Senandung Kisah tentang Juni yang Indah



AKU menganggap hidup ini selaik puisi. Apa pun yang terjadi di dalamnya, pantas untuk dituliskan. Sebab semua yang terjadi itu adalah sebuah isyarat dari Langit yang harus segera dibaca-dipecahkan. Isyarat yang bukan datang begitu saja. Melainkan untuk membawa sebuah pesan, yang membungkus ribuan makna tentang hidup yang akan terbentang di masa datang. Jika kita berhasil menguak tabir makna itu di masa kini, maka masa lalu dan masa depan takkan lagi menjadi misteri. Begitulah aku meyakini hidup ini.

            Bagiku, hidup yang indah dan sejati ada di bulan Juni. Bahkan jika tidak terlalu berlebihan, aku ingin menganggap semua bulan itu sebagai Juni. Alasannya sederhana belaka. Semua yang menghibur hatiku kerap terjadi di bulan ini. Seperti saat kamu  datang dan mewarnai hidupku, untuk kemudian kamu antarkan pada seorang lelaki yang kini menjadi suamiku. Masa-masa itu musykil tidak kuanggap indah. Karena telah mengantarkanku hingga di depan pintu gerbang hidup yang sekarang sedang kutapaki—meski berat namun tetap terasa ringan saja.

            Keyakinanku untuk menjadikan Juni bulan yang indah, makin diperkuat dengan sebuah peristiwa kelahiran istimewa anak manusia di kota Makkah pada 569 M, yang telah dicatat oleh sejarah dengan tinta emas. Itulah kelahiran seorang manusia sempurna bernama Muhammad. Manusia unggul yang tak tertandingi dari segala aspek insaniahnya. Ia telah memindahkan surga ke atas muka bumi hanya dalam waktu 63  tahun saja. Ia jualah yang mengajarkan pada semua manusia betapa Tuhan itu Maha Indah dan menyenangi segala yang bernama keindahan. Di bulan Juni pula ia menutup kisah hidupnya secara memesona pada tanggal 8 bertarikh 632 M, dengan meninggalkan ribuan surat cinta Tuhan untuk kita baca, pelajari, dan ditelaah.

Sebelum waktu memaksa kita berpisah, dan sebelum aku harus merelakan hidupku menjadi istri dari suamiku sekarang, hanya kamu satu-satunya lelaki yang berhasil mengaitkan hidupku pada bulan Juni, dengan sekian cara menawan yang masih kuingat sampai sekarang. Ingatanku tentang caramu itu, akan terus subur meski semua musim adalah kemarau. Setiap saat di kala sempat, kamu selalu membacakan untukku sebuah puisi berima indah dari Sapardi Djoko Damono, yang berjudul Hujan Bulan Juni.

Tak ada yang lebih tabah/Dari hujan bulan Juni/Dirahasiakannya rintik rindunya/Kepada pohon berbunga itu.
Tak ada yang lebih bijak/Dari hujan bulan Juni/Dihapusnya jejak-jejak kakinya/Yang ragu-ragu di jalan itu.
Tak ada yang lebih arif/Dari hujan bulan Juni/Dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu.

Sekarang, setelah bertahun-tahun kita tak lagi bersama, aku menjadikan puisi Sapardi itu sebagai pemantik semangat untuk selalu tabah. Lebih tabah dari yang sudah-sudah. Pelahan aku mulai belajar bagaimana cara merahasiakan rintik rinduku padamu, yang terus berjatuhan bersama lelehan airmata. Rindu yang selalu kupetik dari kebun bunga yang pernah kita tanami bersama. Tahukah kamu bagaimana rindu itu kulampiaskan? Setiap malam aku menggantungnya di langit. Dengan harapan kau akan datang meraihnya dan menghirup aroma wangi yang meruap dari relung-relungnya yang terdalam.

Jika ternyata Juni datang bersama hujan, maka itulah saatnya aku belajar tentang kebijaksanaan dari tiap rinainya yang turun membasahi bumi. Seperti kata para ilmuwan, “Di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.” Tanah kering yang kemudian basah, adalah tetap tanah yang sama. Keringnya tidak pergi berlalu. Mereka hanya bertukar posisi untuk sekian jenak. Setelah hujan pergi menghapus jejaknya dalam keraguan, aku akan menyusuri jalan setapak yang ditinggalkannya. Hanya demi membaui tubuhmu dalam aroma tanah yang menguar di sepanjang jalan. Kita, adalah Juni yang kehujanan.

Ketidakmampuanku untuk mengucapkan apa yang kurasa di dalam hati tentangmu, ternyata mampu menerbitkan satu kearifan sederhana—yang lagi-lagi datang bersama hujan. Tetes terakhirnya masih tetap diserap akar dari pohon bunga terakhir yang pernah kita tanam kala itu. Aku tak tahu apakah kau masih mengingat di mana pohon bunga itu kita tanam di masa lalu. Tapi ketidaktahuanku tentangmu, jauh lebih melegakan daripada aku mengetahui ada bunga indah yang sudah kau sunting di taman yang lain.

Di mana pun kamu berada sekarang, dengarlah rintihanku yang kesepian ini. Sejujurnya kuakui, bahwa mengandung seorang anak dari ayah mertua sendiri, tak pernah ada dalam mimpi hidupku. Aku samasekali tak berani menceritakan ini pada suami sendiri, tentang apa yang telah diperbuat ayahnya kepadaku. Juga tentang kepahitan bahwa anak yang kukandung ini bukanlah anaknya. Jika aku memberanikan diri untuk menceritakan aib dalam kandunganku, sama artinya aku kehilangan tiga hal termahal yang masih tersisa dalam hidupku yang rumit: suamiku, jabang bayi ini, dan nyawa sendiri yang jelas masih kusayangi.

Seandainya ruang memberi kita kesempatan untuk bertemu lagi di malam yang dingin ini, aku ingin mendekapmu sampai pagi. Sampai aku tak tahu lagi bahwa matahari sudah terbit dan terbenam sejuta kali. Tapi mengharapkan itu terjadi, sama menggiriskannya dengan menantimu datang untuk menjemputku pergi dari segala kesumpekan yang kutanggung sendirian. Putriku yang lucu itu, masih teramat belia untuk diajak berbagi derita. Di wajahnya hanya tersirat sebuah kepolosan dari waktu yang pelahan mulai menggurat garis takdirnya nanti.

Sekali waktu pernah tebersit dalam pikiranku untuk secepatnya mengakhiri semua. Tiada guna bertahan jika segala yang ada di sekitarku malah terus menghimpit. Menjadi beban yang begitu sulit untuk ditanggungkan. Beban yang tak terperi dan takkan pernah habis diurai hingga di ujung perjalanan hidupku nanti. Apakah kamu bisa membayangkan seberapa rusak dan hancurnya semua harapanku tentang hidup berbahagia? Setelah aku pergi meninggalkanmu yang terluka parah, kini aku yang dipaksa menjilati lukamu itu. Satu demi satu. 

Kumohon. Maafkanlah semua kebodohan yang pernah kulakukan dulu saat pergi darimu. Aku tak sepenuhnya benar-benar ingin menjauh dari hidupmu. Tidak. Bahkan sebaliknya. Keberanianku untuk mengatakan tidak dan melawan dari keinginan membunuh diri, semata dilandasi oleh semangat bahwa kelak kita kembali bersama. Merajut lagi mimpi-mimpi kita yang koyak-moyak dihantam badai kepiluan. Jauh di lubuk hati, aku masih meyakini akan adanya jalan terang di depan sana. Entah kapan itu akan terjadi, aku hanya bisa menunggunya. Juga tentu menunggumu.  

Aku sudah belajar bagaimana seharusnya menerima apa yang tidak diminta, dan memberi apa yang sudah diterima. Demi menghibur hati sendiri, pelahan kuisi setiap bagian yang kosong di hati ini dengan semua kelebihanmu di atas kekurangan suamiku. Juga menjadikan kelebihannya berada persis di atas segala kurang yang kau miliki. Kendati aku benar-benar tidak mencintai suamiku dengan sepenuh hati, tapi kehadirannya telah mengobati kecewaku atas ketidakberanianmu dulu melamarku. Malam-malam panjang yang kulewati dalam sepi, telah memupus semua rencana kita yang kutahu takkan pernah terlaksana.

Tahukah kamu bagaimana caraku menggarami luka? 

Suamiku melakukannya hari ke hari. Ia tak henti-henti mensyukuri kehamilan keduaku sambil terus mengelus perutku yang makin membesar. Sementara lidahku menjadi kelu untuk menyampaikan apa yang sebenarnya ia lakukan adalah sebuah kehampaan belaka. Andai ia tahu seberapa besar luka yang menganga di hatiku karena itu, tentu ia akan merasa menjadi lelaki paling malang sejagat raya. Karena telah berbagi kandungan dengan ayah sendiri.

Aku yakin bahwa kamu akan lebih cepat pulih dari luka. “Karena luka adalah bagian dari hidupku,” begitu selalu kalimat yang kamu ucapkan menjelang hari pernikahanku. Tapi tanpa sadar, kamu adalah orang yang pertama kukenang jika mengingat garis takdirku yang sudah menjadi yatim di usia ke-25.

“Kau tahu apa yang dirahasiakan takdir saat menjadikan manusia sebagai yatim?” Katamu lirih saat kepalaku bersandar di bahumu yang keras.
“Jika kamu tidak keberatan, ceritakanlah padaku.”
“Para penyair Arab kuno membandingkan nabi kita Muhammad dengan sejenis mutiara unik yang bernama yatimah. Itulah kenapa seluruh hidup beliau yang sudah yatim sejak kecil, menjadi mutiara paling berharga untuk semesta raya ini.
“Artinya?”
“Jadikanlah hidupmu mutiara untuk banyak orang.”

Lalu kita terdiam dalam hening malam.

“Kita terpisah bukan untuk bertemu lagi. Tapi memang karena harus berpisah. Inilah cara Tuhan mengajari kita memaknai takdir. Mari kita sama berjanji atas nama kebaikan sejati. Jika kelak nanti dipertemukan lagi, kita sudah menjadi manusia baru yang jauh lebih baik, lebih matang, dan bijaksana. Karena aku meyakini bahwa kita yang sama-sama yatim ini akan menjadi mutiara, maka mari kita ikhlaskan dan syukuri kepercayaan besar yang telah dititipkan tuhan kepada kita yang lemah ini, untuk menyelenggarakan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Semulia saat kita dilahirkan. Sesuci cinta yang tumbuh di hati setiap manusia. []

ilustrasi dianggit dari | http://senjadanhujan.blogspot.com



2 comments:

  1. Replies
    1. terimakasih, mega. semoga juga bersemai di hati banyak pembaca

      Delete

Total Pageviews