Sebelum masuk pada uraian soal apa
dan bagaimana peranan Ruh al-Quds ini, terlebih dulu akan kami sertakan
beberapa ayat yang di dalamnya tercantum frase tersebut. Pertama, yang berkenaan dengan kata ruh sedang yang kedua, terkait pada kata al-quds.
Ø Dan sesungguhnya Kami
telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya
(berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan
bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruh al-Quds. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh? [Al-Baqarah: 87]
Ø (Ingatlah), ketika
Allah mengatakan: "Hai `Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan
kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruh al- quds. Kamu dapat
berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan
(ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan
(ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa
burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi
burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak (lepra) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu dan
mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
[Al-Ma’idah: 110]
Ø Dia dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), [As-Syu’ara: 193]
Ø (Dialah) Yang Maha
Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai `Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa)
perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya,
supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).
[Al-Ghafar: 15]
Ø Pada hari, ketika ruh
dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa
yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan
kata yang benar. [An-Naba’: 38]
Dari
beberapa ayat yang sudah kami cantumkan di atas, ada beberapa hal yang bisa
kita sertakan sebagai bahan kajian. Pertama,
kata ruh itu sering ternisbahkan kepada makhluk. Dengan kata lain, ia (baca:
ruh) masuk dalam kategori substansi dasar ciptaan. Kedua, terkait langsung dengan Jibril a.s yang juga sering
dinamakan sebagai ruh al-amin/ruh al-quds
(jumhur mufassirin {pendapat para
penafsir Al-Quran} meyakininya sebagai Jibril as). Maka dari itu, kami akan
coba membahasnya satu demi satu. Ketiga,
jika kata tersebut mendapat tambahan quds
(kudus dalam lema Indonesia), maka secara otomatis ia akan terkait dengan
tradisi kenabian. Beberapa nabi yang tersebut namanya adalah Musa, Isa dan
Muhammad Saw.
Perihal yang pertama,
bahwa ruh adalah substansi dasar dari makhluk, adalah sebuah penjelasan tentang
sisi lain penciptaan. Kita tak dapat melepaskannya dari kebersatuan dua unsur, materia dan forma. Dalam keduanya inilah, ruh terbungkus. Namun bukan berarti,
ruh menjadi tak ada tanpa dua hal itu. Justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Di dalam ruh itulah, Allah menitipkan napas kehidupan, berikut segala atribut
dan arketipe bawaan kita. Dengan kata lain, kata ruh di sini, juga dapat
dipahami sebagai ciptaan yang menjadi rantai penghubung bagi terciptanya
makhluk Allah yang lain. Mungkin contoh yang paling mudah adalah manusia. Ruh
selalu menjalin relasi dengan tubuh manusia, sepanjang usia tubuh masih
berlangsung.
Jika merujuk pada
tradisi irfani, kata ruh diamini oleh
gnostikus sebagai Intelek. Meski banyak sekali kerancuan yang terjadi saat kita
menemukan sekian banyak teks yang mengartikan Ruh sebagai jiwa. Intelek
merupakan sarana untuk menerima atau menampung limpahan pengetahuan yang datang
dari Allah. Di dalam Intelek tercetak Logos yang kemudian terpancar melalui
akal. Intelek bersifat divine. Sedang
akal bersifat profan. Korelasi antarkeduanya, terletak pada teknis
pengoperasiannya. Selagi akal bertindak sebagai penerima secara vertikal kepada
Intelek, maka ia memiliki status tak terbatas. Namun jika akal beroperasi
secara horizontal, maka seketika itu juga ia terhukumi dengan keterbatasan,
karena ia membatasi dirinya sendiri.
Intelek pulalah yang
kemudian ditiupkan pada setiap makhluk dan jiwa yang segera berkoneksi dengan
tubuh. Dari sinilah mengalir napas kehidupan kali pertama. Intelek merasuk ke
dalam tubuh jiwa setelah mandiri dalam esensi wujudnya yang kekal. Perkara ini
banyak dikabarkan oleh Al-Quran tentang matinya jasad tapi ruh tetap hidup di
sisi Allah. Tentang kekelan wujud ruh, kita dapat merujuknya dalam firman Allah
berikut ini, “Sesungguhnya Aku
menciptakan manusia dari lumpur, maka ketika Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan kutiup di dalamnya dari Ruh-Ku, maka bersujudlah kalian padanya.”
(QS Shâd [38]:71-72). Kami ingin menegaskan bahwa, hanya ruh saja yang datang
langsung dari Allah. Ia tidak dicipta. Melainkan bersumber dari sumber
Penciptaan itu sendiri. Karena redaksi yang digunakan dalam ayat itu adalah
(kutiup di dalamnya dari Ruh-Ku…), maka dengan itu, ruh pun tetap berada dalam
kondisi awalnya dan terus begitu hingga kapan pun.
Soal terbesarnya
adalah, tak banyak makhluk khususnya manusia yang menyadari kehadiran Intelek
dalam dirinya. Karena sedari termanifestasi, Intelek langsung tertabiri oleh
selubung misteri. Maka untuk menguaknya, dibutuhkan Spirit sebagai penyambung
utama. Pertanyaan kita sekarang, bagaimana pelabelan kata Quds yang terikut di belakang kata Ruh itu? Cukupkah kiranya jika
kita mengamini term tersebut sebagai Intelek yang Suci belaka?
Kini, pembahasan kita
sudah bergeser pada persoalan yang kedua. Sejarah agama samawi kerap
berhubungan dengan Spirit yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang
menjadi perisalah-Nya. Tentu, dalam hal ini, Spirit bukan hanya mencetak
sejarah, melainkan menjadi landasan utama bagi terpahaminya sebuah Wahyu yang
diturunkan oleh Allah. Spirit yang terwahyukan itu, kelak membuka selubung
antara makhluk dengan Khaliq, atau
bahkan sebaliknya, malah menjadi selubung yang sukar untuk ditembus oleh
pemeluk keyakinan tauhid. Karena itulah, maka semua Nabi-Nabi besar pasti dan
pernah mengabarkan soal keterkaitan mereka dengan Spirit itu via Ruh al-Quds.
Mari kita jelajahi
sejenak perihal apakah sejatinya Ruh
al-Quds itu? Dalam tradisi mistik Islam, kita dapat mengartikannya sebagai
Intelek Suci, yang pentransmisiannya sering dikaitkan pada Jibril a.s. Malaikat
yang kerap berkorespondensi kepada para manusia suci dari pra zaman Aksial
hingga masa kenabian Rasul Muhammad Saw bahkan sampai saat ini. Sebagai sebuah
moda, Ruh al-Quds jarang sekali
diulas dengan pemahaman mendetail. Padahal kajian perihal ini terbilang
signifikan bagi pemahaman kita. Sebagai perbandingan, antara Kristen dan Islam
saja, jelas memiliki pahaman yang berbeda seputar hal ini. Tapi sebelum
pembahasan dilanjutkan, baiknya kita telusuri dulu apa status ontologi dari Ruh al-Quds ini.
Merujuk pada ayat di
atas, penyematan gelar ruh al-quds
kepada Jibril, lebih diasosiasikan sebagai sebuah penghargaan atas
ketundukkannya kepada Allah. Juga disebabkan ia adalah malaikat pertama dan
teragung yang mendapat mandat dari Allah untuk menyampaikan Wahyu-Nya kepada
para Nabi dan Rasul. Bahwa ia adalah ruh, sudah tentu. Karena ia tercipta. Ia
juga suci karena masuk dalam taraf spiritual. Dialah (Jibril) yang menjadi
petinggi para malaikat. Ia juga yang menjadi perantara tunggal antara Allah dan
Nabi serta Rasul-Nya. Sehingga tak pelak, Jibril pun mendapat kedudukan yang
mashyur lengkap dengan nama yang adigung.
Dalam
tradisi Kristen, Yesus Kristus diyakini sebagai Ruh al-Quds. Pahaman ini dianggit dari empat Kitab Injil yang
ditulis oleh para pengikutnya. Dalam sejarah, Yesus memiliki keunikan
tersendiri dalam statusnya sebagai manusia. Ia lahir ke dunia tanpa perantaraan
seorang bapak. Maka konsekuensi logisnya, tak ayal ia menyapa Tuhan dengan
sebutan Bapa. Sebuah panggilan penuh kehangatan tentu. Keintiman Yesus ini
dapat ditelusuri dari kata-katanya yang cukup terkenal, “Eli... Eli lama sabhaktani” (Bapa...Bapa kenapa Kau tinggalkan aku?).
Bagi sebagian besar
umat Kristen, ujaran ini ditelan mentah-mentah makna harfiahnya. Itulah
penyebab awal kenapa kesucian Yesus sebagai Nabi dan Rasul tercoreng dengan
menisbatkannya sebagai Anak Tuhan. Dalam Trinitas, kata itu dibalik, menjadi
Tuhan Anak. Oknum Kedua setelah Tuhan Bapa, dan diteruskan oleh Oknum Ketiga
yaitu Roh Kudus. Penetapan Yesus sebagai Anak Tuhan, dimulai dari statusnya
tersebut. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa Yesus lahir dengan
ditiupkannya Roh Tuhan (Kudus) ke dalam rahim Maryam. Maka karena
keistimewaannya inilah, ia diyakini sebagai Kreasi langsung Tuhan dalam
penciptaan. Tanpa membutuhkan banyak sebab sekunder. Di bawah ini, kami
sertakan dua kutipan yang diambil dari Injil dan Al-Quran;
“Dalam
bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di
Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang
bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu
masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan
menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di
dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan
takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.
Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki
dan hendaklah engkau menamai dia Yesus... Kata Maria kepada malaikat itu:
“Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Jawab malaikat
itu kepadanya: “.... Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kata Maria:
“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu
itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.” (Injil Lukas 1: 26-39).
“Dan
(ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya
Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala
wanita di dunia (yang semasa dengan kamu) .... "Hai Maryam, sesungguhnya
Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan)
dengan Kalimat-Ruh al-Quds (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa
putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk
orang-orang yang di dekatkan (kepada Allah) .... Maryam berkata: "Ya
Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh
oleh seorang laki-laki pun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):
"Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah dia.” (QS Ali ‘Imran [3]: 42-47).
Ruh yang
ditiupkan Tuhan kepada Maryam itu, juga diyakini sebagai DiriNya sendiri.
Karena ia mengalir dari sumber pertama. Jadi dengan kata lain, Ia pula yang
akhirnya menjelma menjadi Yesus dalam bentuk manusia. Bahkan bukan cuma
menjelma, dalam Trinitas, Yesus diyakini sebagai tuhan itu sendiri. Itu kenapa
akhirnya, doktrin Trinitas sangat sulit memilah mana yang divine dan profan. Kita bisa saja mengamini bahwa Yesus adalah
tuhan. Tapi perkaranya adalah, apakah tuhan juga mengiyakan bahwa Ia adalah
Yesus? Apabila kita mengikuti pola penalaran para gnostik Islam, mereka
meyakini bahwa dengan menciptakan Isa, Allah ingin mengajak manusia untuk
menjadi dan sadar bahwa ia (baca: manusia) memiliki sifat-sifat ke-Tuhanan.
Jika dilihat
dalam bentuk manusia partikularnya, orang bisa saja mengatakan bahwa Isa adalah
putra Maryam. Jika dilihat bentuk humanitasnya, orang bisa mengatakan bahwa dia
berasal dari Jibril, sedang bila memertimbangkan penghidupan kembali orang
mati, orang dapat berkata bahwa dia adalah Allah sebagai Ruh. Dengan demikian,
orang mungkin menyebut dia Ruh Allah, yang, katakanlah, bahwa kehidupan menjadi
nyata kepada siapa pun yang dia tiup (Ibn ‘Arabi, 2004: 248-249). Dari pasasi singkat
tadi, kita sudah menemukan bagaimana berbedanya pemahaman atas Ruh al-Quds dari dua agama yang bermuara
dari satu Sumber. Jika dikaitkan dengan Isa al-Masih, Jibril kembali harus
diikutsertakan. Dalam Al-Quran jelas disampaikan bahwa Jibril a.s datang kepada
Maryam untuk mengabarkan perihal kehamilan Suci yang akan terjadi padanya,
melalui Ruh al-Quds yang kemudian
ditiupkan Jibril a.s ke dalam rahim Perawan Suci Maryam.
Jadi sejatinya,
apa dan bagaimana sesungguhnya Ruh
al-Quds itu? Dalam satu karya yang berjudul Menguak Misteri Muhammad Saw (1895) karya Prof. David Benjamin
Keldani, pendeta Katolik Roma sekte Uniate Chaldean yang kelak memeluk Islam
dan berganti nama menjadi Abdul Ahad Dawud, ditemukan satu informasi baru yang
mungkin akan menambah perbendaharaan pengetahuan kita perihal pembahasan ini.
Dalam karya monumentalnya itu, Prof. Abdul Ahad Dawud berhasil menemukan makna
tersembunyi dari pengabaran Yesus tentang kelahiran Nabi Muhammad Saw yang
tersiar melalui puluhan khotbah yang disampaikannya. Melalui mulut Yesus itulah
ditemukan pertautan antara kata Ruh
al-Quds yang ditulis dalam bahasa Yunani, Periclyte, yang berarti Ahmad
dalam arti “yang paling Terkenal, Terpuji dan Termahsyur.” (Keldani, 2003:
201).
Jika merujuk
pada kerja intelektual Prof. Abdul Ahad Dawud, kita kembali diberi suguhan
menarik. Kesimpulannya adalah, Ruh
al-Quds itu adalah Nabi Muhammad Saw. Tapi bagaimana memahami tesis ini
jika pada proses kelahiran Yesus, yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam adalah
Nabi Muhammad Saw? Lantas kenapa yang muncul adalah Isa al-Masih? Apa pula
juntrungannya jika Jibril kita kaitkan dalam pembahasan ini? Mana diantara dua
Makhluk suci ini yang paling mungkin ternisbahkan sebagai Ruh al-Quds, atau memang jangan-jangan tak ada satu pun yang layak
menyematnya?
Baik Isa a.s dan
Muhammad Saw, masing-masing memiliki keunikan tersendiri, yang dapat bertautan
satu sama lain. Isa sebagai nabi dan manusia, jelas tercipta dari sebuah
kondisi yang tak jauh beda dengan Nabi Adam a.s dan Siti Hawa. Dari dan dengan Ruh al-Quds itulah Isa termanifestasi.
Sedang Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, dikabarkan sebagai penyempurna
risalah ketuhanan. Ia adalah manusia sempurna yang pernah ada. Dalam mistik
Islam, Nur (cahaya) Nabi Muhammad Saw
diyakini sebagai alasan utama penciptaan semesta dan segala isinya. Cahaya itu
terus mewaris melalui para nabi dan rasul. Dalam sebuah hadits Bukhari
disebutkan bahwa Muhammad Saw sudah menjadi nabi sebelum Adam a.s. Maka tak
heran jika kemudian Isa al-Masih menubuatkan kedatangannya dengan menggunakan
sebutan Mhamda dan Hamida . Sampai di sini, kita dapat
sedikit memahami apa sebenarnya rahasia yang terkandung dalam istilah Ruh al-Quds itu. Jelas ia berbeda dengan
ruh yang ada pada setiap makhluk Allah yang lain. Alasan utama dan terutama
adalah, karena kontribusinya bagi penyampaian Wahyu serta pemanifestasiannya.
Syeikh
al-Akbar dan Kontribusi Intelektualnya
Dari berbagai macam definisi yang
telah kami uraikan di atas, dapat ditarik satu pemahaman yang akan mengantarkan
kita pada sebuah kesimpulan, bahwa Ruh
al-Quds sejatinya mengandung unsur Keilahian yang hanya termanifestasi pada
subjek-subjek ciptaan teragung dalam sejarah penciptaan. Rahasia Ruh al-Quds ini baru akan terkuak jika
kita mendekatinya dengan pola penjabaran yang disumbangsihkan oleh Ibn ’Arabi
sebagai Jenderal Teragung mistikal Islam. Di bawah ini, kami akan
mengikutsertakan beberapa uraian singkat beliau perihal subjek kajian kita.
Kalau
tidak karena Dia dan karena kami,
Itu
tidak akan terjadi.
Kami
adalah hamba-hamba yang paling benar,
Dan
Allah-lah junjungan kami.
Tetapi
kami berasal dari esensi-Nya, jadi mengertilah,
Ketika
aku katakan “manusia”
Dan
tidak dapat diperdayakan oleh “manusia,”
Karena
Dia telah memberimu satu bukti.
Menjadilah
Ilahi (dalam esensi) dan menjadi makhluk hidup (dalam bentuk),
Dan
karena Allah kamu menjadi merasa sangat kasihan.
Kami
telah memberi-Nya apa yang nyata pada kami melalui Dia,
Sebagaimana
Dia juga telah memberi kami.
Semua
masalah, dipikul, dibagi,
Antara
Dia dengan kami.
Dia
yang mengetahui dari luar kepala,
Menghidupkannya
kembali ketika Dia memberi kami kehidupan.
Bagi
Dia kami adalah eksistensi, esensi,
Dan
instansi waktu.
Bagi
kami ia tidaklah tetap,
Melainkan
hanya sebentar (tetapi ia memberi kami kehidupan).
Pemerian Syaikh
al-Akbar untuk terminologi Ruh al-Quds
sangat memukau dan kami kira dapat membantu kita untuk menjernihkan pemahaman.
Hidupnya Isa a.s misalnya, terjadi dengan perantaraan Ruh al-Quds, melalui proses peniupan. Allah meniupkan Napasnya
langsung kepada Isa a.s, sehingga segala potensi yang dimilikinya, secara ipso facto bersifat Keilahian. Hal ini
juga terjadi pada Jibril yang masuk ke Kosmos kita, sedang dirinya nirmateri.
Jika bukan atas peniupan Napas Tuhan ke dalam dirinya, mustahil Jibril bisa
hilir-mudik melintasi dua Dunia yang konsubstansial.
Dalam kasus Isa, kita
dapat menarik satu garis lurus yang menyangkut konsekuensi bawaan atas
penciptaannya. Ia yang hidupnya termanifestasi melalui tiupan Napas Sang
Kekasih, secara mutlak kehilangan dirinya sendiri. Segala yang keluar dari
mulutnya sebagai sabda, bukan datang darinya, melainkan murni dari Allah. Ruh al-Quds yang ditiupkan Allah
padanya, jelas membuat Isa a.s seperti Tuhan. Perhatikanlah semua mu’jizat
terbesar beliau. Tapi itu bukan berarti ia kehilangan dimensi kemanusiaannya.
Banyak hadits yang
menggambarkan situasi kemanunggalan dalam dualitas pada Nabi Isa a.s. Seperti “Aku adalah lidah yang digunakan-Nya untuk
berbicara”. Atau “Aku mengatakan pada
mereka hanya apa yang Engkau perintahkan untuk mengatakannya.” Ini
menandakan bahwa Isa al-Masih terlahir untuk menjadi perpanjangan perintah
langsung dari Tuhan. Ia menjadi simbol penegasian. Sebab semua yang datang
darinya, adalah bukan darinya sendiri. Melainkan Ia yang menginginkan-Nya.
Melalui Ruh al-Quds, Allah
memerintahkan Isa untuk terus memohon Kasih dan mengasihani dirinya. Itulah
alasan utama kenapa Isa putra Maryam dikenal sebagai Nabi yang penuh Kasih.
Apa yang terjadi pada
Nabi Isa a.s, juga tak jauh beda dengan yang terjadi pada Rasul Muhammad Saw.
Disparitas paling mencolok hanya terletak pada tataran biologis saja. Bahwa
beliau lahir dengan cara manusia kebanyakan berkembang biak. Tapi pada
tingkatan Spiritual, Muhammad Saw sebagai perwujudan dari Ruh al-Quds, juga merupakan cetak biru dari Kreasi Ilahi. Hal ini
dapat kita verifikasi dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa pribadi Rasul
Muhammad Saw adalah Al-Quran. Ia merupakan Wahyu pada dataran ontologis, yang
tercitra dalam bentuk manusia. Tak ubahnya seperti Isa al-Masih. Tapi Muhammad
Saw adalah Manusia Sempurna. Jasmani maupun ruhani.
Menilik pada ulasan
Syaikh al-Akbar dalam Fusus al-Hikam-nya,
Rasul Muhammad Saw pernah menggelontorkan sebuah hadits yang membicarakan soal
tiga hal yang dicintakan kepadanya: wanita-wanita, wewangian dan shalat. Kata
dicintakan mengandung konsep partisip- pasif. Dalam artian, Rasul Muhammad Saw
tercipta dengan kondisi yang mengakibatkan dirinya dicintai oleh tiga hal
tersebut. Wanita-wanita yang dalam teks Arabnya ditulis dengan menggunakan kata
nisa’, menunjukkan kandungan feminin.
Begitu pun halnya dengan kata shalat yang juga feminin, diletakkan setelah kata
wewangian yang bersifat maskulin.
Triplisitas ini adalah
bukti betapa Muhammad Saw membawa dua unsur Primordial Tuhan.
Masukulin-Feminin. Yin dan Yang. Sekaligus menandakan bahwa beliau adalah
perwujudan Khaliq-Mahkluk yang saling berkorelasi. Pada kasus wanita-wanita,
Muhammad Saw menjadi objek cinta dari wanita yang sebenarnya adalah sebentuk
wujud lain yang termanifes dari citra laki-laki. Setelah mengalami
keterpisahan, maka wanita pun merindukan dirinya untuk dicinta. Sehingga
laki-laki pun memberikan cintanya. Sebuah hubungan timbal-balik yang sejatinya
datang dari satu sumber.
Allah sebagai Cinta par exelence melihat Diri-Nya sendiri
pada Muhammad yang dicintai oleh wanita. Dengan penalaran lain, Allah yang
menjadi pengumpul dari Nama-Nama dan menjadi Ar-Rabb, meminta hambanya (marbub)
Muhammad Saw yang terpecah menjadi wanita, untuk mencintainya. Model penalaran
seperti ini memang agak sedikit membingungkan. Namun sebenarnya cukup untuk
memberikan satu gambaran betapa Ia sebagai Ar-Rabb
jelas merindukan Diri-Nya juga dicintai oleh menifestasi-Nya sendiri. Di titik
inilah, tak syak Rasul Muhammad Saw dapat diigelari sebagai nabi cinta. Makhluk
sempurna yang mengatasi segala kebencian dan merubahnya menjadi kebergantungan.
Dalam wewangian yang
sifatnya Maskulin, kita juga dapat menemukan ketersambungan lain antara
Muhammad Saw dengan Allah Rabbul ‘Alamin.
Wewangian yang dimaksud di sini, jelas adalah aroma yang segala sifatnya
mengandung kebaikan. Bukan seperti aroma bunga yang kita suka tapi tidak untuk
sebagian serangga. Muhammad Saw menyukai wewangian dalam kemaskulinannya
sebagai lelaki. Hal ini juga untuk memberi penegasan bahwa dalam dirinya, ia
lebih mengedepankan unsur feminin. Terbukti dengan diterakannya unsur itu
sebanyak dua kali dan diimbangi dengan maskulinitas yang hanya sekali saja.
Wewangian itu sendiri.
Wewangian sarat dengan
kedekatan. Karena dengan keharuman itulah, objek yang menciumnya mendekat
kepada subjek wewangian itu. Kiranya beginilah penganalogian kita untuk
mendedah bagaimana Wewangian dan Muhammad saling berjalin-kelindan. Di bagian
ketiga, ada shalat yang menjadi penaut antara Rasul Muhammad Saw dengan Allah.
Dalam hal ini, Shalat sebagai doa dan upaya penyembahan, terbagi ke dalam dua
kutub: Khaliq dan makhluk. Syaikh al-Akbar mengatakan bahwa Allah juga
melakukan shalat untuk Diri-Nya di dalam Manifestasi-Nya. Ia menyembah makhluk
dan mengharap satu imbalan yang berwujud pada pengakuan bahwa Ia adalah Rabb. Ini terjadi dalam kutub Shalat
yang dilakukan oleh Khaliq.
Jika shalat yang
berlangsung dalam kutub kemakhlukan, Allah murni sebagai objek sesembahan.
Hampir keseluruhan ayat dari Al-Fatihah yang dibaca dalam shalat, semuanya
mengarah pada Allah yang menjadi objek tunggal dari segala puja-puji cinta.
Hanya pada ayat terakhir sajalah kita diberi kesempatan untuk meminta sebuah
permohonan yang akan dikabulkan-Nya, karena memang di bagian ayat itulah milik
kita yang sebenarnya. Namun tetap saja, Ia kembali mengukuhkan posisi-Nya
sebagai satu-satunya tempat bagi segala permintaan. Di mana tak ada lagi Zat di
luar Diri-Nya yang dapat mengisi kedudukan itu.
Sampai di sini, kami
ingin memberi penegasan bahwa Ruh al-Quds
yang menghidupi Kosmos dalam Napas-Nya, adalah sarana peniupan Allah pada
segenap ciptaan. Meski pada dataran ontologis, terjadi berbagai peningkatan dan
penurunan. Derajat Ruh al-Qudds
menjadi bertingkat secara vertikal, jika ia ditiupkan pada makhluk semisal Isa
a.s dan Muhammad Saw. Ia mengalami penurunan jika yang ditiup adalah makluk
biasa yang secara alami meski melalui berbagai tahap perwujudan kehidupan.
Penurunan yang sejatinya kembali akan membuatnya terangkat setelah kita sebagai
makhluk, sadar, betapa sebagai hamba, kita hanya butuh satu pengaktualisasian;
Menyembah dan Disembah. [ciputat, 061208]
No comments:
Post a Comment