
Kisah
yang terpapar di atas itu [h. 133], menjadi sebuah analogi menarik untuk
menggambarkan betapa cerdasnya masyarakat adat Tanah Toa Kajang dalam meramu
Islam sebagai bagian dari budaya mereka, bahkan sampai pada masa sekarang. Tak
ada kalah-menang. Tiada yang dibuang-ditambahkan. Melulu penyesuaian demi
kemaslahatan. Sejatinya, apa yang dilakukan masyarakat Kajang itu, juga
diterapkan di banyak masyarakat Adat lain di antero Nusantara—yang masa
hadapnya terancam lantaran mereka disimpuk kalangan agama resmi. Beberapa
diantaranya masuk ke dalam penelitian yang ada di buku ini: Cerekang Luwu,
Bissu, Karampuang, Parmalim, Tolotang Towani, Wetutelu, Cikoang, Tanah Toa
Kajang. Sebagian besar masyarakat Adat itu bermukim di Sulawesi Selatan. Hanya
Wetutelu, Tanah Toa Kajang, Parmalim yang masing-masing berada di NTB, NTT,
Sumatera Utara.
Sistem
kosmologi-metafisika dan norma mereka sudah keburu dibabat sebelum dipelajari
dengan baik. Misalnya, bagaimana bangunan kosmologi mereka ternyata
berkesejajaran dengan kosmologi modern: tak ada pusat dalam tata surya. Karena
posisi si pengamat bergantung darimana ia mengamati. Mereka meyakini, bahwa
tanah serta ajaran leluhurnya, adalah awal mula dari segala yang ada. Semua
berpusat di dan kembali ke mereka. Sayang, semua itu seolah tak ada yang
bernilai di mata pihak luar. Padahal jika mau belajar jujur, sebelum masyarakat
Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan agama “resmi” lain diisbatkan di Nusantara,
merekalah yang lebih dulu mukim. Meski merasa terancam keberlangsungan
keyakinan leluhurnya dari waktu ke waktu, mereka tetap menjunjung tinggi nilai
spiritualitas.
Satu
hal yang menarik, masyarakat Adat di atas, sama-sama pernah mengalami pahitnya
masa penyerbuan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, juga Pemerintah Orde Baru dan
Reformasi serta lembaga keagamaan lain semisal Muhammadiyyah, yang ingin
“meng-Islamkan” mereka secara benar—atau Huria Kristen Batak Protestan
(cikal-bakalnya dimulai dari Rheinische Missions-Gesselscahft, Jerman) untuk
kasus Parmalim. Ketiga pihak luaran itu sama mengusung gagasan pemurnian dengan
modus berbeda, tetapi dengan menyodorkan dalih sama: bid’ah. Tetapi, bagaimana
penabalan dalih itu bisa ditepis oleh masyarakat Adat, kita bisa mengamatinya
dari apa yang dilakukan Tuan Tada dari Cikoang:
Pernah suatu kali pada
saat tahlilan, ada seorang ustadz (puritan) yang mengangkat soal perayaan
maulid, khususnya Maudhu Lompoa, yang
di cap sebagai perbuatan bid’ah dan khurafat. Mendengar itu saya bertanya,
"Bid’ah itu kan semua kebaruan, yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah.
Al-Quran seperti yang kita baca sekarang, juga tidak berbentuk seperti ini pada
masa Rasulullah. Jadi itu juga bid’ah?" Ustadz itu pun terdiam [h. 119].
Mengetahui
bagaimana masyarakat Adat ditilap hak berkeyakinannya oleh mereka yang mendaku
beragama, tak ubahnya seperti melihat dua ekor burung beda jenis sedang
berbalah tentang bagaimana cara terbang yang baik. Elang menyanggah cara
terbang merpati, yang disentil tak terima. Padahal, kedua burung itu
sedang terbang. Begitu pula yang terjadi dengan masyarakat beragama. Ada sekian
banyak dalih yang dicomot dari kitab suci Ibrahimiah untuk dijadikan prasyarat
bagi pemapasan masyarakat Adat itu. Padahal, di dalam agama Ibrahimiah itu
masih terjadi perbalahan sengit—tentang agama mana yang pantas disebut benar.
Penganut
agama mayoritas seperti Islam, atau Pemerintah misalnya, juga sama pilonnya.
Mereka rumpil betul memahami kenapa masyarakat Adat begitu menghormati hak
ulayat dan keyakinannya. Barangkali, masyarakat Adat juga kepayahan memahami
kenapa untuk menghadap tuhan mesti dibutuhkan masjid, gereja, pure, wihara,
dsb. Jika ditelusuri secara saksama, di antara rumah ibadah dan hak ulayat ada
benang merah yang bisa kita sebut sebagai keluhuran, keagungan, kesucian,
sejarah, moralitas, kebanggaan.
Ada
alasan kuat yang kemudian tertanam di relung hati masing-masing pemegang
keyakinan itu untuk memertahankannya sekuat tenaga. Maka lumrah, jika
masyarakat Adat merebut kembali hak ulayatnya yang dirayah atas nama
“pemberadaban” yang dilakukan Pemerintah dan pemilik kapital seperti yang
terjadi di Tanah Toa Kajang; PT Lonsum (London-Sumatera) merebut tanah mereka
dengan alasan ekonomi dan politik [h. 149]. Tujuan hidup masyarakat Adat adalah
menjaga hak ulayatnya. Jika hak itu dijarah, maka sama saja merenggut alasan
hidupnya.
Upaya
untuk mengawasi penduduk hingga ke soal keyakinannya, bukan hanya terjadi pada
masa sekarang, seperti keberadaan KTP dan akta kelahiran. Kolonial Belanda
sudah memulai itu dengan sebuah buku yang disebut dengan Memory van Over
Gave (Naskah timbang-terima). Di dalamnya termuat data kelahiran, kematian,
kriminalitas, perkara perdata, dan struktur raja saat itu [h. 97]. Kini, apa
yang dilakukan oleh beberapa Pemda setempat dengan menerbitkan Perda (Peraturan
Daerah) Syariat Islam, malah lebih terkesan kaku dan menguatkan usaha untuk
meredam persebaran ajaran yang berkembang di masyarakat Adat.
Satu
dari sekian banyak Perda yang timpang itu adalah, terbitan Pemda Bulukumba No.
05/2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah, serta Perda No. 06/2003 tentang
baca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin [h. 137]. Dua Perda itu jelas
memberatkan masyarakat Kajang. Dari segi pakaian, mereka harus menanggalkan
pakaiannya yang serba hitam: sarung yang disampir di pundak, celana
pendek (bisa juga berwarna putih), juga pasappu (ikat kepala). Sedang
kaum perempuannya harus merelakan sarung sebatas dada mereka, dan menggantinya
dengan baju menutupi pinggul, rok atau celana panjang hingga ke mata kaki, dan
juga kerudung yang bisa menutupi dada [h. 139]. Sedang untuk Al-Quran, ada Pasanga
ri Kajang yang sudah lebih dulu hadir sebagai ajaran. Mereka meyakini bahwa
ajaran itu untuk mereka, sementara Al-Quran untuk orang di luar kawasan Adat
Tanah Toa.
Contoh
penyeragaman lain juga dialami masyarakat Adat Wetutelu. Kesalahan tafsir yang
ditabalkan Pemerintah Daerah-Pusat, para intelektual asing bahkan setempat,
tentang waktu yang tiga—seolah berseberangan dengan ajaran Islam seputar shalat
lima waktu sehari semalam. Padahal, menurut tetua masyarakat Wetutelu sendiri,
kata itu bermakna Allah, Adam, Hawa. Juga bisa dimaknai sebagai wet=teritorial;
tu=orang; telu=tiga. Dengan kata lain, setiap wilayah punya
pemimpinnya sendiri: wet agama (Kiyai), wet adat-istiadat
(seorang Pemangku), wet pemerintah (Pamusungan).
Selain
dua pemaknaan di atas, ada satu tafsir lagi yang lebih umum: metu telu
(keluar, tiga). Simbol dari proses perwujudan dunia. Menganak, menteluk
(bertelur), mentiuk (tumbuh). Manusia-hewan lahir dan bertelur. Sedang
tanaman tumbuh dari biji. Tiga hal inilah yang saling menyelaraskan diri di
alam dunia. Konsepsi terakhir itu, dibakukan oleh tetua Wetutelu pada 1960 demi
merespons permintaan Pemerintah yang ingin menyeragamkan mereka dalam keyakinan
agama yang diakui [h. 92]. Hal yang sama juga pernah dilakukan masyarakat Adat
Tolotang yang mendukung Golkar (Golongan Karya) pada masa awal Orde Baru dan
Parmalim yang memihak PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 1955. Namun
keberpihakan mereka tetap tak berdayaguna. Karena pada kenyataannya, komunitas
Adat tetap saja dipandang sebelah mata oleh Pemerintah.
Di
luar tekanan yang dihadapi oleh masyarakat Adat itu, mencuat satu dilema
kebijakan yang kemudian kian mengancam sakralitas ajaran mereka. Di satu sisi,
tercederai-dipinggirkan, di sisi lain Pemerintah mengomodifikasi mereka sebagai
objek wisata—lahan pemasukan untuk bertambahnya kas daerah. Secara kasat dibina
dan diberdayakan, tetapi dikikis spiritnya hingga hanya menyisakan kulit luar
saja. Tak lagi ada kesempatan bagi mereka untuk melestarikan nilai-nilai
esoteris yang memang menjadi sendi dari apa-apa yang telah mereka hidupi sekian
ratus bahkan ribuan tahun lalu.
Jika
memang Islam, misalnya, mengakui Allah yang Esa, kenapa masih merayangkan
masyarakat Adat yang sebenarnya juga sedang menyembah Tuhan yang sama. Jika itu
tak diterima oleh penganut Islam, bukankah sama saja mereka meyakini ada tuhan
selain Allah? Mungkinkah ada dua tuhan yang menyelenggarakan kehidupan di jagat
semesta? Jika begitu, yang ada kacau-balau. Lantaran setiap tuhan itu akan
berebut pengaruh dan ini jelas bukan bentuk jelmaan ketuhanan. Bila itu pun
masih sulit diterima, kita harus dengan lapang dada mengikrarkan bahwa tuhan
memang tak ada.
Barangkali,
syair gubahan Sana’i dari Ghazna ini bisa membantu sebagai acuan pemahaman:
Apa pun yang muncul di
benakmu bahwa Kami seperti itu—Kami tidak seperti itu! Apa pun yang ada dalam
pemahamanmu bahwa Kami seperti itu—Kami tidak seperti itu! Apa pun yang ada
dalam pemahamanmu adalah yang diciptakan—Dalam kenyataannya, ketahuilah wahai
hamba, bahwa Kami adalah pencipta!
Belakangan,
sering kita menemukan banyak orang atau kelompok yang mendaku paling sahih
pemahamannya akan tuhan. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tipikal golongan seperti
itu sebagai al-‘ilm bi al-qirthasiyyun—pemahaman yang masih berbau
kertas saja. Apakah nalar dapat menangkap Tuhan dengan utuh? Bukankah Tuhan
hanya bisa dipahami melalui Diri-Nya?
Dengan
kata lain, tak satu pun kita boleh mengabuk Tuhan. Dia milik siapa saja. Jika
mengabuk saja tak elok, heran rasanya jika Dia tetap dipenjara dogma, doktrin,
wilayah yang bermuara pada penyimpangan nan serampangan. Memahami manusia saja
selit-belit, bagaimana pula memahami Yang Memiliki manusia? Sekalipun
terpahami, tetap ada hal (keadaan) Diri-Nya yang tak tepermanai. Tuhan
mengejawantah dalam banyak rupa, dan untuk menengarainya bukanlah perkara
mudah.
Memahami
sesuatu, itu mungkin mudah. Tapi menyadari betapa kita tak paham dengan
sesuatu, itu yang sulit. Seperti yang pernah dikatakan Socrates (470-399 SM)
“Satu-satunya yang kutahu adalah aku tak paham.” Bahkan masih jauh lebih sulit
memahami sadar atau tidaknya kita akan pemahaman itu sendiri. Lantaran
kesadaran adalah pangkal untuk mencapai derajat al-Insan al-Kamil:
Manusia Sempurna, yang jadi purwarupa Kebenaran. Jadi sebelum mengaku
benar-benar yakin dengan apa yang kita pahami, ada baiknya meyakini dulu bahwa
ada selaksa ketakpahaman lain yang mesti dipahami.
Mari
kita mencatat warisan luhur masyarakat Adat itu menjadi satu korpus. Sebelum
ajaran-ajaran luhur itu melindap entah ke mana, kita mesti menyelamatkannya
setelah diteliti lebih mendalam—bisa dikompilasi dalam bentuk buku,
ensiklopedia, atau langsung mendekatkannya ke khalayak dengan memanfaatkan
jejaring sosial yang kini pusparagam bentuknya. Dengan begitu, selain
merangsang rasa ingin tahu dan mengenal, juga bisa menumbuhkan sikap saling
memaklumi tentang bagaimana sejatinya kita mesti menjalankan keyakinan kebertuhanan
masing-masing tanpa mencederai keyakinan lain.
Dalam
Islam, ada hadis yang memuat makna serupa seperti syair Sana’i itu, “Ana
‘inda dzanni abdi bi wa Ana ma’ahu hiyna yadzkuruni...; Aku adalah apa yang
disangkakan hamba-Ku tentang-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia menyebut-Ku ...”
Allah yang Maha Agung itu ternyata santai saja disemat apa pun oleh manusia.
Meski terlalu mudah bagi-Nya memberi pemahaman kepada siapa saja yang Dia
inginkan, tetap saja apa yang kita pahami adalah kemafhuman terbatas lantaran
Dia yang tiada aras harus menyempadani diri-Nya dalam satu takrif yang jelas
terikat.
Penganut
agama jadi berperadaban bukan karena hidupnya kian mudah, berdaya guna, dan
modern, melainkan seberapa baik Sukma agama itu diterapkan dalam kehidupannya. Lantaran
manusia itu makhluk yang mengandung unsur jagat alit dan jagat gedhe,
maka dia juga bertanggungjawab kepada Tuhan, alam, dan manusia sekaligus. Ia
mesti mempertanggungjawabkan setiap tindakannya sendiri di hadapan pribadi
lain. Daya cerap manusia untuk apa yang kelak dia yakini sebagai “agama,” jelas
berkesejajaran dengan pemahaman yang dimilikinya.
Dari
sekian banyak keberhasilan yang disajikan—seperti bagaimana pondok pesantren
Asrama Perguruan Islam asuhan K.H. Ahmad Muhammad (Gus Muhammad) di Tegalrejo,
Magelang, bersinergi dengan kesenian tradisional melalui acara Pawiayatan
Budaya Adat, buku ini mengabaikan satu hal prinsipil dari masyarakat Adat
tersebut: bagaimana keterbatasan mereka sebagai sesama manusia, bisa menembusi
ruang-waktu yang sama dalam pencarian akan tuhan. Karena semua masalah
keberagamaan hanya dimulai dari kita yang terbatas ini saat menjelaskan Zat
Yang Maha Tak Berbatas. Hanya Dia saja yang paling memahami Diri-Nya. Jika
memang ada manusia yang bisa membabarkan ketakterbatasan Tuhan dengan baik,
maka detik ini juga, kita bisa menyebutnya sebagai TUHAN. []
No comments:
Post a Comment