Menerungku Masa Lalu dalam Sepatu


“Bagi orang lain, kemiskinan adalah penderitaan, tapi bagi kami, adalah kesenangan” (h, 360). Nampaknya, itulah kalimat pamungkas dari novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, yang baru saja dirilis oleh Penerbit Noura Books pada Minggu, 20 Mei 2012 di Surabaya. Kenapa Surabaya? Karena dari kota pahlawan itulah sumber novel ini bermula: Dahlan Iskan. Tokoh nasional yang sedang jadi sorotan publik ikhwal reputasi dan integritasnya ini, memang patut beroleh kehormatan untuk ditulisi hidupnya. Sebab hidupnya adalah juga tulisan yang mengesankan. Hidup yang sudah sedari awal menjadi novel dengan racikan bumbu terbaik dari juru resep mumpuni.

Di tengah riuh-rendah novel popular yang terbit silih-berganti sepanjang Abad 21 di Indonesia, akhirnya lahir juga novel dengan keberanian memotret sebuah peristiwa besar yang telah menjadi bagian dari sejarah dunia: G30S PKI. Latar kisah yang dipilih Khrisna ini jadi modal awal kemunculan sebuah novel ke ranah publik. Pramoedya Ananta Toer dengan Bumi Manusia dan Ahmad Tohari dengan Ronggeng Dukuh Paruk, jadi contoh terdahulu yang dengan sangat baik mengolah isu tersebut. Sayang, Khrisna seolah tenggelam dalam kebesaran nama Dahlan Iskan yang sedang menjadi objek estetikanya. Peristiwa berdarah itu pelahan lindap seiring cerita bergulir bab demi bab. Terutama ketika pembaca sudah mulai disuguhi batas antara fakta-fiksi. Satu tantangan terberat memang, bagi seorang novelis, saat berhadapan dengan subjek yang lebih besar dari dirinya. Itu sudah dimulai dengan penggunaan prolog di bagian awal novel dan epilog sebagai penutupnya. Selain memang tidak lazim, pilihan menggunakan prolog/epilog jadi mengaburkan konsep novel yang meminjam alur kilas balik.

Menyoal Sepatu dan Meretas Jalan Baru
Novel bernilai edukasi, agama, dan spirit kehidupan a la masyarakat desa ini, dihidupi plotnya oleh empat orang mandor kebun tebu, Arif, Kadir, Maryati, Komariyah, Imran, Zain, Aisha, Dahlan, serta kedua orangtuanya. Dari tokoh-tokoh kunci itulah kita jadi tahu bagaimana Dahlan kecil menempa diri-dibina hidup dengan begitu keras. Bahkan teramat getir. Kalimat kunci yang kami sertakan di bagian awal resensi ini, seolah pencapaian mengesankan Dahlan Iskan atas hidupnya yang bergelimang luka, duka, dan kesedihan mendalam. Semua, dimulai dari riwayat tentang sepatu.

Perkara sepatu itulah yang kemudian menjebak Khrisna ke dalam sengkarut gagasan. Antara memilah kehidupan Dahlan di luar soal sepatu dan tentu segala hidupnya yang berkenaan dengan sepatu. Sebelum Bab 23 yang bertajuk “Tragedi Sepatu Bekas” (h, 252), tak tersedia dengan baik apa alasan paling mendasar kenapa Dahlan begitu menginginkan sepatu. Dengan Sepatu Dahlan sebagai judul besar, penempatan bab ini jadi terasa bertele-tele. Karena di bab sebelumnya, kisah tentang sepatu hanya bersifat parsial. Sekadar anggitan demi menggelindingnya sebuah impresi tantang sepatu. Baru setelah Bab 23, muncul kisah sepatu yang lumayan utuh pada Bab 29, “Akhirnya Punya Sepatu” (h, 324). Itu pun masih dengan kadar yang terkesan kurang greget.

Soal lain yang lantas bermunculan adalah, penggunaan istilah gosip (h, 93) juga penjelasan tentang kebun bengkok (h, 95). Melalui teknik penceritaan yang meminjam aku lirik, mestinya Khrisna mawas dengan kata gosip, yang jelas belum digunakan oleh masyarakat di era kemerdekaan. Pun dengan kebun bengkok—yang sejatinya adalah kebun jatah bagi perangkat desa. Seandainya kedua hal tersebut lebih teperhatikan, bab-bab awal dari novel ini akan terasa mudah untuk dicerna secara fiksional. Kelemahan elementer ini masih diperparah dengan cacat secara teknis di sana-sini, yang seharusnya jadi tanggungjawab penyunting. Seperti kata kebulan yang harusnya kepulan (h, 15); rapatnya tata alinea baru (h, 16 dan 110); kebahagian yang maksudnya kebahagiaan (h, 73); 2 kali penggunaan kata malam yang harusnya pagi dan senja (masing-masing di h, 127 dan 147); air kelapa jadi air kepala (h, 174); makan jadi makam (h, 182); disambut berubah disambur (h, 230).

Bagusnya, beberapa kesalahan itu terobati dengan rajutan kisah yang mengalir sejurus bersama tokoh-tokoh besutan Khrisna. Seputar beban berat yang ditanggung Dahlan kecil saat ibunya wafat; kisah-kasih asmaranya dengan Aisha si kembang desa; etos kerja dan semangat belajar yang tumbuh sejengkal demi sejengkal dalam diri Dahlan melalui pertemanannya dengan rekan sepermainan di Kebon Dalem. Semua terangkai dengan apik dalam nuansa edukasi yang jelas sedang dibutuhkan oleh generasi muda bangsa Indonesia. Suri tauladan yang layak digugu-ditiru.

Semoga karya yang sejatinya bagian awal dari trilogi novel Dahlan Iskan ini, jadi peretas jalan tentang bagaimana seharusnya kita kembali belajar dari sejarah orang besar dengan hidupnya yang sarat perjuangan. Sarat nilai universal yang sekarang ini mulai luntur digerus roda zaman yang serbainstan. Apa pun kekurangan Khrisna selaku penulisnya, kita tetap harus memberi apresiasi yang baik atas keberaniannya menulis seorang tokoh panutan bangsa. Tokoh yang tidak serta-merta muncul bak pahlawan dari khayangan. Namun lahir dari tempaan hidup yang liat lagi pejal. Dari sebuah pergolakan batin antarbenturan kebaikan-keburukan, juga pentingnya sebuah disiplin ketat dalam mengarungi hidup yang terkadang enggan bersahabat dengan mereka yang terpinggirkan secara ekonomi. Novel ini, berhasil memindahkan sejarah kehidupan Dahlan kecil, untuk dimamahbiak oleh para pembaca, dan memudahkan kalangan sejarahwan saat membingkai ulang hidup seorang pembesar negara dari ranah sastra. Perspektif ini, kerap digunakan para sastrawan besar untuk merekam kehidupan manusia-manusia unggul yang hidupnya telah jelas benar berguna bagi banyak orang. Kini, dan nanti.  

Dimuat di Koran Rakyat Merdeka, Minggu, 27 Mei 2012


Judul | Sepatu Dahlan
Penulis | Khrisna Pabichara
Penerbit | Noura Books (Mizan Grup)
Cetakan | I, Mei 2012
Spesifikasi | 390 hlm; 14x21 cm
ISBN | 978-602-9498-24-0

2 comments:

Total Pageviews