Peperangan baru saja usai. Asap mesiu
serta sisa letusan meriam mengepul tebal, sebelum diterbangkan angin dari
utara. Mayat-mayat para prajurit Mataram dan serdadu Belanda bergelimpangan di
tiap sudut kota berdarah itu. Air Kali Ciliwung memerah disirami luka. Lengkap
dengan sekian pilu dan tangis yang mengatas-meninggi. Sementara sekawanan gagak
sudah mulai mengintai mangsanya yang bergelempangan di bawah mereka, seorang
lelaki muda, kurus lagi jangkung (kata ini memang berasal dari namanya), yang datang
dari Kota Hoorn, Belanda, sedang mengagumi kemenangan besarnya hari itu di tepi
pantai Laut Jawa. Tak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Ya, kota bandar yang
masih bernama Jayakarta itu baru saja ia taklukkan pada 30 Mei 1619. Oleh
karena itu pula ia memberanikan diri mengubah nama kota menjadi Batavia, demi
mengingat kampung halamannya nun di Bawah Angin sana, Batavieren. Lelaki itu
adalah, Jan Pieterszoon Coen.
JP Coen yang lahir di Hoorn
pada 1587 silam, lantas memerintahkan pembangunan kota yang baru saja ia
makzulkan dari Kerajaan Demak. Sesuai nama yang dilekatkan Falatehan kepada
Jayakarta—yang secara harfiah berarti kemenangan, kota itu memang baru saja
memberi kemenangan lain kepada Coen. Dari sinilah ia beroleh hak istimewa
menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda. Sekaligus dengan beringas merampas
hak hidup ribuan orang Nusantara yang mati trengginas di bawah keputusan
bengisnya—terutama mereka yang ada di Pulau Banda Neira.
Keterangan itu ada pada
bagian bawah patung Coen yang dipasang oleh Pemerintah Kotapraja Hoorn di
Belanda:
Jan Pieterszoon Coen
Saudagar, Direktur Jenderal dan Gubernur Jenderal
Verenigde Oostindische Compagnie/VOC (Serikat Dagang Hindia-Timur). Perancang
kesuksesan imperium dagang VOC di Asia. Pendiri kota Batavia, sekarang Jakarta.
Dikagumi sebagai penata yang efektif dan visioner. Namun
juga dikritisi atas tindakan kekerasannya untuk mendapatkan monopoli dagang di
Nusantara. Melaksanakan ekspedisi hukuman pada 1621 terhadap satu dari
Kepulauan Banda, sebab penduduknya melanggar larangan VOC menjual pala kepada
pedagang Inggris. Ribuan warga Banda tewas dalam ekspedisi ini, sisa yang hidup
dideportasi ke Batavia.
Demikianlah.
Riwayat tentang Coen memang tiada habis. Ia dipuja bak pahlawan besar di
Belanda sana. Di sini, negeri yang jadi tanah-tumpah darah kita, ia nistakan
begitu saja. Meski Jakarta dirancang-bangun olehnya, masih teramat banyak orang
yang tidak setuju dengan tingkah polahnya sebagai manusia. Jika membunuh
seorang manusia sama dengan membunuh semua manusia di bumi, bagaimana pula
jadinya jika yang dibunuh ribuan orang? Memang, ada banyak Coen lain di luar
sana. Tapi kita memang tidak sedang membicarakan mereka. Tidak.
Hal
menarik dari Coen adalah, keterkaitannya yang erat dengan sebuah kota. Antara
Hoorn dengan Batavia. Ia merindukan sebuah ruang untuk menjejakkan masa
lalunya. Ia membutuhkan penanda sebagai bukti bahwa ia pernah ada. Ia lahir.
Tumbuh. Besar dan menjadi. Dengan alasan sederhana & sangat primordial
inilah, Coen membangun Batavia. Jengkal demi jengkal. Ia membangun berbekal
kecintaannya pada masa lalu. Pada kebanggaan & kejayaan.
Kota dari Masa Lalu
Batavia yang kini menjelma Jakarta,
sudah berumur nyaris 18 abad. Sejak digunakan pada Abad ke-3 oleh Kerajaan
Dayeuh Pakuan Pajajaran, kota ini telah merekam begitu banyak riwayat manusia
yang hidup di dalamnya. Ia membawa setumpuk masa lalu yang pindah ke dalam
buku. Ia mencetak kenangan itu dalam rambatan nada di tiap lagu perjuangan juga
nostalgia. Ia direkam oleh para perupa terbaik macam Raden Saleh dalam sebuah
guratan kanvas yang sarat makna. Jakarta, tetap tekun memintal nasibnya sendiri—yang
ia bawa dari masa nun jauh di belakang sana.
Jakarta
memang sudah berdandan. Berkali-kali dipoles, juga dipercantik parasnya. Demi
memikat siapa pun yang ingin beradu nasib di dalamnya. Namun kota ini, kota
yang sama kita cintai ini, ternyata lebih kejam dari ibunya ibu tiri. Warga
Betawi—sebutan untuk kata Batavia dari warga asli, pelahan tersisih hingga ke
tepi. Tercerabut hak-haknya. Terkadang bukan karena kesalahan siapa pun, tapi
karena kesalahan sendiri yang tak menghargai semua yang bukan mereka. Padahal zaman
telah berubah. Manusia berkembang kian rumit. Seharusnya pula diterapkan pola
bermasyarakat yang baru dan lebih revolusioner.
Menjelang
Juli nanti, warga Jakarta bakal memilih calon pemimpin mereka yang baru. Ada
pasangan Faisal Basrie-Biem Benjamin; Alex Noerdin-Nono Sumpono; Hidayat Nur
Wahid-Didik J. Rachbini, Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria, Fauzi Bowo
(Foke: pejabat bertahan)-Nachrowi Ramli, dan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama.
Semua pemilik nama di atas jelas bukan orang sembarangan. Meski untuk
rekam-jejak masing-masing mereka, kita bisa menilainya dengan gamblang. Sejelas
matahari yang terbit di timur sana.
Berdasar
riset sederhana yang kami lakukan akhir-akhir ini, banyak warga asli Jakarta
(Betawi), yang masih anti dengan mereka yang bukan Betawi, dan tetap berharap
Foke bisa lanjut ke periode dua kekuasaannya. Padahal, Foke jelas-jelas gagal
mengurusi Jakarta yang kian ringkih ini. Belum lagi ditambah jaringan
korporasinya yang makin menggurita di Jakarta. Menjadikan Jakarta seperti kota
tak bertuan. Para mafia yang jadi bagian kecil dari shadow state (negara bayangan), semakin merajalela merenggut banyak
hal dari kita: kebahagiaan, ketenangan, masa depan, kasih-sayang, dan cinta. Semua
yang mengatasnamakan politik adalah teman. Di luar itu, silahkan minggir ke
laut.
Saat
ini saja, para calon gubernur itu yang notabene telah menjadi tokoh di
masyarakat, mulai beralih profesi menjadi tukang obat atau berkeras menjadi
pesulap. Bahkan mungkin ada yang tertarik jadi pelawak. Selaiknya tukang obat yang
beroperasi di tepi jalan, nyaris tak ada yang betul dari apa yang mereka
ucapkan. Semua tipu daya belaka. Kita tak butuh itu. Jakarta butuh tabib. Bahkan
seorang mpu. Kota kita sakit parah. Akut nampaknya. Di sini, siapa yang semula
putih bisa jadi hitam. Pun sebaliknya.
Jauh
sebelum pemilu digelar, Foke sudah mulai sibuk menggelontorkan milyaran dana
sumpalan untuk pemilih loyalnya di bawah sebuah nama (FB) Forum Bersama. Dari sini
uang panas itu mengalir, yang sialnya malah ke majelis ta’lim, sekolah, masjid.
Orang ini paham betul epistemic community
macam apa yang berkembang di Jakarta kita. Setali tiga uang dengan Foke. Banyak
pula masyarakat Jakarta yang sibuk menilai calon pemimpinnya berdasar besaran
materi yang bisa mereka beri. Bukan apa yang bisa mereka lakukan nanti.
Foke
memang berhasil sebagai gubernur. Berhasil menambah debit air yang akan menenggelamkan
Jakarta. Berhasil menebar teror dengan sekian kerusuhan demonstrasi anti-bbm
dan sebagainya. Berhasil memacetkan jalanan dengan membuka kran kredit murah
untuk kendaraan roda dua dan empat. Berhasil memperkaya diri. Berhasil menumbuhkan
stress tingkat tinggi bagi warganya. Sehingga hampir di tiap penjuru kota,
banyak keluarga hidup dengan ketegangan, kekhawatiran, dendam kesumat, amarah, sumpah
serapah.
Sementara
bangunan pencakar langit tumbuh makin tinggi, manusia yang ada di kota ini,
kian terpuruk. Tersaruk-saruk dalam himpitan beban ekonomi. Para orangtua mulai
gemar membunuh buah hatinya sendiri. Suami menyelingkuhi suami tetangga. Istri ditiduri
mertua. Anak-anak menciptakan video game
baru di dunia nyata, dengan membantai teman sepermainannya. Para kiyai, sibuk
memproduksi fatwa halal di balik gelontoran uang jutaan dollar. Inilah wajah
kita bersama. Wajah Jakarta yang merapuh. Memiuh.
Andai
warga Jakarta mau sedikit lebih bijak membuka hati dan pikiran mereka,
sejatinya akan terlihat dengan jelas siapa yang pantas memimpin kota prestisius
ini. Kita tak lagi butuh mereka yang mengumbar janji dan busa. Tapi mereka yang
sanggup bekerja secara nyata dan tepat guna. Siapa dan darimana dia berasal,
bukan lagi soal berarti. Kota ini, seperti kota lain di belahan dunia mana pun,
adalah milik siapa saja yang mau mencintai-menghidupinya. Karena kota, punya
imajinasinya sendiri. Meski secara struktural, sebuah kota takkan pernah bisa
berdiri tanpa sokongan dari desa. Ya, desa dan kota adalah episentrum
keberangkatan kita. Lengkap dengan latar epistemologi kita sendiri-sendiri.
Membangun
kota tak ubahnya menata sebuah adab. Di kota, hal yang primordial seolah
bertahan padahal sumir. Tak satu pun kita bisa menjadi individu yang utuh
kecuali saling pengaruh-memengaruhi. Ada gaya tarik-menarik yang laten. Karena
di kota, semua berjalan bersicepat. Siapa yang lamban bergerak, alamat
tertinggal di gerbong sejarah. Ia mungkin akan tercatat, tapi lebih mungkin
terbuang. Itulah dua resiko nyata yang sekarang sedang kita geluti. Jakarta
kini, gagal memanusiakan manusia menjadi pemuncak penciptaan tuhan. Jakarta
lari tunggang-langgang mengejar dirinya sendiri. Kita, terbirit-birit menguntit
laju Jakarta yang entah kenapa, tak lebih baik dengan yang diimajinasikan JP
Coen dulu: sebuah kota, yang mejadi Ratu di Negeri Atas Angin. [jagakarsa, 16042012]
No comments:
Post a Comment