BANGSA besar ini diberkahi Allah dengan Juni yang lekat dengan Sapardi dan Soekarno yang menyambungkan lidah rakyat Indonesia. Beruntung sekali kita dilahirkan di tanah air mulia ini. Kelahiran Bung Karno dan jasa besarnya, jadi bukti absah bahwa nikmat Allah mana lagi yang mau kita sangkal.
Maka bila ada seorang atau segelintir dari penduduk Indonesia yang nyinyir tentang tokoh besar pendiri bangsa itu, bisa diduga mereka tuna rasa, tak tahu balas budi, lupa berterimakasih, dan tak tahu diri. Begini alasan sederhana yang akan kami ajukan.
Bung Karno lahir dari orangtua yang tulen Nusantara. Ia tumbuh gelisah. Besar di Rumah Peneleh di bawah asuhan bapak bangsa, HOS Cokroaminoto.
Gelisahnya bertumbuh jadi semangat bertarung melawan bangsa rambut jagung, yang menindas bangsanya seenak jidat mereka. Usia duapuluhan ia harus merelakan diri dibuang ke pulau seberang, nun di Ende sana. Lanjut ke Bengkulu, dan terakhir di punggung Gunung Toba.
Dua pertiga hidup Bung Karno digembleng di penjara. Melulu di bawah tekanan. Meski manusia bermental lebih tebal dari baja itu tak patah bingkas. Ia terus bertahan. Elan vitalnya tetap tegak lurus ke langit. Ke arah matahari. Sebab ia memang putra sang fajar.
Ia tak takut mati. Tak menyerah meski hak hidupnya dikebiri. Bung Karno kian gagah. Ia sadar betul bahwa tuhan menyimpan rahasia besar dalam kepalan tangannya.
Sampai di sini, adakah di antara begundal nyinyir yang coba meluruskan sejarah itu--yang sejatinya tak ia saksikan dan alami, dengan arogansi membabi buta-tuli, pernah mengalami hidup sepahit dan semenggetirkan Bung Karno?
Sudah berapa banyak yang telah mereka korbankan? Kami memang tak seberapa berkorban bagi orang banyak. Tapi setidaknya, kami tahu, utang kami teramat banyak pada anak Idayu Nyoman Rai itu.
Jika bukan kerana pengorbanan yang sedemikian besar, tak mungkin Sukarni dan kawanannya memaksa Bung Karno dan bukan Agus Salim, Tan Malaka, atau Yamin, agar mengumandangkan proklamasi negara-bangsa yang baru. Indonesia.
Sambil menahan demam malaria, ia menyusun teks proklamasi. "Akte resmi" sebagai data diri. Jumat paginya pukul 10, pada 17 Agustus 1945,
Soekarno-Hatta tampil di hadapan para pemuda dan mewakili bangsanya demi melahirkan sebuah gagasan bernama Indonesia. Ingat, Indonesia. Bukan Nusantara. Mereka memang pantas beroleh kehormatan setinggi itu.
"Bangsa Indonesia adalah rahim, dan Soekarno adalah Manusia Indonesia Pertama," demikian wejang Gus Candra Malik pada kami dan Ir Subendro (jadi Subendra lantaran ia mukim di tatar Sunda).
Soekarno juga terkena label berjela-jela. Itu wajar. Sangat. Semua yang kemudian lahir dari rahim bangsa Indonesia, berhak menafsir diri dan hidupnya sedemikian rupa. Asal tak melupakan sebuah asas, bahwa Bung Karno juga manusia biasa.
Ia bergaul dengan siapa saja. Sedari bromocorah hingga intelektual paling cerah. Bergabung ke barisan kiri, bergandengan tangan dengan golongan kanan. Namun ia bukan keduanya. Ia tetap Bung Karno. Ia menaungi mereka semua. Begitulah resiko manusia pertama. Bapak jutaan manusia.
Sudut pandang yang kami tilik itu, niscaya sulit dibantah. Sukar didebat. Bung Karno adalah leluhur bangsa Indonesia. Induk semang kita. Selain nama besar dan ketokohannya dalam skala dunia, ia juga sangat manusiawi.
Maka tak heran, usai membacakan teks proklamasi yang tak sempat direkam dan malah dibuang kertasnya itu, Bung Karno yang kelaparan sejak menjabat presiden Republik Indonesia pertama, menyusuri jalan ke arah barat dari rumahnya.
Di perempatan jalan Menteng ia lantas berhenti. Lalu memesan sate limapuluh tusuk dengan segenap percaya diri sebagai bapak bangsa.
Ya, itulah perintah pertama presiden kita yang perdana, pada anaknya yang sedang gembira ria dengan gegap gempita pekik Merdeka...! Merdeka...! Merdeka!
Omah Mulih, 9 Sya'ban 1437 H
2016 | 13.55 WIB
No comments:
Post a Comment