengan cukup baik. Padahal musykil kiranya ada seorang ulama dengan tingkat
pencapaian spiritual seperti Syaikh Hasan Basri tidak disambangi oleh
manusia-manusia cerdas di zaman itu, yang kelak menjadi guru manusia brilyan
lain macam Syaikh Nawawi. Untuk membuktikan hal ini, dibutuhkan penelitian
lanjutan—terkait dengan bentuk dan kecenderungan karya, rantai transmisi
pengetahuan, dan apa saja yang sudah ditinggalkan Syaikh Hasan Basri secara
sosial-kultural pada masyarakat Muslim di sekitar tempat ia mengajar. Bagaimana
rahasia sejarah ini kemudian bisa tersingkap, bergantung pada i’tikad kita
selaku al-warasat al-‘ulama (penerus para ulama), dan makhluk
sejarah. Keislaman kita secara Indonesia, tak cukup hanya dengan diakui. Tapi
juga dipahami, diresapi, disadari, diwujudkan. Secara spiritual dan material.
Secara baik dan sebenarbenar kebaikan. Wallahu a’lam bisshawaf. [tepianCisadane, junisebelas ‘ribusebelas]
Muhammad Eko Prasetyo |
Muhammad Eko Prasetyo/Mihrab Syaikh Hasan Basri yang tak lagi digunakan semata demi menghormati keilmuan beliau |
Muhammad Eko Prasetyo/Ruang wudhu yang dibangun di atas mataair karomah Syaikh Hasan Basri |
wow! Mudah-mudahan penelitian lebih lanjut itu terjadi.
ReplyDeletesejauh ini kami masih terus melakukan penelitian lanjutan, lanny. kalau bersedia, ayo ikutan...
ReplyDeleteEnte datengin tuh mang hasan bin haji Salim, di desa sombeng serang banten..beliau yang punya atw tau sejarahnya baik syekh ciliwulung atwpun syekh hasan basri..karna beliau adalah dzuriah dr kedua syekh tersebut.
DeleteKata siapa syekh ciliwulung dr cirebon..
ReplyDeleteDan kata siapa syekh hasan basri itu murid syekh ciliwulung?, beliau itu cucunya. Dan antara syekh hasam nasri dgn syekh astari hidupnya jauh..ga sejaman..ngawur tuh kuncen masjid
Kata siapa syekh ciliwulung dr cirebon..
DeleteDan kata siapa syekh hasan basri itu murid syekh ciliwulung?, beliau itu cucunya. Dan antara syekh hasan basri dgn syekh astari hidupnya jauh..ga sejaman..ngawur tuh kuncen masjid
Dalam silsilah Raden kenyep itu ayah dari syekh ciliwulung, dan bukan dari cirebon tp dari kerajaan sumedang larang..lagian ga ada anak raden kenyep yg namanya syekh Hasyari...hadeeh
ReplyDeletepak achmad yg ganteng, siapa bilang syekh astari murid syekh ciliwulung..ente tau sejarah ga si,dgn syekh hasan basri aja terpaut jauh krn syekh astari msh keturunan syekh hasan basri. Makanya tanya sama ahli keturunannya, jgn sm org yg cuma deket rumahnya dengan masjid cukulan.
ReplyDeleteSaran ane buat pro/kontra...
ReplyDeleteLebih baik kita tidak usah saling menyalahkan.
Toh kalo salah tinggal kita kasih tau.
Kalo ia emng tau silsilah tersebut.
Terima kasih buat yang susah payah berkorban waktunya untuk menulis sejarah ini.
Tetap semangat. & Jangan malu2 untuk bertanya... Jangan meladene Aungan orang yang hanya bisa mencemooh saja.
Tapi tidak memberikan Solusi...
Wassalammm... July Jasuke kp.cariu tobat. Deretan SPBE balaraja..
Bagi yang mau mampir Di persilahkan...
Terima kasih 🙏😊