Teka-Teki Tiki-Taka

Bersama beberapa orang remaja yang rata-rata masih duduk di bangku SMP, kami mendirikan sebuah kelompok mini bernama Teater Embun pada 2002 di bilangan Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Karena inisiatif berteater muncul dari mereka, maka tugasku jelas arahnya, melatih dan menyutradarai. Tapi, tugas itu jelas tak mudah. Bahkan berat nian. Sebab itulah maka kubuat peraturan yang harusnya musykil untuk bisa mereka penuhi: latihan di malam Minggu—tanpa boleh diganggu oleh kegiatan lain. Kalian mesti paham apa maksud dari peraturan tersebut bagi mereka yang sedang tumbuh itu? Saat aku sudah bersiap untuk balik badan, jawaban yang kudapat malah di luar dugaan. Mereka terima tawaranku, nyaris tanpa negosiasi. Mendengar jawaban itu, aku cuma bisa nyengir walau sebenarnya sedang kebingungan.

            Setelah proses ijab-qabul berlangsung, selebihnya adalah masa yang kukira sulit dilupakan. Aji, Babay, Doyok, Kodel, Jepang, Boby, Darus, adalah remaja khas Jakarta yang pola hidup dan budayanya tercerabut dari akar lantas lebur dalam melting pot budaya Betawi. Perhatikan saja nama yang mereka pakai dalam pergaulan. Sebagian besarnya adalah nama julukan yang dalam masyarakat Betawi merupakan suatu kelaziman. Para remaja itulah yang menjadi saksi & perekam perdana beberapa kegilaan yang kemudian kami lakukan bersama.

Suatu hari, pada pukul 2 dinihari, kami berjalan kaki dari Kebon Jeruk menuju Pamulang dalam rangka pelantikan anggota, dan baru tiba di lokasi tepat pukul 12 siang; kami juga mementaskan pertunjukkan di tengah lapangan voli, yang selalu dipadati penonton dari kalangan warga sekitar; mereka sukses berhenti mengonsumsi narkoba dengan kesadaran baru sebagai seniman muda; dan ini yang mengesankan, kami bermain bola, bertanding, tanpa pernah kalah. 

Keharusan untuk bermain bola, mencuat begitu saja saat kami sedang duduk santai pada sore hari, di bawah pohon Asem milik Engkong Haji Ma’ruf. Lantas bagaimana ceritanya hingga kemudian kami tak pernah mengalami kekalahan samasekali? Jawabannya ada di teater. Salahsatu bentuk latihan yang kerap kami latih adalah, “Isi Ruang”. Setiap orang diharuskan-diwajibkan untuk mencari celah sempit, ruang baru, yang masih mungkin untuk dia isi. Jika semua orang berpikir dan bergerak seperti ini, bisa kalian bayangkan seberapa dinamis pergerakan setiap pemain dalam latihan kami? 

Pilihan untuk menggunakan latihan “Isi Ruang” dalam bermain sepakbola bukan tanpa alasan yang jelas. Karena kami bukan sebuah tim sepakbola yang utuh dengan berbagai formasi yang sudah terisi di dalamnya, maka ramuan sederhana yang kuterapkan adalah, bagaimana semua pemain bisa menjadi pemain apa saja, Total Player (Pemain Segala). Setiap pemain harus sanggup menggocek bola, berlari kencang sebagai gelandang, bertahan selaik tembok, mengumpan, mengatur serangan, dan menceploskan bola ke dalam gawang. Disiplin seperti inilah yang membuat kami berani bereksperimen tidak menggunakan kiper permanen, karena semua pemain harus berotasi titik ke titik, menjadi garis aliran bola, membangun ruang, bersama waktu, mencipta gol. 

Kala itu, aku masih tak percaya bagaimana mereka sulit betul untuk dikalahkan. Bahkan oleh sebuah klub bola senior di Kebon Jeruk yang sudah malang-melintang di jagat Liga Antarkampung. Tapi dengan siapa mereka bertanding itu hal lain. Hal yang mengesankan adalah, mereka berhasil menyatu, solid, rampak bergerak, dan senasib-sepenanggungan. Itulah yang diucapakan oleh Cesc Fabregas (penyerang murni) Spanyol saat diwawancarai harian Kompas dan wartawan internasional sesaat setelah La Furia Roja mengangkat trofi Piala Eropa 2012 di Stadion Olimpiade, Kiev, Ukraina. 

Tiki-Taka Guardiola & del Bosque
Fragmen dari drama final Piala Eropa yang memertemukan Spanyol dengan Italia, adalah perjalanan panjang sebuah gagasan. Frank Rijkaard, adalah pelatih yang kali pertama menanam benih tiki-taka dalam pola permainan Barcelona. Itu ia warisi dari darahnya sebagai pemain bentukan Total Football Belanda. Spanyol sebagai negara dengan importir pemain Latin terbanyak, diuntungkan oleh perkawinan bahagia antar dua gaya permainan sepakbola itu—selain Catenaccio dari Italia. Maka jadilah permainan trengginas a la Belanda, berpadu dengan tarian Samba dari Latin Amerika di lapangan sepakbola.

            Tiki-taka terus dikembangkan oleh Guardiola setelah Rijkaard dipecat Barcelona kendati baru saja mengantarkan klub Catalan itu meraih trofi Liga Champions di musim 2005-2006. Tapi begitulah sepakbola. Ia terus bergulir tanpa pernah bisa ditebak arah putarannya. Guardiola mendulang sukses dengan warisan pemain dari Rijkaard. Beberapa diantaranya yang kian bersinar hingga hari ini adalah Xavi Hernandes, Lionel Messi, Andres Iniesta, Fernando Torres, Cesc Fabregas, Charles Puyol.

            Xavi sempat dinobatkan sebagai calon pemain terbaik dunia 2011 oleh FIFA, bersama Messi dan Christiano Ronaldo. Meski gagal, Xavi tetap pemain hebat. Spanyol diantarnya meraih Piala Dunia 2010, dan dua kali mempertahankan Piala Eropa (2008 & 2012). Messi, sukses mempertahankan statusnya sebagai Pemain Terbaik Dunia selama dua tahun berurutan (2011-2012). Sedang Iniesta & Torres, masing-masing ditahbis sebagai pemain terbaik & top skor di perhelatan Piala Eropa 2012 yang baru saja usai. Semua pemain itu adalah didikan murni Guardiola semasa ia masih menukangi La Masia, akademi sepakbola binaan Barcelona.

            Lalu di mana letak kejeniusan del Bosque? Pelatih bertangan dingin ini takkan pernah bisa mempertahankan gelar yang ia rebut di Piala Dunia 2010, jika tak becus meneruskan kerja Luis Aragone yang madukan para pemain yang berasal dari dua klub paling panas di Spanyol; Real Madrid & Barcelona, sejak Euro 2008. Sergio Ramos & Xabi Alonso misalnya, yang jelas adalah didikan Jose Mourinho di Madrid, sanggup memainkan tiki-taka dengan sempurna. Padahal saat Madrid bentrok dengan Barca, Ramos tak kuasa meredam aliran-gempuran bola Barcelona yang mengalir deras di tiap ruang.

            Vicente del Bosque bahkan dengan begitu tenang memasang pola 4-6-0 saat Spanyol berhadapan dengan Portugal di semifinal Piala Eropa 2012 lalu. Pola permainan yang dengan berani dimainkan Barcelona di musik kompetisi Liga Spanyol 2011-2012. Spanyol nyaris tak butuh penyerang. Karena Jordi Alba yang adalah gelandang, ternyata sanggup menjebol gawang Buffon begitu tenang saat ia diapit dua pemain Italia, dengan memanfaatkan umpan brilyan dari Xavi ketika di partai Final. Fabregas sendiri, yang bertatus sebagai false nine (striker murni), malah tidak mencetak gol samasekali. Meski umpannya berbuah gol kala disambar dengan apik oleh David Silva.

            Bosque juga berjasa mengembalikan khittah (kealamiahan) sepakbola. Itu bisa kita buktikan dengan menyaksikan pemain Spanyol beraksi di panggung hijau sepakbola. Xavi & Iniesta telah mencontohkan realisasi itu dengan sempurna. Mereka itulah purwarupa pemain sepakbola pilih tanding, yang terus menyerang, membangun taktik, bertahan, dan menang. Gaya bermain lugas seperti tiki-taka itu, jelas menghibur. Sebab sepakbola adalah panggung teater raksasa yang disutradarai oleh “rasa kebersamaan”, partisif-aktif. Semua penonton bisa tegang kala kiper sedang berhadapan dengan penyerang. Penonton juga tak malu menangis, apabila tim mereka babak-bundas dijadikan lumbung gol. Sebaliknya, penonton, atau semua yang terlibat di pertandingan bisa lupa sejenak status kebangsaan mereka, jika yang bertanding adalah Manchester United vs Liverpool.

         Sampai di sini, sudahkah kalian bisa menemukan benang merah antara tim sepakbola Teater Embun dengan Barcelona & Spanyol? Kami tidak akan membuat klaim apa pun, sebab itu tak lagi penting. Semua tim bisa memainkan tiki-taka itu asal memiliki kesiapan mental dan pemain berkarakter bagus seperti yang sudah dicantumkan di atas. Tantangannya adalah, atau jauh melampaui itu, mampukah kita menerapkan tiki-taka dalam kehidupan yang terus bersicepat ini? 

Kecermatan membaca ruang, memang bukan perkara mudah. Sebagai makhluk yang hidup dalam empat matra (titik, garis, ruang, waktu) sebagaimana yang dirumuskan Einstein dalam E=MC², kita bertanggungjawab penuh atas apa saja yang terjadi dalam hidup keseharian kita di bumi ini. Masing-masing kita jelas & harus berkontribusi pada setiap lini yang tersedia. Entah menjadi apa pun kita, kontribusi itu pasti bermanfaat untuk banyak hal. Banyak orang di luar diri kita sendiri. 

Tiki-taka adalah filosofi dasar hidup yang sejatinya diadopsi dengan baik oleh begawan sepakbola Spanyol. Kita juga berpeluang melakukan hal yang sama, dengan modal budaya, metabolisme intelektual, kecerdasan spiritual, yang sama rata. Seimbang adanya. Lihatlah bagaimana harmonisnya tiki-taka yang dimainkan Barcelona & Spanyol itu. Bayangkan jika keindahan tarian para pemain sepakbola itu berpindah ke lapangan kehidupan, mungkin akan bemunculan seniman hidup kelas begawan yang akan meramaikan ruang sosial kita dengan tingkat kesemarakan yang jauh lebih spektakuler tinimbang apa yang bisa dihasilkan oleh bintang-bintang lapangan hijau. [gaharu, 040712]  


*ilustrasi gambar oleh McSlither


                          


No comments:

Post a Comment

Total Pageviews