HINGGA abad Modern semakin mengukuhkan kedigdayaannya, ternyata gairah
untuk sebuah pencarian akan tuhan, tetap tak berhenti. Karen Armstrong, antropolog
agama kawakan, kembali menggulirkan hasil penelitian terbarunya tentang tuhan
yang bertajuk, The Case for God What Religion Really Means. Mizan selaku penerbit, berada di
jalur yang benar dengan memberi terjemahan atas judul tersebut, menjadi Masa
Depan Tuhan. Sejak menerbitkan Sejarah Tuhan, dan The Great
Transformation, karya mutakhir Armstrong ini memang terkesan serius
memotret apa yang kemudian akan terjadi pada agama di kemudian hari, serta
bagaimana nasib tuhan selanjutnya? … dan kita sedang menyaksikan kematian dari
kematian Tuhan. (h. 500)
Seperti terkesan ingin menyegarkan ingatan
pembaca, Armstrong yang menyusun
penelitiannya hanya dalam dua bab ini, kembali mengulas bagaimana manusia awal
telah sedemikian rupa melakukan upaya dialektika untuk menemukan satu realitas ultim yang kini
dikenal sebagai Tuhan dalam Bab 1, dengan judul “Tuhan yang Tidak Diketahui
dari 30.000 SM - 1500 M.” Bab ini ingin membuktikan bahwa manusia telah
mengandung anasir keagamaan sejak masih di alam mitos. Bahkan jauh sebelum itu,
secara primordial. Disusul beberapa subbab lain yang juga sarat unsur
penyegaran bagi para pembaca setianya khusus karya kajian keagamaan. Hal yang
menarik adalah, apa yang dipaparkan Armstrong itu—meski sebenarnya bisa disebut
sebagai ulangan, tapi tetap terasa baru dan segar. Karyanya selalu kaya dengan
data yang telah diverifikasi-difalsifikasi dengan ribuan teks keagamaan lain,
baik primer maupun sekunder.
Dari sekian panjang uraian yang telah diterangkan
oleh Armstrong, baru pada Bab 2 yang berjudul “Tuhan Modern dari 1500
M-sekarang,” kita bisa menemukan beberapa persoalan mendasar atau yang terbaru,
terkait dengan tuhan sebagai objek kajiannya selama ini. Seperti dapat disimak
pada bagian pembuka subbab “Kematian Tuhan.” Pada 1965, The Secular City,
buku terlaris karya teolog Amerika, Harvey Cox, menyatakan bahwa Tuhan sudah
mati, dan bahwa sejak saat itu agama harus berpusat pada manusia, bukan pada ketuhanan
yang transenden; jika kekristenan gagal menyerap nilai-nilai baru ini,
gereja-gereja akan binasa. (h. 462)
Apa yang terjadi di
Amerika itu, sebagaimana yang ditulis Cox dalam bukunya, tak lepas dari andil
para tokoh ateisme klasik Barat yang dimulai oleh Frederick Feuerbach, Karl
Marx, Nietzsche, Sigmund Freud, dan diteruskan oleh tokoh-tokoh Barat modern
sedari biolog molekuler, Richard Dawkins, Christopher Hitcens, dan Sam Harris.
Arsmtrong banyak menyoroti berbagai argumentasi yang digunakan para tokoh di
atas yang dengan jumawa mengatakan bahwa tak ada lagi ruang yang tersisa untuk
tuhan, lalu melakukan kritisisasi dengan penalaran interdisipliner yang ia
kuasai dengan baik.
Tak hanya menyoroti Kristen di Eropa yang memang
sedang kecewa berat dengan intitusi Gereja, Armstrong juga dengan cukup baik
membingkai bagaimana Islam misalnya, sebagai agama terakhir Ibrahimi,
digambarkan oleh Muhammad Abduh dengan penuh kepiluan, "Di Paris saya
melihat Islam, tapi tidak ada orang Muslim; di Mesir saya melihat Muslim, tapi
tidak ada Islam" (h. 472). Ada juga Imam Khomaeni yang dengan garang
berusaha mengibarkan bendera Teologi Pembebasan untuk umat yang terbelenggu
akibat tekanan dahsyat dari Shah Iran selama berabad-abad. Semua narasi besar
yang mencuat adalah soal antipati, luka, romantisme buta, dan utopia belaka.
Agama kian kering untuk dijadikan sebagai mataair kehidupan. Setidaknya begitu
yang kemudian diyakini para saintis.
Paul Davies yang kosmolog, sebagai misal, lebih
memercayai daya jelajah rasionya tinimbang apa yang kemudian dikabarkan Kitab
Suci Agama-Agama. Rasio, bagi Davies, menyimpan sekian banyak misteri yang
teramat sulit diungkap. Bahkan mungkin takkan pernah bisa disibak hingga kapan
pun. Paul lebih menyenangi pertanyaan-pertanyaan rasional yang purba seperti, “Untuk
apa kita ada? Kenapa manusia bisa terus berkembang sampai seperti sekarang? Lalu
apa yang dirahasiakan semesta raya ini kepada kita?” Jika ateisme modern adalah
penolakan terhadap tuhan modern, batas modernitas membukakan kemungkinan lain,
bukannya menghidupkan kembali teisme pramodern, melainkan peluang bagi sesuatu yang di luar teisme maupun
ateisme modernitas. (h. 503)
Jika Davies lebih memilih mengembangkan kemampuan
nalarnya, maka tidak untuk Jacques Derrida. Filsuf posmodern ini ternyata
memiliki keunggulan lain yang jarang sekali teramati. Armstrong berhasil
menjelaskan sisi lain dari konsep difference Derrida yang selama ini
kerap diatribusikan pada soal-soal kebahasaan belaka a la Saussurian.
Menurut Armstrong, Derrida sedikit banyak mengikuti gaya penelaahan Meister
Eckhart—teolog Kristen kenamaan yang kini dikenal sebagai salahsatu Mpu dari
kalangan Perennial. Menurut Derrida, “... différance bukanlah sebuah
kata maupun konsep, melainkan kemungkinan kuasi-transendental—sebuah
“perbedaan” atau keserbalainan”—yang terletak di dalam kata atau ide seperti
“tuhan.” Bagi Eckhart, “différance ini adalah Tuhan di luar tuhan,
sebuah landasan metafisik baru yang tak dikenal, tapi tidak dapat dipisahkan
dari diri manusia.” (h. 496-497).
Agama memerlukan kenosis, “kapabilitas
negatif,” kepasifan yang bijak,” dan hati yang “mengamati dan menerima (h. 507).”
Para sarjana agama mengenal kepasifan bijak itu sebagai Teologi Apofatik. Jenis
teologi ini diduga bermula dari Dionysius orang Areopagus, yang menurut
penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad
kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Bagi Dionysius, satu-satunya jalan
mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak mengetahui," menyeberang di
luar konsep, di luar pikiran rasional dan menerima sinar "kegelapan
Ilahi." Mistikus ini menyerukan agar sang pencari tuhan melepaskan diri
dari persepsi, imajinasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, dan segala
sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju tuhan, agar sang
pencari memasuki "kegelapan Ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan
"mengetahui dengan tidak mengetahui (the theology of unknowing). Apa
yang digagas oleh Dionysisus itu kemudian dilanjutkan oleh Maximus Sang
"Confessor," Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura,
Dante, dan tertulis dengan baik dalam The Cloud of the Unknowing
(anonim).
Jika pun ingin mencari apa yang menjadi
kekurangan dari karya ini adalah, Armstrong tak menjelaskan secara teperinci
apa dan bagaimana kemudian Teologi Apofatik itu mesti digali-dikaryakan. Karena
ada begitu banyak teks kuno agama yang mengandungi unsur apofatik itu, dan
musykil kiranya jika Amstrong tak mengetahuinya. Seperti bahasa apofatisme yang
jauh lebih tua dari ujaran Dionysius yang dapat ditemukan dalam satu bagian Upanishad:
"Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang
mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia
mengetahui-Nya, tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui,
tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena).
Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan
negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya." Atau bisa
jadi Armstrong sengaja membuat analisanya mengambang, demi memberi penegasan
bahwa memang tak ada yang selesai soal ketuhanan. Kecuali bahwa kita sadar, Dia
mengatasi segalanya. Seperti ucapan Siddharta
Gautama yang dikutip Armstrong pada halaman pamungkas (523), “Ingatlah aku,
sebagai seorang yang terjaga.” []
No comments:
Post a Comment