Bandara Ahmad Yani masih lengang di Rabu pagi itu, 4 April
2012. Bersama seorang sahabat, Bapak Deden Ridwan, kami tiba dari Jakarta. Di
ruang tunggu, telah menanti dua orang kawan baru yang telah kuhubungi jeda
waktu Isya, sehari sebelumnya. Mereka adalah, Mas Edhie Prayitno, yang bekerja
untuk Elshinta dan Al-Jazeera, dan Mas Nurcholish yang partisan Partai Keadilan
Sejahtera. Keduanya benar-benar baru kukenal melalui jaringan pertemanan dari
seorang kawan lain di Jakarta, Yon Thayrun, mantan Sekjen AJI pada medio 200o-2002.
Dari
bandara kami bergegas menuju Rumah Makan Pak Man, untuk menyantap soto ayam
khas Semarang—selain Soto Bangkong. Dua menu kuliner ini jadi santapan wajib
bagi siapa saja penggila kuliner yang berkunjung ke kota kuno yang pernah
disinggahi oleh Laksamana Cheng Ho ini. Usai mengisi perut, kami pun bergegas
menuju sebuah kota kecil yang sejuk, di kaki Gunung Merbabu, Salatiga.
Sepanjang jalan, kami sibuk berbagi cerita seputar dunia jurnalistik, politik,
dan penerbitan. Sementara di saat bersamaan, aku masih belum mengetahui persis
alamat tempat yang akan kami tuju. Modal satu-satunya yang kami punya adalah,
pertemanan yang masih seumur jagung saja. Melalui Mas Edhie, aku beroleh kabar
bahwa Mas Nurcholish pernah menyambangi tempat itu.
Satu jam
berselang, kami pun tiba di bundaran kuno yang sejarahnya dimulai pada masa
Wali Songo dulu. Karena latar cerita yang berkaitan dengan tiga kesalahan yang
terjadi di tempat itulah, maka kini sejarah menamainya dengan Salatiga. Asal mula
kota ini sendiri bermula dari Prasasti Plumpungan yang bertarikh 24 Juli 750
Masehi, sebagai daerah swatantra
(perdikan: bebas pajak) pemberian Raja Bhanu. Dari bundaran kami mengambil
jalan ke arah timur. Hingga kemudian tiba di sebuah desa kecil—tepatnya kampung
asri, Candiwesi. Mas Nurcholish yang menjadi penunjuk jalan satu-satunya bagi
kami, mulai mengaktifkan lagi ingatannya. Sambil merambati jalan kecil, mata
kami segera mencari sebuah rumah besar bertingkat dua di sisi kiri jalan. Begitu
petunjuk yang diberi Mas Nurcholish.
Tak lama kemudian, kami pun tiba di lokasi.
Setelah memarkir mobill di halaman masjid yang berada di sisi barat rumah yang
dituju, kami beranjak menuju ke teras depan rumah itu. Mas Nurcholish segera
berinisiatif mengetuk pintu rumah. Namun takdir berkata lain. Tak ada suara
yang menyahut dari dalam. Padahal, si empunya rumah baru saja bertukar pesan
padaku dan juga Pak Deden, melalui Twitter. Aneh. Padahal, kami bertekad
berangkat dari Jakarta, jelas karena undangan beliau. Sebuah undangan basa-basi
yang meluncur begitu saja. Tapi begitulah hidup ini berjalan. Apa pun
ceritanya, kami sudah tiba di lokasi. Setengah jam menunggu tanpa kejelasan, tentu
bukan soal mudah. Apalagi kami datang dari jarak yang merentang ratusan kilometer.
Benar-benar perjalanan yang menguji mental dan kesabaran.
Setelah menunggu hampir setengah jam, seketika
gagang pintu rumah itu bergerak. Mata kami langsung tertuju ke arah pintu.
Seolah dari dalamnya akan keluar seorang penyelamat yang sudah ditunggu
kedatangannya selama bertahun-tahun. Dari pintu yang hanya terbuka sedikit
itulah, kamudian keluar seorang lelaki berperawakan sedang, gemuk, berkulit
hitam manis. Tinggi badannya rerata orang Indonesia kebanyakan, 160 cm. Dengan
rambut klimis, sebuah kacamata, brewok yang baru saja tumbuh, serta kaos hitam
bertuliskan, “Di Atas Sajadah Cinta” yang ia kenakan, kami segera mengenali
sosoknya. Dialah penulis kondang itu, Habiburahman El-Shirazy.
Sejak delapan tahun silam, Kang Abik, begitu ia
biasa disapa oleh orang kebanyakan, telah mencatatkan dirinya sebagai penulis
papan atas negeri ini dengan novelnya, Ayat-Ayat Cinta (2004). Bersama Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Ayat-Ayat Cinta masuk jajaran novel yang
berstatus mega best seller. Terang
saja. Bertahun-tahun beredar di pasar, bahkan hingga di tahun 2009 saja, angka
penjualannya terus melonjak hingga mencapai kisaran satu juta eksemplar.
Benar-benar sebuah novel yang menggemparkan. Sekaligus membawa berkah tiada
tara bagi Kang Abik selaku penulisnya.
Ayat-Ayat
Cinta tak berhenti hanya di situ.
Sebuah rumah film MD Pictures segera mengadaptasinya ke layar lebar, yang setali
tiga uang dengan novelnya. Publik menyambut film ini dengan gegap-gempita.
Seolah inilah film abad ini untuk Indonesia. Hampir di setiap bioskop, semua
orang berjubelan untuk menyaksikan Aisyah dan Fahri—selaku tokoh utama dalam
novel mewujud. Tak hanya itu. Di tahun-tahun peredarannya, novel dan film
Ayat-Ayat Cinta adalah rujukan tren untuk banyak hal dalam hidup orang
Indonesia kiwari. Terutama yang berkenaan dengan soal cinta, dan beragama.
Itulah dua tema besar nan sederhana, yang jadi kekuatan Kang Abik. Ia terus
mengolah dua tema itu hingga di novel-novel berikutnya—yang juga tetap laris di
pasaran. Kini, Kang Abik tak hanya dikenal sebagai novelis. Ia telah merambah
jalan baru dalam hidupnya sebagai penulis skenario film dan sinetron. Juga
sebagai sutradara dari semua novelnya yang kemudian difilmkan.
Penulis
Agraris
Meski telah mencapai karir di tingkat yang begitu prestise,
Kang Abik tetap setia pada jati dirinya sebagai orang kampung. Bersama
keluarganya, ia tetap memilih alam pedesaan sebagai lokus utamanya menjalani
kehidupan yang kian pelik ini. Salatiga, merupakan sebuah tempat yang
benar-benar tepat untuk menggambarkan dirinya dalam sisi lain. Di kota kecil
ini, ada perpaduan unik antara modernitas, kelambanan, kesederhanaan, masa
lalu, cinta, kesetiaan, dan pedesaan. Kang Abik, telah menjelma menjadi “petani”
paling ulung di kota ini.
Ia bertani berdasar kemampuannya menguntai
huruf-huruf menjadi kata, diksi, kalimat, metafor, analogi, petuah, kisah,
duka, bahagia, dan pesona. Di Salatiga, ia menyemai sawahnya dengan benih yang
baik. Dengan ketekunan tinggi seorang petani penanam padi. Ia mengairi sawahnya
dengan konflik abadi kemanusiaan. Konflik yang selalu berhulu-hilir pada satu
soal yang sama, cinta. Ia juga membajak sawahnya dengan semangat mencintai
siapa saja dalam tokohnya. Ia mencintai manusia. Karena itulah kesan yang bisa
kita tangkap dalam semua karya novelnya. Kang Abik juga menanami satu per satu
kata-kata ke dalam novelnya, dengan spirit yang sama dengan para petani saat
turun ke sawah: ibadah pada hidup.
Selain mereka yang mengikrarkan diri menjadi
penulis sampai tetes darah terakhir, setiap kita berhak dan mampu menjadi
petani kata yang baik dan berdayaguna. Ada banyak kata yang meluncur begitu
saja dari mulut ini, yang sebagian besarnya menghambur tak terkendali, atau
ditata sedemikian rupa demi mendapat kesan mendalam untuk setiap detil
kejadian. Tapi sayang, kategori orang yang mau menghitung hingga tingkat
akurasi sebagus penulis, memang tidak banyak. Maka tak ayal, ada sekian
banyak petani kata di negeri ini yang gagal panen karena menebar benih yang
tidak dipersiapkan secara matang. Sembarang.
Andai kita
mau bertimbang lebih dalam, tenang, penuh perhitungan, bukan tidak mungkin
muncul karya-karya bernas yang memang layak diunggulkan di setiap jenre
tulisan. Negeri ini jelas kekurangan petani kata yang baik. Petani kata yang
ada kini, nyaris menjadi rebutan di banyak penerbit. Sedang enerji yang mereka
miliki jelas terbatas. Bayangkan betapa semaraknya suasana jika ada begitu
banyak petani kata yang muncul saat ini? Kita tentu memiliki ragam bacaan yang sehat,
karena secara kreatif, mereka lebih dulu beradu cerdas di meja editor penerbitan.
Lulus sensor baru dipublikasikan.
Selaiknya petani, para penulis adalah tipe
manusia yang diberi wewenang istimewa oleh tuhan untuk menciptakan dunia mikro.
Jagat alit yang mereka reka dengan sadar dan penuh ketekunan. Satu demi satu
huruf itu berjalin kelindan menjadi sebuah narasi yang kemudian membesar
menjadi gagasan. Jadi hidup yang seolah ada. Pernah terjadi. Nun di tempat yang
antah-berantah. Dari rekaan alam imajinal itulah, mereka hidup, dan lucunya dihidupi
tokoh-tokoh rekaan itu. Lalu kita, memetik cerita itu setangkai demi setangkai,
untuk dijadikan pemantik semangat, penyelia, pelipur lara, peredam amarah, dan
tentu, menggendam masa depan. [jagakarsa,
09042012]
keren...
ReplyDelete