Olah pikiran jelas tidak sama nilainya dengan mengolah makanan, raga, jiwa. Tapi setidaknya ada kesejajaran di antara itu semua: keindahan. Seni mengolah makanan dunia terbaik dikuasai oleh orang Minang. Orang Yunani untuk olahraga. Sedang olahjiwa diampu oleh mpu dari India, Cina, Timur Tengah, Indonesia. Kita bisa merunut bagaimana kesemua itu bisa terjadi. Pikiran, adalah mulanya. Meski bukan berarti pikiran adalah segalanya dan jadi fakultas terbaik bagi manusia. Pikiran itu modalitas. Ia jadi modus vivendi atas segala tindak-tanduk kita di semesta kecil ini.
Hampir semua bangsa di
antero dunia memiliki tradisi berpikirnya sendiri. Mereka berpikir demi
menciptakan adab dan peradaban yang lebih baik. Menuju kesempurnaan. Karena
keberuntungan dan beberapa hal lain, ada beberapa bangsa unggul yang berhasil
mencatat hasil pemikirannya. Sebut saja Socrates, Siddharta, Confusius, Mpu
Tantular, dan lainnya. Orang-orang besar itu sukses berat menyekolahkan pikiran
mereka sedemikian rupa. Demi kemaslahatan umat manusia dan hidup kita kini.
Socrates yang jadi
gudang ilmu sanggup berujar seperti berikut, “Satu-satunya yang kutahu adalah
aku tak tahu apa-apa.” Siddharta bisa menuntun pikirannya untuk membunuh hasrat
berkeinginan dan mendaki ke puncak tertinggi-melewati samsara dan mencapai Nirwana.
Confusius “memotret” kesyahduan juga luasnya alam Tiongkok dengan elegan,
“Langkah yang ke seribu dimulai dari langkah kecil yang pertama.” Mpu Tantular
dengan yakin merumuskan bahwa keragaman itu sejatinya mozaik yang adalah satu,
“Bhineka Tunggal Ika.” Mata rantai pemikiran mereka berkembang bak bunga
merekah di taman surgawi. Ada keluhuran di situ. Juga kedamaian. Keanggunan.
Pikiran, bukan hasil
dari cerapan osilasi 40 Hz yang disebut sebagai otak. Bukan. Otak hanya pemindai.
Semacam terminal berbagai elemen yang kemudian mengidentifikasi pergerakan
Intelek kita di ranah metafisika, lalu mewujud jadi fisika, matematika. Jadi
wadag. Nyata. Tercandra dengan indera. Russel Crowe pernah memainkan tokoh John
Nash (peraih Nobel Ekonomi pada 1994 dari Amerika) dalam sebuah film fenomenal,
A Beautiful Mind. Kecanggihan
berpikir matematis tak melulu jadi membosankan bagi John Nash. Justru
sebaliknya. Ia bahkan sanggup menyusun rumus matematika itu di langit malam dan
menerjemahkannya sebagai payung, burung, hati, kata-kata. Semua demi kekasih
pujaan hati.
Bagdad yang gersang
disulap jadi megah di ujung millenium pertama, dengan pikiran. Cordova yang
kampungan di awal Abad ke-8, jadi kota menawan. Juga dengan pikiran. Paris yang
kumuh di Abad Pertengahan, beralih jadi kota seni, cahaya, cinta, juga karena
pikiran. Manusia yang merenungi hidupnya dengan baik tentu manusia yang
berpikir. Berpikir untuk menjadi ada. “Je
pense donc je suis,” begitu kata Rene Descartes. Menariknya sebuah pemikiran-pikiran, bukan
dinilai dari sususan matra, sintaksis, kosa kata, pun bangunan premisnya.
Melainkan dari daya magis dan cerapan Spiritnya.
Antara sungai dan laut,
di dalamnya ada air yang mengalir dari puncak gunung. Air yang mengalir di
sungai itu jelas bukan air yang sama. Air asin di laut bukan lagi air dari
sungai-sungai tawar. Namun air yang bertransformasi secara kualitas. Ada
pergerakan di sana. Menyebar ke semesta.
Jadi sesuatu. Jadi hidup baru. Pikiran itu selaik air. Ia terus menapaki tangga
zaman. Melukisi hidup ini. Menorehkan tinta pemahaman. Merekam waktu. Menuntun
kita, manusia, untuk membuat dunia yang palsu, sengsara ini, jadi keindahan
purbani yang tak tepermanai. Abadi. [jakarta,
021110]
No comments:
Post a Comment