Siapakah Kamu Sebelum Dilahirkan?


Hening.

“ Tak tahu...”

Mungkin itulah jawaban yang seketika bisa kita lontarkan untuk teka-teki (koan) khas dari ajaran Zen di atas. Para guru Zen lazim melemparkan pertanyaan sejenis yang takkan pernah ia jawab, bila muridnya bertanya balik. Pertanyaan itu nyaris menjadi pernyataan. Bedanya memang tegas. Namun kesamaan dari tanya-nyata itu selaik matahari dan sinarnya di hari siang. Hanya murid pembelajar dan perenung yang baik saja, yang sanggup menemukan jawaban koan, atas hidup yang sedang dibabarkan tuhan kepadanya detik per detik.

Koan tersebut—kendati memang teramat sulit dijawab, masih membuka peluang untuk mencuatnya sebuah pertanyaan lanjutan, “Ke manakah kita setelah mati?” Tanpa berpikir panjang kali lebar, sebagai manusia beragama kita bisa menjawab spontan;

“Hanya Tuhan yang tahu...”

Lantas apa jawaban mereka yang tidak beragama?

“Hidup akan terus berputar, ada atau tanpa kehadiranku!”

Kedua jawaban itu layak diapresiasi. Karena lahir berdasar penalaran sederhana tentang serbaneka kehidupan yang sejatinya terus berputar tanpa bisa dikompromikan barang sejenak. Dalam satu kedipan mata, sebuah bom meledak di ujung sana; Seorang anak Ethiopia menangis tersedu-sedan menahan lapar melilit yang ditanggungnya; Seekor kepompong baru saja lahir menjadi kupu-kupu; Seorang manusia lahir ke dunia; satu kehidupan mati dan tak kembali.

Itu baru satu kedipan mata. Macam mana bila sudah setahun, sewindu, separuh abad? Kita bahkan tak lagi bisa mencandra semuanya kecuali terus terseret-tersaruk dalam arus kehidupan yang tak kenal kata berhenti. Karena hidup terus menjadi, jadi, lagi. Bingkisan sederhana ini, sengaja kami persembahkan untuk pembaca budiman. Semata demi mengusung prinsip berbagi, bersama, bersuka dalam cita, berduka dengan bahagia. Ya, hanya itu saja.

Selasa malam, 10 Juli 2012, kami duduk di Taman Barito, Bulungan, Jakarta Selatan, bersama M. Aboed. Seorang pegiat seni panggung juga dunia hiburan di radio & televisi. Diantara sekian puluh manusia di kitaran taman itu, kami tenggelam dalam dunia lama: seputar seluk-liku kisah para Wali di Tanah Jawa. Perawakannya yang sedang, sangat tidak berimbang dengan letupan semangat yang mengalir dari denyar nadinya, dari tiap embusan asap kreteknya. Dalam sekian detik saja di malam itu, ia pun telah membuka selubung takdir hidup kami yang selama ini tersembunyi begitu rapi.

Kala itu, usia kami baru memasuki tahun ketujuh. Dari sebuah radio kecil merk Phillips, kami pun mulai berkenalan dengan serial sandiwara radio kesohor, Tutur Tinular karya S. Tijab. Judul yang bagus, karena berarti, nasihat atau petuah yang disebarluaskan. Sandiwara ini adalah kolaborasi apik antara Sanggar Prativi, Kalbe Farma & Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), yang mengudara kali perdana pada 1 Januari 1989 dan dipancarluaskan lebih dari 512 stasiun radio di seluruh Indonesia. Dari sandiwara inilah lahir nama-nama beken seperti, Feri Fadli, Elly Ermawatie, Ivone Rose, Eddy Dhosa, Wiwiek, Elyas, E. Herman Wijaya, Budi Klontong, Petrus Urspon, dan banyak lagi yang lainnya. Peran radio saat itu, masih begitu memesona pendengaran manusia Indonesia, termasuk kami yang masih kencur. Lahan garapan radio yang notabene adalah audial, berhasil membuat pendengarnya terbiasa membangun imaji, mencipta ruang, merasakan sensasi dari bunyi.

Para pelakon sandiwara dari Sanggar Prativi, sanggup menyihir keyakinan kami yang naif. Mereka sukses besar beralih menjadi sosok baru, para pendekar pilih tanding dari Majapahit. Sebut saja Feri Fadli. Kami masih menyapanya dengan nama tokoh yang ia mainkan, Arya Kamandanu, saat bersua di Gelanggang Remaja Bulungan, Blok M, pada medio 2000-an. Masih ada satu lagi pemeran utama yang jarang dikenal tapi membekas di benak kami hingga saat ini. Ia adalah Arya Dwipangga. Kakak kandung Arya Kamandanu yang lazim dijuluki sebagai “Pendekar Syair Berdarah.”

Syair Arya Dwipangga yang mematikan, tak kalah hebat dengan Pedang Naga Puspa—yang baru dicabut dari sarungnya oleh Kamandanu, apabila ia mulai berada dalam kondisi genting di pertarungan. Jika Naga Puspa bisa membuat nyawa meregang dalam sesaat, syair Arya Dwipangga sebaliknya. Telinga sesiapa saja yang mendengarnya bisa seketika bercucuran darah, akibat luka yang mengiris pelahan di jaringan pembuluh darah, hingga kemudian tubuh si korban meletus selaik petasan. Kesaktian dua pendekar jempolan itulah yang mengisi sore kami sampai tahun 1992.

Siapakah gerangan yang bisa mengira apa yang akan terjadi dalam kisaran sedetik dari sekarang?

Tak ada.

Sekian tahun menjelang. Kami tetap membawa “Arya Dwipangga” di dalam benak. Penyair Berdarah itu pula yang membuat kami tergila bukan kepalang pada dunia puisi & sastra. Omar Khayyam, Amir Hamzah, Chairil Anwar, adalah representasi terdekat untuk menemukan sosok Arya Dwipangga dalam pencarian kami selama setengah abad kemudian. Tak dinyana, malam itu di Taman Barito, Tuhan berkenan mempertemukan garis takdir dua anak manusia yang beririsan. Ternyata, M. Aboed adalah Arya Dwipangga yang kami cari itu. 

Perkara telah berhasil menemui Arya Kamandanu & Arya Dwipangga yang entah kenapa juga di daerah Bulungan, bukan menjadi soal utama. Berdasar kejadian itu, kami mulai menemukan sebuah keyakinan baru. Tepatnya kesadaran dalam lingkup paling subtil. Keduanya telah menjadi penunjuk jalan bagi kami untuk memahami takdir Tuhan. Sejauh yang bisa kami rasa-nikmati, hanya dunia seni sajalah yang sanggup memuaskan dahaga pencarian itu. Terutama dunia tulis-baca. Jika semasa kecil dulu, Emak selalu menyisihkan  keuntungan hasil dagangnya untuk membelikan kami bahan bacaan, kini sebagai penyunting di sebuah penerbitan, kami yang malah dibayar untuk membacai banyak buku, begitu banyak naskah yang masuk di meja redaksi.

Tuhan ternyata sudah mengabarkan bahkan sejak dini sekali, akan menjadi apa kelak kami nanti & mau diapakan hidup ini. Kita yang begitu awam, membalik logika sederhana ini dengan menyebutnya sebagai cita-cita, mimpi, harapan. Kami, termasuk sebagian kecil dari golongan manusia yang enggan menggantung harapan di angkasa sana. Juga sungkan menimang hidup dalam sekian panjang mimpi yang seringkali jauh panggang dari api. Apa pula dengan harapan...

Berharap hidup jadi lebih baik memang tak mengandungi kesalahan samasekali. Namun menimbang betapa hidup ini sudah sedemikian sempurna sedari mula, jauh lebih bernilai tinimbang mengutukinya kala kita khilaf saat melangkah. Hidup ini seolah tak menebar pesona apa pun kecuali sekelumit pertanyaan purbani yang untuk menjawabnya, dibutuhkan waktu hampir seumur hidup kita berlangsung:

“Tentang kenapa kita di sini?”

“Ke mana masa lalu itu pergi?”

“Di mana masa depan lindap?”

“Kapan ini semua menyublim jadi titik, titik, kosong..?”

[selatanjakarta, 150712





  

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews