“Vanilla?”
begitu katamu
“Boleh
dicampur madu sedikit?”
“Ehm...
Kukira tak masalah. Asal jangan berlebihan saja,” pungkasmu santai.
“Ditambah
secuil racun?”
“Racikan
yang menarik,” tanganmu memuntir ujung kerudung merah yang terikat rapi di sisi
telinga kananmu itu. ”Supaya efek mematikannya agak terasa di ulu hati.”
Sesaat
usai kau mengucapkan kalimat tadi, aku masih ngungun terpesona dengan gigi putihmu yang bersih, dilengkapi bibir
semerah strowberi, juga hidung yang sedikit bangir, serta bola mata bulat
dengan pupil hitam arang—ditabiri sebuah kaca mata yang begitu serasi di
parasmu nan cerah. Aku masih tak percaya kalau sekian detik lalu kita baru saja
bertukar masa lalu. Ya, benar-benar menukar semuanya dengan tangan terbuka. Aku
tak yakin, apakah masa lalu kita masing-masing, dapat ditukar dengan sebaris
kalimat dan segenggam itikad...?
“Tapi
aku berbeda dari perempuan yang pernah kamu kenal?”
Sambil
menelan ludah, aku menjawab, “Hanya perbedaan yang bisa membuat keindahan jadi
berarti untuk setiap perempuan.”
“Mungkinkah
perbedaan yang membuat cinta itu tercipta?” tanyamu gelisah.
Aku
diam saja.
“...
Karena kamu begitu jauh berbeda dengan suamiku...”
Aku
masih diam.
Kau
pun.
“Wajahmu
serupa benar dengan perempuan yang kubunuh dalam ingatanku.”
“Aku
tak mau disamakan dengan perempuan mana pun.”
“Tapi
kau baru saja memberi perbedaan tegas antara aku dengan suamimu?”
“Lelaki
tak pernah mengerti apa yang disimpan perempuan dalam hatinya...”
“Lalu
kau tak berusaha untuk membaca apa yang sedang kutanam di hatimu?
Kita
bersitatap dalam gelap, dan baru kutahu bahwa ternyata cahaya juga bisa terbit
dari wajahmu.
“Bolehkah
aku bermimpi ada kamu di ranjang tidurku?
“Suamimu
di sebelah kiri dan aku di kanan?”
Kau
menggeleng. Aku tahu betapa bingungnya kau menemukan jawaban. Tak mengapa.
Pertanyaanku tidak ingin menuntut apa pun. Tak jua memintamu menggeser posisi
barang satu inchi. Karena aku hanya ingin sekadar bertanya, “Lalu terbuat dari
apakah cinta itu?”
“Terbuat
dari kita,” jawabmu singkat.
“Kita
berdua? Tak ada yang lain? Bagaimana dengan suamimu yang sekarang sedang
mencangkuli jantungnya sendiri itu?”
“Aku
tak pernah mencintainya.”
“Lalu
anak kalian itu bukankah buah cinta namanya?”
“Dia
memberi, aku menerima. Tapi aku tak pernah memberi apa pun selain tubuh yang
rapuh ini. Kenapa tak kita bicarakan saja irisan diantara hatimu dengan hatiku
sekarang? Tidakkah itu membuatmu bahagia?”
“Tapi
kita harus menjawab, terbuat dari apakah...”
“Cinta
itu,” sambarmu.
Angin
bisu. Malam kelabu. Waktu sepi sendiri ditikam bulan tandan tua di ujung
Sya’ban. Sebentar lagi Ramadhan. Sitor bilang, “Malam lebaran bulan di atas
kuburan.” Kataku, di kuburan aku menyimpan lebaran tentang perpisahan. Kalau
kau tinggalkan lelakimu, aku menduga akan terbit sesal di hatimu kelak. Tapi
kau tak pernah siap menerima hadirnya dibanding kehadiranku saat ini. Saat yang
memang sama-sama kita nanti. Entah untuk apa.
“Untuk
membuat cinta...” katamu.
Aku
merapat ke tubuhmu yang hangat dan menguarkan aroma parfum Bvlgari.
“Kenapa
kau baru datang sekarang?”
“Karena
begitulah garis takdir kita tertoreh...”
“Kalau
aku meninggalkannya, apakah kamu bersedia meraih tanganku?”
“Lidahku
mungkin mudah menjawabnya, namun aku tak bisa membayangkan jika aku menjadi
lelakimu sekarang—yang harus kehilangan semilyar cintanya yang sudah ia berikan
untukmu sampai saat ini.”
“Aku
tak merasa menerima secuil pun cinta darinya.”
“Lantas,
harus diberi nama apa hubungan kalian selama ini?
“Aku
tak tahu...” kau tertunduk sambil membendung airmata yang kutahu hampir
tertumpah itu.
“Apakah
kau pernah mendengar ‘Teka-Teki 3 Saringan Socrates?’”
Kau
pun menggeleng untuk ke sekian kalinya. Sayang... Aku tahu kau tak pernah menyenangi
segala hal yang berbau filsafat. Tapi kali ini, camkanlah. Teka-teki itu
sederhana saja. Isinya tentang 3 pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran, kebaikan, dan kegunaan. Kau
bisa bertanya pada diri sendiri; benarkah kau mencintai lelakimu itu? Adakah
kebaikan yang bisa kau petik dari hubungan kalian? Bergunakah dia buatmu, atau
kau baginya?
Sungguh.
Aku nyaris tak mengerti kenapa lamat-lamat tatapanmu menjauh namun kosong.
Mungkin kau benar. Aku, kami para lelaki, tak pernah bisa mengerti apa yang
disimpan perempuan di dalam hatinya. Tapi percayalah, aku hanya ingin meyakini
bahwa cinta itu bukan melulu terbuat darimu. Sehingga bila kau pergi nanti, aku
masih mampu meraba keberadaannya di dalam hatiku sampai menjelang mati. Seperti
Sapardi yang menceritakan kisah cinta kayu dan api dengan sederhana, maka aku
ingin menyederhanakan cintaku untukmu.
“Apakah
kamu menganggap cinta itu laiknya rumus matematika hingga harus
disederhanakan?”
“Pembeda
kita yang paling tegas sekarang adalah, kau sudah berkomitmen menjadi istri
seorang lelaki.
“Tapi
kita memiliki banyak kesamaan bukan?”
“Semua
kita sama dalam hal ini: kita tak tahu kapan cinta terbit, dan kapan ia
tenggelam untuk kemudian lindap entah di mana.”
Mulutmu
yang mungil seketika terkatup. Aku tahu, ada kata yang tercekat di
tenggorokanmu.
“Kau,
akan kucintai sampai tepian pelayaran nanti. Kukira, kau pun akan terus
mencintaiku meski kita tak lagi bertemu. Cinta tak melulu soal ada atau
tiadanya seseorang di hadapan kita. Muhammad rasul kita, masih menyimpan sayyidah Khadijah dalam hatinya bahkan
hingga beliau merenta.”
“Jangan
kamu samakan aku dengan nabi...”
“Apakah
yang lebih membahagiakan tinimbang kebahagiaan itu sendiri?
“Kamu
benar.”
“Apa
pula yang harus dicintai selain cinta itu sendiri?”
“Kamu...”
“Aku
sudah memilih bunga terbaik untuk ditanam di kebun hatimu itu. Siramlah ia jika
sempat. Lupakan bila memang harus dilupa. Mungkin kelak aku pun akan melakukan
hal serupa, karena cinta memang begitu. Ia halus lagi trengginas. Ia datang
sekaligus pergi. Ia jauh tapi dekat di sini. Di hatimu.”
Kau
segera menggenggam tangan kananku yang mendarat di bagian atas dadamu yang
ranum. Ingatlah saja, cinta takkan lebih berarti jika dialirkan dalam sungai
yang kering. Aku tak ingin terus berbalahan denganmu untuk soal yang
membahagiakan ini. Mari kita sucikan hati di sungai yang airnya terus berganti.
Aku sangat ingin melihatmu mandi di pinggirannya, dengan rambut hitam tergerai
yang sekarang kau tutupi dengan kerudung merah saga itu. Lalu merekam tetes
demi tetes air yang jatuh menyusuri lekuk tubuhmu yang tertakdir sebagai
keindahan. Agar aku bisa menjawab dengan lirih tanpa terdengar oleh gemerisik
daun yang sedang berbisik, “Terbuat dari apakah CINTA itu?” [selatanjakarta, 190712]
ilustrasi oleh: Salvador Dali & Martha Graham
speecheless
ReplyDelete