23 Episentrum: Sebuah Teroka Urbanista Jakarta


Nasib kini mengirimku ke Republik Tanzania yang terletak di Afrika Timur, antara 29◦ & 41◦ Bujur Timur,  1◦ & 12◦ Lintang Selatan. Dibentuk dari penyatuan dua negara berdaulat, Tanganyika dan Zanzibar. Aih Zanzibar… sebuah nama kuno yang membawa ingatanku pada sebuah ekspedisi militer bersejarah Tariq bin Ziyad. Jenderal perang Islam yang di usia mudanya, sanggup memimpin ribuan pasukan untuk menaklukkan wilayah Mediterania nun jauh dari gurun Arabia tempat tinggalnya.

Setelah melewati masa revolusi sedari 1961-1964, akhirnya bayi Tanzania pun lahir ke dunia. Sekarang, bayi itu sudah memasuki paruh abad hidupnya. Tapi apa yang kulihat sekarang di depan sana, adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Dari puncak Gunung Kilimanjaro, kutatap awan berarak yang warnanya jingga. Udara yang kuhirup, meski sejuk, tapi entah kenapa jadi terasa bacin dan menguarkan amis darah. Berada di puncak Kilimanjaro serasa membuatku sedang menyundul langit, dan mengabarkan bahwa di bawah sana, sedang terjadi sebuah kedegilan akut. Minyak dari negeri ini diangkut melalui pipa sepanjang ribuan kilometer, sementara sebagian besar rakyatnya hidup bertungkus-lumus dalam kemiskinan.

Dua paragraf di atas sengaja kami buat sebagai sebuah tawaran kepada Adenita, penulis novel 23 Episentrum: Perjalanan Mata, Hari, dan Hati, terbitan Grasindo 2012. Kenapa tawaran? Karena dalam novel ini, Adenita menggunakan Tanzania sebagai salahsatu latar lokasi tokoh utamanya, Prama, yang bekerja di perusahaan penambangan minyak internasional. Hal itu dapat ditemukan dalam Bab 8: Keresahan di Atas Vessel (h. 53). Segala seluk-liku Prama di Tanzania, sedari bandara Dar es Salaam hingga di atas vessel, tak tereksplorasi dengan baik. Tak ada penggambaran mendetil soal bagaimana rupa Tanzania itu, dan situasi sosial-budaya apa yang sedang terjadi di sana saat novel ini ditulis.

Hal serupa juga terjadi saat Prama berkunjung ke Medan menemui Pak Muktar—guru masa kecilnya, saat ayahnya bertugas di sana (h. 110). Tapi apa tugas ayah Prama? Tak terjawab. Apa yang bisa kita jadikan patokan bahwa Prama benar-benar di Medan? Juga tak ada. Meskipun Adenita sudah menggunakan dialek Melayu melalui mulut Pak Muktar. Apa sebab itu tak syak? Karena di belahan mana pun di Indonesia ini, banyak orang Melayu bertebaran. Maka takkan ada bedanya jika Prama diberangkatkan ke Ukraina atau Madagaskar. 

Sampai di sini, nampaknya Adenita kurang cermat menata ruang yang ia garap. Karena sebuah novel, sepopular apa pun jadinya, tetap harus berhasil memindahkan ruang, waktu, kejadian, suasana, pertumbuhan fisik-emosi setiap tokoh, candraan, pendengaran, dengan menggunakan teks. Itulah soal terberat yang harus dikerjakan seorang novelis sebelum ia memulai bab pembuka dari novelnya. Penataan ruang itu makin terasa kurang ajeg dengan pilihan latar lainnya seperti, Universitas Panaitan, TvB, Tv Tendean, Bank Madani, untuk sekadar mengambil contoh.

Lantas apa masalahnya? Selain Tanzania, Jakarta, Batam, Pangkal Pinang, Lebak Bulus, Semanggi, Bandung, Adenita malah mencantumkan CNN—kantor berita internasional, tempat TvB menjual liputan ekslusif Matari (tokoh utama) tentang presiden Republik Indonesia kedua yang sedang kritis di RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina). Inkonsistensi ini bisa saja kita abaikan. Tapi novel adalah upaya penulis membangun estetika. Maka sebaiknya inkonsistensi seperti itu harus dihindari. 

Sesadar apa pun pilihan itu di awal, jelas tetap mengganggu. Kasus seperti ini dapat dirujuk padanannya dalam Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Asmaraloka (Danarto). Pramoedya memilih realisme, Tohari dengan dunia tradisionalisme-tribalistik, dan Danarto dengan realis-magisnya. Kecenderungan seperti itulah yang membuat ketiga novelis besar kita itu, kokoh berdiri di kaki masing-masing. Ikhwal itu pulalah yang membuat banyak orang menitipkan kekaguman pada mereka selaku begawan sastra.

Penokohan. Juga soal penting yang abai diamati Adenita. Selain Matari Anas, Awan Angkasa, Prama Putra Sastrosubroto, tokoh lain yang bermunculan nyaris berposisi sebagai tempelan belaka, kecuali Opiq, Gusti, dan Ibundanya Awan. Andai tokoh lain tak diberi nama, atau malah tidak muncul sekalian, jalinan cerita yang dibangun oleh ketiga orang anak muda itu jauh lebih solid, dan berdaya ledak lebih hebat. Karena dengan menggunakan banyak tokoh,  ditambah kurangnya amunisi antroplogi, enerji Adenita sudah kedodoran sebelum ia berhasil mengakhiri perjuangan. Itulah kenapa novel ini jadi terkesan “cerewet.” Adegan selalu diwarnai dialog tanpa jeda, dengan rentetan kata bersicepat selaik desing peluru. Kita kehilangan ruang untuk menikmati reaksi tokoh saat meremang, menelan ludah, gamang, menyibak rambut, tepekur, mengulum bibir, tersaput angin, dan sebagainya.

Pilihan untuk memasukkan catatan kaki di beberapa halaman, juga terasa mengganggu. Seperti untuk teleprompter (h. 7), rundown (h. 21), campers, soundbite, time code (masing-masing di h. 27). Sementara untuk kata vessel yang teramat sering digunakan Adenita, malah tak ada satu pun penjelasannya.  Jalan keluar untuk soal ini bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama, memberi penjelasan dalam bentuk kalimat/mencari padanan kata, sambil tetap mencantumkan istilah teknis yang ingin digunakan. Kedua, membuat glosarium di halaman belakang. Sehingga konsentrasi pembaca tidak cepat buyar karena harus bolak-balik melihat batang tubuh teks dan catatan kaki.

Sumbangan Budaya Adenita
Sebagai sebentuk kerja kreatif, novel Adenita ini harus diapresiasi. Mungkin ia adalah satu dari sedikit banyak novelis yang mau getun mengamati ruang sosial kita di Jakarta ini. Amatannya itu bahkan sanggup menembus ke ranah paling ultim yang terkadang sering diabaikan oleh para novelis laki-laki. Misal, ketika jantung Matari berdegup kencang mendengar lamaran Prama. Matari yang sejatinya perawan berparas cantik-menarik, malah sempat-sempatnya memuji perempuan lain yang entah lebih baik darinya atau tidak. Jelasnya, keahlian akrobatik kata seperti ini, sangat dikuasai oleh Adenita.

            Membaca 23 Episentrum, sama dengan membuka buku sosiologi perkotaan khas pegiat sastra. Kita jadi tahu bagaimana cara orang urban berbagi cerita di pojok-pojok kafe, lengkap dengan banalitas bahasa mereka. Kita pun jadi mengerti kenapa masyarakat di perkotaan selalu terjangkiti penyakit sepi yang kadang sanggup membunuh pengidapnya. Ruang-ruang sosial yang dikenalkan Adenita itulah yang jadi kekuatannya selaku penulis—yang seharusnya digarap lebih menjeluk.

            Konribusi lain yang juga penting dari novel ini adalah, keberhasilannya membahasakan apa yang sebenarnya sedang dialami oleh para sarjana muda, saat mereka telah berhasil melempar toga di hari wisuda. Sebagian terbesar mereka memang segera masuk dalam golongan kelas menengah. Tapi sedikit saja yang mau memahami, betapa tekanan hidup golongan masyarakat ini, juga sama berat & berbahayanya dengan masyarakat kelas tengah ke bawah. 

Akhirnya, 23 Episentrum adalah sebuah potret kecil kehidupan, yang bercerita tentang perjuangan gigih anak manusia menemukan kediriannya yang tercerabut dari akar, karena kejamnya roda kapitalisme memutar gerak dunia modern. Barangkali, kegelisahan kita juga tak beda dengan gelisahnya banyak orang di sekitar sana: di Bunderan Senayan, emperan Tanah Abang, halaman Gereja Katedral, tepian Tanjung Priok, puncak Menara BNI 46, dan lain-lain. Mereka, kita, kau, aku, sedang berjuang mencari celah yang sama, dari hangat cahaya Matahari yang kita bagi di masing-masing hati. [jagakarsa, 060712]

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews