JAKARTA
memang kota menawan yang sarat pesona. Tapi dari sebagian besar pesona itu,
melulu material belaka yang tampak. Di kota yang renta ini, kebanalan dan
keasalian hidup, lebur jadi satu. Dibutuhkan kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual tingkat tinggi untuk bisa memahami kesahihannya. Tapi di Bali,
khususnya di kampung seniman, Ubud, proses pemilahan itu jadi terasa mudah
saja. Siapa pun yang diberi kesempatan oleh hidup untuk singgah di desa
kosmopolit ini, akan mengamini apa yang kami simpulkan barusan.
Hari itu, Rabu, 3 Oktober 2012, kami
beroleh kesempatan kali ketiga mengunjungi Bali. Setelah kunjungan perdana pada
2003 dan menyusul berikutnya pada 2010. Saat melihat ke sisi kiri-kanan, masih
tampak beberapa janur kuning terpancang di tepian jalan. Karena peringatan Galungan
yang baru saja berlangsung sebulan lalu. Bertandang ke pulau para Dewata bersemayam
ini, memang selalu memantik gairah yang sama dan cenderung berulang. Ada kesan
mendalam yang terasa nun jauh di lubuk hati, perihal bagaimana masyarakat Bali
menata hidup mereka dalam formasi Segitiga Agung: Tuhan, Alam, Manusia. Hal
paling mengesankan di Ubud adalah, apa yang menautkan ketiga matra itu: seni.
Hampir di semua ajaran besar
keyakinan manusia—terutama yang berkenaan dengan ranah spiritualitas, terdapat
sebuah adagium bahwa para pejalan tuhan di tingkat tertinggi, adalah seniman
sejati yang lahir atau dilahirkan oleh laku batinnya sendiri selama proses
menyatu dengan Yang Maha Tunggal. Sebagai Subjek-Objek pertama kreativitas
semesta, Tuhan juga bekerja dengan prinsip seni sejati. Bangsa Prancis menyebut
terma itu sebagai L’art pour l’art:
seni untuk seni. Coba saja amati segala benda di dunia ini, nyaris tak satu pun
yang tercipta tanpa prinsip kesenian dengan akurasi dan presisi sempurna.
Secara spiritual, Hindu dan Islam
nyaris bersentuhan dalam banyak ajaran. Kepercayaan Hindu pada banyak Dewa, tak
ubahnya Islam yang memercayai dengan teguh pendelegasian kerja Allah Swt kepada
para malaikat—tanpa menafikan posisi-Nya sebagai Prima Causa di jagat ciptaan ini. Multiplisitas Dewa itu pun, masih
berkesejajaran dengan Islam yang lagi-lagi meyakini sepenuh-penuhnya prinsip Asma al-Husna di bawah kendali Zat
Tunggal yang bertakhta di Alam Ahadiyah. Kejamakan dan ketunggalan bukan
perkara pelik dalam kedua agama ini. Hanya dengan pendekatan paradoks saja
keduanya bisa dimengerti. Dia ada sekaligus tidak. Tunggal sekaligus Banyak. Huwa la huwa (Dia bukan dia).
Paradoks
model seperti itu dapat didekati dengan mudah melalui model penalaran fisika
kuantum yang dikenalkan ke publik dunia oleh Albert Einstein, Erwin Schrodinger,
Werner Heisenberg, dan Fritjof Capra. Dunia riil yang kini kita gerakkan, jadi
tak berarti bila kita masuk ke ranah kuantum dan menyaksikan ada semilyar
probabilitas yang berjalan dengan hukum terbalik dan tak bisa diprediksi. Sebab
dunia memang bergerak dengan cara yang mengagumkan.
Bagi para pecinta dan peziarah dunia
spiritual di zaman modern, Ubud adalah gambaran paling tegas tentang Bali yang
paling ultim. Kita memang bisa melihat ada banyak pura dan puri di sini. Juga bale (tempat sajen yang terbuat dari
daun pisang) diletakkan di hampir setiap pelataran depan sebuah rumah atau
toko. Namun yang menarik adalah, apa yang terjadi di luar simbol-simbol Hindu
itu; keharmonisan manusia untuk berupaya memanjatkan syukur kepada Sang Hyang
Widhi Wasa selaku Sumber segala ciptaan.
Perlakuan istimewa masyarakat Ubud
itu bahkan masih bertahan hingga hari ini. Terutama bagaimana mereka hidup
membaur bersama ratusan monyet di Monkey Forest dan anjing yang berkeliaran
bebas di tiap sudut ruang. Dua jenis binatang ini masuk dalam kategori yang
disakralkan oleh orang Ubud, lebih tepatnya nyaris menjadi totem. Sehingga tak
satu orang pun berani mengusik dua jenis binatang itu di mana saja mereka
berada. Nyaris sama dengan masyarakat India yang menghormati sapi sebagai salah
satu Dewa mereka.
Seni, memang menjadi pembeda tegas
Ubud dengan wilayah lain di Bali. Bahkan menurut pengakuan I Wayan Dwija,
seorang sopir perjalanan wisata yang turut mengantar kami berkeliling, status
seniman nyaris ada di peringkat teratas dalam strata kasta masyarakat Hindu di
Ubud. Hanya profesi seni pula yang cenderung pertama kali dipilih warga Ubud
tinimbang jenis pekerjaan lain. Mudah saja untuk memahaminya. Soal ekonomi
adalah alasan utama. Mengingat status Ubud sebagai kampung seni kosmopolit yang
menjadi salah satu incaran turis mancanegara untuk mencari cinderamata.
Di sudut mana pun Anda berjalan saat
ini, mudah untuk menemukan toko atau galeri yang memajang segala macam karya
seni di Ubud. Sebagian besarnya non-pabrikan. Sehingga daya jualnya pun melonjak
tinggi. Perkara jual-beli barang seni, memang tak dapat dicerna dengan logika
pasar paling modern sekali pun. Kita hanya bisa menelan ludah dan nyaris tak
habis pikir, tentang bagaimana misalnya, harga sebuah lukisan Don Antonio
Blanco bisa mencapai angka milyaran rupiah.
Desa Ubud yang sekarang ini, tentu
jauh berbeda dengan yang dulu dilihat Blanco pada medio 1952, hingga membuatnya
jatuh cinta dan rela meninggalkan Kamboja untuk kemudian mukim, menikahi NI
Ronji, dan menjadi bagian kecil dari masyarakat spiritual Hindu di Bali,
setelah diterima dengan tangan terbuka oleh Raja Ubud dari Puri Saren, Tjokorda
Gde Agung Sukawati. Pemandangan di zaman Blanco itu, kini hanya bisa disaksikan
bila Anda berjalan agak sedikit ke tepian Ubud. Misal, di daerah Panestanan
atau Kedewatan. Di daerah itu, masih bisa dilihat lanskap Ubud yang asli—untuk
tidak mengatakannya kuno.
Jalan Raya Ubud yang semasa Blanco
masih berupa tanah, kini beralih menjadi aspal hitam yang mulus. Belum lagi ada
sekian banyak kendaraan lalu-lalang yang pelahan tapi pasti mulai menambah
kesemrawutan Ubud mendekati gaya kota metropolitan. Perubahan memang tak dapat
dihindari. Semua demi penyelamatan aset dan pengembangan ekonomi rakyat. Hanya
saja, praktik ini jelas memakan korbannya sendiri. Lunturnya nilai
spiritualitas Ubud secara gradual, yang sudah sejak lama diupayakan untuk bertahan.
Don Antonio Blanco (Manila, Filipina, 15 September 1912 - Denpasar, Indonesia, 10 Desember 1999).
karya Blanco, Balinese Dancer of the Pendet
Ubud Writers & Readers
Festival
Festival
tahunan para penulis yang sudah memasuki gelaran ke-9 ini, adalah salah satu
penyebab utama hadirnya kami di Ubud pada 3-7 Oktober 2012 lalu. Di satu sisi,
mencuat kebanggaan saat berkumpul dengan 140 penulis dari 30 negara di Cafe
Casa Luna, dan beberapa tempat lain yang dijadikan wahana untuk pertemuan para
pengarang itu. Di sisi lain, kami seolah merasa sepi di tengah keramaian dan
hiruk-pikuk festival itu. Ada spirit yang hilang dari situ.
Lagi-lagi, festival ini mengabsahkan
posisi Ubud sebagai desa kosmopolit para seniman. Kini giliran para seniman kata
untuk berkumpul bersama dalam satu ruang-waktu. Bahkan mereka juga dimanjakan
dengan sekian ragam fasilitas seni kaliber internasional. Beberapa di antaranya
adalah, Museum Seni Ubud, Neka Art, dan Museum Blanco. Maka kian lengkaplah
posisi Ubud sebagai tuan rumah. Di situ segera terjadi interaksi seni tingkat
tinggi, dengan capaian kualitas yang kelak akan mengguncang dunia seni
internasional—khusus di ranah penerbitan buku-buku sastra.
Satu hal yang mengkhawatirkan
adalah, serbuan para turis mancanegara itu mengundang komodifikasi yang
berdampak serius pada prosesi adat yang ada di Ubud. Nilai kesakralan sebuah
ritual adat, seolah akan terbayar dengan pasti oleh kucuran dollar yang dibawa
para turis ke Ubud. Ini semacam barter tak terucap, yang pelan-pelan mulai
diamini bersama oleh kedua belah pihak. Ritual adat yang sedianya luhur dan
semata demi kepentingan pelestarian semangat Langit, kini memudar dan mau tidak
mau, hanya layak disebut sebagai tontonan belaka. Ubud pun terjebak dalam dunia
spectacle. Dunia tontonan yang banal.
Saling-silang
interaksi itu semula memang menguntungkan. Tapi upaya Barat untuk selalu
mencari the others yang exotic (aneh, kuno, dan menggiurkan) dalam
kamus neo-kolonialis mereka, menjadikan Bali, Ubud dalam kasus ini, sebagai
ladang utama untuk menggali khazanah lokal yang masih terpendam di sana. Inilah
dasar kenapa hampir di tiap sudut Ubud, berdiri begitu banyak ruang baru modern
yang disiapkan secara sengaja untuk kepentingan itu—sebagaimana yang sudah kami
terakan di bagian awal tulisan ini.
Semangat Conquer to the East yang sudah sejak era Marco Polo digemakan,
tidak melulu berlatar belakang ekonomi. Sebagaimana yang semasa Sekolah Dasar
dulu kita ketahui berbunyi gold, glory,
gospel. Upaya Barat untuk menemukan Timur secara geografis-demografis, juga
sarat unsur spiritualitasnya. Ini bahkan sudah terjadi sejak lama—sedari era
guru bijak manusia lahir. Sebagaimana dinamakan Karen Arsmtrong sebagai Zaman
Aksial, di mana Ibrahim, Musa, Lao Tze, Confusius, Socrates, Sakyamuni Buddha,
Isa, Muhammad Saw, dilahirkan ke dunia.
Dunia spiritual yang hanya mengenal
dua kutub besar dalam sejarah pergerakannya: Timur ke Barat, memang tak dapat
dinafikan menyebabkan migrasi besar-besaran umat manusia di dua kutub itu.
Setali tiga uang dengan garis edar matahari sejak awal sekali terjadi di
semesta. Amanat yang dititipkan Langit itu, mewaris dalam kehidupan kita.
Sehingga harusnya, beruntunglah manusia yang secara geografis hidup di Timur.
Karena kandungan spiritual di medan kutub ini, masih terbilang besar dan akan
tetap begitu sebagai bentuk keseimbangan semesta. Kecuali memang tak lagi ada
manusia yang peduli pada nilai sakralnya.
Maka
dunia seperti yang juga digambarkan oleh Hindu, akan menemukan kehancurannya di
Zaman Kaliyuga, dan Kiamat dalam
terma Islam. Pertarungan dua kekuatan besar hidup yang fana’ ini, dapat disaksikan langsung di Ubud yang cerah lagi magis.
Di sini tergurat dengan jelas ribuan paradoks kehidupan sejak matahari terbit
hingga tenggelamnya. Antara ritual sembahyang bagi para Dewa, dengan pemujaan
manusia pada setan; Antara nilai luhur keadaban, dengan getolnya pemujaan pada
nafsu duniawi; Antara upacara demi upacara, dan di saat bersamaan diselingi
oleh hentakan musik yang memantik adrenalin lantas melenakan kesadaran. Padahal,
Kesadaran adalah proyek pencerahan terbesar dan pertama yang harus dilakukan
manusia, untuk menyelamatkan hidupnya dari kehancuran. Dari keterpisahannya
yang kian melebar dengan Sang Hyang Pramudhita. []
Puri Ubud
Sawah terasering di Kedewatan
Ngaben pada Minggu, 7 Oktober 2012
Ubud pada 1937
No comments:
Post a Comment