Ada banyak
cara untuk mengingat lagi masa ketika kita dilahirkan. Sebagian orang senang
melakukannya dengan menggelar pesta kecil bersama anggota keluarga, sahabat,
teman, dan kolega. Sebagian lain, memilih duduk bersama anak-anak yatim dan
kaum dhuafa demi berbagi kebahagiaan. Bahkan ada juga yang malah tak peduli
samasekali untuk melakukan rekam-jejak proses kelahiran itu. Semuanya sah. Tergantung
dari sudut mana kita mau menjatuhkan penilaian. Untuk hal yang sama pula, aku lebih
memilih jalan yang sepi. Jalan yang jauh dari ingar-bingar suara dan gempita
alat musik. Jalan ini, jalurnya hanya mengarah ke dalam diri sendiri.
Seperti
yang setiap tahun kerap kulakukan, maka kali ini aku akan mencoba menuliskan
sebuah risalah yang semoga berguna bagi banyak orang. Karena setiap manusia
pernah dilahirkan. Maka siapa pun manusianya, pasti membutuhkan reaktualisasi
diri terkait dengan latar kelahirannya masing-masing. Sebagai sebuah ritual
kehidupan, kelahiran merupakan jalan pertama bagi kita untuk menatap dunia. Langkah
perdana dari keajaiban takdir yang sudah dibentangkan Tuhan—bahkan sedari 500
tahun sebelum kita menjadi manusia. Begitulah kira-kira kabar yang kita peroleh
dari sebuah hadis qudsi.
Pesan
dari hadis itu jelas sekali. Garis hidup kita yang nampaknya misterius ini, sudah
sedemikian gamblang untuk dijalani. Karena sudah didahuui oleh persiapan matang
penciptaan Tuhan yang tidak sembarangan. Bahkan lebih tepat disebut sempurna
sebagai ciptaan. Tapi sialnya, kita selalu gagal memahami maksud terdalam dari
apa alasan kita dilahirkan. Kenapa kita diciptakan? Kenapa kita mesti ada
setelah akhirnya tiada? Itu adalah pertanyaan purba yang hanya bisa dijawab
melalui bantuan doktrinal dari kitab suci. Sebagai Muslim, tentu kita akan
merujuk Al-Quran sebagai kitab pengabar paling unggul.
Sekarang
mari kita bayangkan apa jadinya jika Al-Quran tidak mengabarkan soal itu? Mungkinkah
kita bisa menjawab bahwa kelahiran kita dulu adalah untuk menjadi khalifah fil ardh (pemimpin di muka
bumi)? Setidaknya untuk memimpin diri sendiri dan keluarga yang kita bangun. Fakultas
kedirian manakah yang akan kita gunakan untuk menjawab pertanyaan mistikal
seperti itu? Fakultas inderawi? Rasio? Atau intuisi? Semua kita bisa memilih
satu diantara ketiganya. Apa pun jawaban yang dihasilkan-diterima, takkan
berguna samasekali jika kita tak melakukan perenungan mendalam untuk segera
mengejawantahkannya dalam keseharian di dunia. Menjadikannya elan vital bagi
kehidupan yang hanya sekelebatan saja.
Adakah
diantara kalian yang ingin menyangkal betapa hidup ini persis seperti kilatan
cahaya? Lebih sederhana lagi, tak jauh beda dengan satu kedipan mata. Atau mau
yang lebih ekstrim? Benar-benar seperti mimpi di siang bolong. Seketika dan
begitu saja berlalu. Seperti pesan Socrates di Yunani dulu, “Hidup yang baik
adalah hidup yang direnungkan.” Maka sekarang aku ingin merenungi hidupku
sendiri. Bukan dengan pencapaian gemilang apa yang sudah dilakukan di belakang
sana. Tak juga dengan apa yang masih mungkin untuk dilakukan. Tapi tentang
sejauh mana hidup yang kujalani telah benar-benar layak disebut sebagai hidup
yang berdayaguna.
Satu-satunya
berkah yang bisa kusyukuri selama 30 tahun hidup di muka bumi, ya hidup itu
sendiri. Takkan ada yang lebih berarti tinimbang menghargai hidup yang sudah
diberi oleh Yang Maha Hidup. Tanpa itu, aku jelas bukan sesuatu yang layak
untuk dikenang. Karena bagaimana kita mengenang sesuatu yang memang tidak pernah
ada? Seperti mengenang masa lalu dan menanti masa depan yang akan terjadi. Sebab
keduanya sama-sama tidak eksis di hidup ini. Tak bisa dicandra. Melainkan
sekadar diingat, dibayangkan, disesali, dikambinghitamkan. Padahal hidup yang
paling sejati tak ada di masa lalu atau di masa depan. Hidup yang paling nyata
ya di sini dan sekarang.
Berdasar
itu pula, aku ingin menyelam jauh ke dalam diri. Tanpa pendar cahaya lilin;
tanpa tepukan tangan dan nyanyian; tanpa sebuah kue tart yang siap disantap; tanpa
sederetan ucapan selamat yang sebagian besarnya formalitas belaka. Aku hanya memulainya
dengan sebaris kata yang berbunyi,
“Maafkanlah
kesalahanku selama ini...”
Ibu. Maafkanlah
kesalahan anakmu yang tak pernah becus mengerti arti kata berbakti. Aku masih
teramat egois membiarkanmu letih sendiri di malam hari. Dikala kami semua
terlelap dalam tidur yang tak bertanggungjawab. Aku masih begitu tega
membiarkan pakaianmu tak terganti dengan yang baru. Melupakan air susumu yang
pernah begitu rakus kuminum dan abai membalasnya dengan apa yang kini sudah
kudapatkan. Juga mengacuhkan airmata yang sudah kau tumpahkan malam demi malam hanya
untuk mendoakan kami anak-anakmu yang dengan gagah melangkah pergi keluar rumah.
Sungguh, aku tak tahu harus dengan apa kutebus dosa-dosaku padamu.
Ayah. Ampuni
aku yang mulai melupa seberapa banyak darah dan keringat yang sudah kau peras
demi mengenalkanku pada banyak hal melalui pendidikan. Ampuni juga kekhilafanku
yang tak pernah mengerti kemarahanmu dulu saat mendidik kami sebegitu keras. Ampuni
aku yang dengan angkuh menganggapmu tak berarti di saat kita beradu tegang
untuk banyak kepentingan. Padahal kutahu kini, engkaulah yang mengajariku untuk
menjejakkan kaki di bumi, dan menghitungkan bintang di langit sana tanpa lelah.
Saudara-saudara kandungku. Bukalah
pintu maaf kalian atas segala kesombongan yang pernah terbit dalam hatiku
ketika kita mulai sama-sama menghitung sejauh mana langkah kaki ini berjalan. Aku
yang sekarang, takkan menjadi sesiapa pun tanpa bantuan kalian. Aku yang lemah
ini, takkan mampu berdiri menopang beban jika bukan kalian yang memberi bahu
untuk kusandari barang sejenak. Maafkanlah keacuhanku selama ini bila kalian
datang berkunjung dengan segenap beban—yang entah kenapa selalu kuanggap tak
berarti. Padahal, hidup kita tak mungkin berjalan sendiri-sendiri tanpa dijalin
ikatan emosional antarpribadi. Kini aku sadar seberapa banyak salahku pada kalian.
Guru. Di mana
pun kalian berada sekarang. Apa pun yang sekarang sedang kalian kerjakan. Semoga
itu membahagiakan. Terimalah uluran tanganku yang gemetaran ini. Aku tak tahu
betapa telah begitu jauh kalian kutinggalkan. Tapi aku masih terus berusaha
menjalankan semua yang kalian ajarkan. Kata demi kata. Meski untuk itu, aku tak
pernah benar-benar bisa untuk membalasnya. Jalan gelap yang dulu kalian
terangi, sekarang kulalui hilir-mudik. Tapi namamu—bahkan hadirmu, tak pernah
kuanggap ada. Adakah yang lebih berarti sekarang ketimbang menanti uluran
tanganmu untuk kucium?
Sahabat dan teman. Kalian
memang tidak pernah mengira bahwa kini kita ternyata bisa bersama. Seperti juga
aku yang tak pernah tahu betapa sebenarnya kita bisa menjadi satu tubuh yang
padu. Ada banyak hal yang sudah kalian beri percuma. Namun terlalu banyak cara
yang kulakukan untuk menghilangkan itu semua. Seolah tak ada yang berguna dari
semua itu. Padahal, segala jerih dan payah sudah kalian lakukan demi membuatku
jauh lebih baik dari sebelumnya. Atas semua khilaf yang pernah terjadi,
biarkanlah aku memeluk kalian satu per satu.
Indonesia. Sampai
detik ini pun, aku tak pernah tahu bagaimana caranya mengolah tanahmu menjadi
pangan, mengkaryakan hutanmu menjadi sandang-papan, menghargai lautmu menjadi
garam, dan memaknai apimu untuk semangat juang bagi hidupku. Aku gagal menjadi
manusia yang meng-Indonesia. Gagal mencari ruang di masyarakatmu. Abai dengan
mereka yang tersiakan di atas tanahmu. Angkuh berdiri melihat anak-anakmu
menangis terlunta menahan lapar di perutnya. Aku tak pernah becus menempatkan
diri sebagai warga negara yang baik bagi bangsa dan negeri ini. Untuk itu,
berilah aku waktu untuk berbenah diri.
Rasul Muhammad Saw. Wahai
engkau al-insan al-kamil (manusia
sempurna). Tak secuil pun jerihmu dulu bisa kuulangi, kutiru, dan praktikkan
dalam hidup yang serbamudah ini. Kasih-sayang yang kau ajarkan, tak pernah
benar-benar serius kulaksanakan. Aku gagal di banyak hal kemanusiaan. Gagal memahami
Islam yang kau bawa. Gagal meredam egotisme buta. Gagal mencintaimu yang dengan
susah payah mengajari semua manusia untuk mencintai tuhan yang satu. Shalat yang
sudah kau jemput langsung ke Langit sana pun, tak pernah betul-betul tulus
kukerjakan. Apatah lagi bicara puasa, zakat, dan haji. Jauh panggang dari api.
Ya habibi, ya nurul musthofa,
ya nurul ‘aini, ya madinatul ‘ilm, terimalah pengakuanku yang hina
ini atas segala alpa yang pernah kulakukan dengan begitu angkuh. Tak sedikit pun
usahaku yang layak bisa dibanggakan sebagai Muslim yang baik. Muslim yang hanif. Muslim yang kaffah. Muslim yang sadar bahwa hidup ini hanya senda gurau belaka.
Aku galat menyadari betapa hidup yang baik adalah hidup yang hablum minannas dan hablum minallah. Aku, masih tak mampu mewujdukan sabdamu yang
berbunyi, “Islam yang paling baik adalah jika
engkau memberi makan orang yang lapar dan menyebarkan kedamaian di
tengah-tengah orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.”
Allahu ya Rabbi. Duhai
Engkau Yang Maha Bijaksana, Pengasih lagi Penyayang. Engkau yang berkuasa atas
segala hal. Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘alannur). Pencipta dari ketiadaan. Harta
Karun tersembunyi. Bantulah hamba yang nista ini, untuk selalu berdekatan
dengan-Mu dalam tiap detik napas, dalam tiap langkah yang kujejak sepanjang
jalan. Pintaku hanya satu, benar-benar satu saja. Berkahilah sisa umurku dengan
Cinta-Mu yang Agung. Meski aku tak pernah sebatas-Mu, tapi dekaplah aku dalam
hangat Rindu-Mu. Tak ada yang lebih membahagiakan bagiku, selain mati dalam
kebaikan, dan berada di sisi-Mu kelak. Seperti saat dulu kami berikrar padamu
di Perjanjian ‘Alas. Seperti saat
semua kami belum lagi ada dan Engkau masih sepi dalam ke-Agungan. []
Ilustrasi oleh Sheerheart
No comments:
Post a Comment