Betapa berharganya
sebuah kesetiaan. Sebuah penantian. Menunggu ternyata juga bisa menjadi indah.
Setidaknya, itu bisa kita rujuk dalam sebuah film Hollywood, Hachiko A Dog
Story, yang diproduksi oleh A Stage 6 Films An Inferno Production pada 2008.
Akting Richard Gere, terbilang sukses saat memainkan sosok Dr. Isabura Ueno,
Profesor di Universitas Tokyo yang meninggal pada 1925, tuan dari anjing jenis
Akita dengan riwayat evolusi sejauh 4000 tahun: Hachi.
Meski hanya dua tahun
hidup bersama Dr. Isabura, tapi Hachi yang lahir di Odate 1923, sanggup dan
rela menunggu kepulangan tuannya selama sembilan tahun di stasiun Shibuya, lalu
wafat pada 1935. Barangkali, Hachi tahu bahwa tuannya sudah tak ada. Itu bisa
jadi. Tapi nampaknya yang ia lakukan adalah, menanti sebuah hubungan istimewa
yang terjalin antara ia dan Dr. Isabura. Meski anjing Akita memang terkenal
sebagai anjing perang para Shogun Jepang, tapi ia memiliki sisi lain yang kerap
luput dari amatan manusia, yaitu kesetiaan. Ia yang tersesat di stasiun sesaat
sebelum ditemukan Dr. Isabura, merasa harus berterimakasih dengan caranya
sendiri.
Entah Hachi yang
menemukan Dr. Isabura atau sebaliknya, yang jelas pertemuan mereka menjadi
anugerah besar bagi kemanusiaan. Terbukti, pemerintah Jepang membangun monumen
Hachiko di depan stasiun Shibuya—demi menghormati nilai luhur dari kesetiaan
dan keintiman hubungannya dengan manusia. Sungguh, sebuah kisah fantastis yang
belum tentu sanggup kita tiru. Karena bicara kesetiaan, sama artinya dengan
meludah lalu pergi begitu saja. Ada banyak manusia (mungkin termasuk penulis),
yang selalu gagal mengerti apa itu Setia-Kesetiaan. Sehingga takarannya hanya
berlangsung di lisan dan bukan di pencerapan, penghayatan batin. Melulu janji
yang tak selalu harus ditepati.
Dalam bahasa Indonesia,
Hachi bisa diartikan sebagai delapan. Masyarakat tradisional Jepang menganggap
angka itu sebagai simbol surgawi: kesempurnaan. Tarikan garisnya naik dari
bawah ke atas dan cenderung sulit ditandai di mana awalnya. Jadi, ada
kesinambungan dalam angka itu. Ada keberlangsungan yang jadi syarat berjalannya
hidup ini. Dari Abadi menjadi fana’, lalu Abadi lagi. Hachi membuktikannya
dengan kesetiaan. Ia setia pada nilai sebuah hubungan. Harga mahal yang tak
tertebus oleh apa pun. Ia, setia pada kebaikan Abadi yang sejatinya dimiliki
oleh setiap kita. Karena manusia pada titik nadirnya, adalah ia yang mengakui
bahwa kebaikan itu mutlak, dan menjadi tujuan hidup yang paripurna.
Masalahnya, kita
cenderung gagal memahami apa yang baik dalam hidup ini untuk diri sendiri, dan
apa yang tidak. Pada ranah praktik, keburukan malah menjelma jadi kebaikan dan
kebaikan bisa hablur diurapi keburukan. Kita, membeli keburukan dengan
kesetiaan yang salah arah. Kita bisa dengan sangat bangga mengagumi keburukan
dengan selalu melakukannya dari waktu ke waktu. Kendati waktu mengalahkan
kesetiaan Hachi, setidaknya ia telah berhasil menunjukkan pada kita, bahwa
kesetiaan menunggu hidup, juga bagian penting dari kehidupan yang sudah pasti
berujung pada kehancuran. Kekalahan yang tertunda.
Mungkin ada banyak
riwayat kesetiaan yang juga bisa kita petik sebagai pelajaran. Ada
Layla-Majnun, Romeo-Juliet, Sampek-Engtay, dan sebagainya. Sualnya adalah,
seberapa kuat kita menelusuri jalan kesetiaan yang penuh duri itu. Di sepanjang
jalurnya, ada kesepian, kehampaan, luka, ironi, mimpi, kesenangan, ketenangan,
kebahagiaan. Kesetiaan menunggu gaya Hachiko, patut diacungi jempol. Ia tidak
menunggui sosok yang hidup. Tapi menanti kedatangan satu masa yang kemudian
menuntunnya pada Kebahagiaan sejati. Sebuah pertemuan yang nampaknya absurd,
tak berdasar, namun kukuh dengan keyakinan yang kuat.
Kesetiaan pada hidup,
pada cinta, manusia, atau apa saja, sama dengan Kebaikan tak terperi. Wujud
kesetiaan baru terejawantah, di saat terjadinya sebuah pergeseran, kesalahan,
kekhilafan. Kita, bahkan bisa lupa dengan janji-ikrar cinta sendiri, manakala
orang yang disayangi bertindak di luar apa yang kita anggap sebagai sebuah
norma. Cinta, sayang, bisa lenyap hanya dalam waktu singkat, demi memertahankan
diri dan ego sendiri. Kita jadi lupa, bahwa telah begitu banyak kebaikan yang
pernah dilakukan bersama di belakang sana. Ini jadi bukti, bahwa keburukan
sanggup menutupi kebaikan dalam waktu sesaat. Gara-gara nila setitik, rusak
susu sebelanga.
Jika kita meyakini
bahwa keputusan untuk meninggalkan ia yang dicintai adalah keharusan, demi
kebahagiaan, karena ada orang di luar sana yang bisa menggantikannya,
ketahuilah, bahwa itu ilusi belaka. Semu. Kenyataan yang terjadi, hati yang
mencintai, kesetiaan yang ingin tersemai, malah rusak oleh pilihan itu. Hanya
manusia yang berani berkata “tidak” untuk keburukan dan “iya” untuk kebaikan
hatinya, yang kemudian mampu menikmati indahnya kesetiaan dan kedamaian, dari
sebuah penantian yang tercederai oleh angkara, juga kegagalan kita manusia,
yang lupa bahwa Kebaikan adalah murninya sebuah kesetiaan. [ciputat, 101110]
No comments:
Post a Comment