Dua Belas Purnama



I


SEMUA yang pernah terjadi dalam kisah ini, adalah perpaduan alami nan sempurna pertemuan seorang pemuda bernama Galat, dengan gadis perawan yang kecantikannya tak bisa dihentikan. Mengingkari kecantikannya sama saja dengan meniadakan keberadaan tuhan di semesta ciptaan ini. Purnami, begitu alam menamainya sejak lahir. Ia dianugerahi tuhan kulit sawo matang. Bola matanya sejernih sungai di pegunungan, dilengkapi alis hitam lebat yang tumbuh mengikuti garis pelipisnya. Hidungnya bak paruh rajawali yang menukik tajam ke bagian bawah. Dari mulutnya yang mungil dan bibir yang tipis, kerap meluncur kata-kata lembut dengan intonasi suara selembut sutra. Saat berjalan, kedua dadanya yang ranum dan padat seperti mangkok, ikut menggelinjang—memaksa mata lelaki mana pun untuk tak bisa beralih dari melihatnya, tanpa kedip. Tapi dari semua kekayaan natural itu, hanya rambut ikal mayangnya sajalah yang selalu membuat hati Galat bergemuruh bak ombak di Laut Cina Selatan. Apalagi jika rambut itu tergerai jatuh hingga menyentuh pinggulnya yang sintal, Galat nyaris tak punya alasan lain kecuali ingin terus memeluknya sepanjang waktu.

Namun bukan perkara kecantikan Purnami itu yang akan membuat kisah ini penting untuk kalian, melainkan apa yang kemudian akan mereka alami bersama sepanjang waktu, di Jakarta yang gegap-gempita. Jakarta yang telah menjadi saksi pahit-manisnya kehidupan manusia selama ratusan tahun, bukan hanya sekadar kota. Ia nyaris bermiripan dengan seorang gadis anggun. Setiap tahun, ada saja orang yang datang ke kota ini untuk mencari peruntungan baru—yang tak didapatkan di desa atau kota mereka sendiri. Jakarta yang penuh pesona tak pernah bisa dihentikan lajunya. Ia terus mengelabui, dicintai, dirindukan, ternista, dibanggakan dan menebar ancaman di setiap jengkal tanahnya. Bagian terakhir inilah yang kerap dialami oleh banyak orang di Jakarta, sehingga mereka akan berikrar, bahwa Jakarta lebih pantas untuk ditinggalkan tinimbang dijadikan rumah untuk menggamit masa depan. 

            Jakarta Selatan di malam itu, cerah. Awan hitam baru saja tumpah menjadi hujan lebat yang telah dinanti hampir setengah tahun lamanya. Menyebabkan suhu udara turun beberapa derajat dan meringkus selatan menjadi kedinginan, sehingga turut meredam kesumpekan yang tak pernah bisa disembunyikan oleh Galat. Ada sekian banyak soal yang mengitari pikirannya saat itu dan ia sama sekali tidak berniat menceritakannya pada siapa pun, kecuali pada malam yang selalu setia menampung begitu banyak keluh-kesah manusia sepanjang zaman.

            Purnami yang duduk di hadapannya tampak segar seperti sayuran yang baru didatangkan dari kaki gunung. Wajahnya semringah, menunjukkan apa yang ia simpan di dalam perasaannya tentang hari baru yang kerap membawa cerita lama; tentang cerita lama yang seolah terasa baru; atau tentang cerita-cerita yang entah bermuara dari mana dan tak tentu rimba hilirnya. Mendengar cerita itu, Galat sampai merasa berada di dalam cerita yang tak berujung. Lebih tepatnya seolah sedang didongengkan tentang kisah-kisah negeri jauh yang hanya bisa dinikmati di mimpi malam.

            Purnami dengan begitu lugas bercerita. Sejelas malam yang merambat pelan. Dari nada bicaranya ada semacam gelora api yang tersimpan dan siap meledak, tapi bukan sejenis amarah, tidak, lebih tepat disebut semacam sejuta harapan yang berputar cepat di atas kepalanya. Bagi Galat, nama Purnami selalu menarik dan mengesankan nuansa keterpesonaan. Nama itu selalu mengingatkannya pada masa kecil yang menyenangkan. Terutama bila malam ke-15 di tiap bulan, datang. Saat di mana ia bersama teman sepermainan juga sepupu, berkumpul di lapangan depan rumah untuk bermain apa saja yang mengasyikkan. Karena malam ke-15 adalah saat purnama tiba begitu indah. Di langit seperti ada bola raksasa menggantung begitu saja. Bola itu begitu perkasa dengan sinarnya yang keperakan. Tentu waktu itu Galat tak pernah tahu bahwa ternyata purnama beroleh cahayanya yang indah dari matahari. Baginya purnama itu indah tanpa harus didebat. Ia indah dengan segala yang dimilikinya. Kini, untuk hal yang sama pula ia menilai Purnami. Sepanjang Purnami bercerita tentang lika-liku riwayatnya, hanya soal nama itu saja yang berputar dibenak Galat. Kelak nanti, nama itu pula yang akan bersambungan dalam banyak hal di hidup mereka.

            Tanpa terasa sudah sekian banyak kata yang mereka tukar malam itu, termasuk menukar hidup masing-masing. Hidup yang seolah pernah menyatu, terpisah, lantas kembali bersua. Galat terlahir sebagai seorang pendengar sejati. Sebab itu ia senang betul mendengar Purnami bercerita tanpa henti dan benar-benar sulit dihentikan. Seolah memaksanya menjadi sebongkah patung sekaligus pengamat bermata elang. Ketika mendengar-melihat Purnami malam itu, Galat seolah ingin memberikan segala yang ia miliki kepada perempuannya, dan semua itu hanya ada dan bisa terwakilkan dalam kata-kata.


Sebagaimana kodratnya, kata-kata bertugas mewujudkan takdir tuhan dalam kehidupan. Malam yang menjadi saksi dari kelahiran sebuah kehidupan baru, yang kelak akan berakhir pada hari ke-365. Malam itu Desember lima. Duaribu duabelasnya lenyap ditelan gelap. Keringat bacin yang menetes di tubuh mereka yang polos tanpa busana, jadi alasan pertama sebuah perubahan besar dalam hidup Galat. Ia sama sekali tak menyadari bahwa perempuan yang baru saja ia nikmati sari pati keindahannya itu, bukan hanya gadis jelita; bukan seorang manusia yang tidak mempunyai sejarah; bukan pula seonggok tunggul pohon beringin yang mati terbengkalai di pinggir jalan. Justru hidup Purnami sangat berdekatan dengan hidup Galat yang lebih mendekati manusia tanpa masa lalu. Ketika takdir telah menggurat detik kelahiran seorang manusia baru di dalam rahim Purnami, detik itu pula garis wajah Galat bertambah tua setahun. Ya, mereka baru saja mengulang salah satu riwayat dosa manusia yang paling purba. Benih yang ia tanam di rahim Purnami, berlangsung tanpa restu dari tuhan.

Seperti halnya Galat, Purnami juga tak mengetahui pasti riwayat yang melatari hidup lelakinya. Ia bahkan tak peduli dari tanah jenis apa Galat terlahir; dari jenis air apa pula tubuh Galat tersusun satu demi satu. Ia hanya tahu satu hal, bahwa ada begitu banyak kesamaan di antara mereka yang seolah telah disiapkan oleh hidup sebagai rancangan agung. Keduanya sama-sama pecinta hujan, penikmat malam, peminum setia kopi-kopi khas Nusantara yang selalu mereka nikmati dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya. Sedari warung kopi di Tanah Gayo, hingga warung kopi di bumi Flores. 

Keduanya juga pembaca akut buku-buku langka yang lebih sering terlantar di rak terbawah yang berdebu dan selalu diberi bandrol harga yang terkadang bisa dibeli dengan uang jajan anak kelas 1 SD (Sekolah Dasar). Mereka bisa sama-sama tenggelam dalam lusuh kertas, bau apek bekas ginggitan ngengat, debu yang menempel, dan rentetan huruf-huruf yang hidup serta berkelebatan dalam benak mereka saat membalik halaman buku. Peran sebagai manusia bebas yang sudah mereka jalani sejak kecil adalah perekat utama dari bersatunya dua pikiran; dua tubuh; dua jiwa; dua hati; menjadi satu. Mereka nyaris sulit dipisahkan setelah sebelumnya terpisah sekian lama dalam jarak rentang sepanjang 30 tahun dari masa lalu.

            Malam yang keperakan di Jakarta; pendar cahaya merkuri yang setia di tepian jalan ibukota; riuh-rendah kendaraan yang lalu-lalang menerobos kemacetan; juga sisa rinai hujan yang menyapu bersih debu-debu yang mengotori Jakarta, turut menandai garis takdir yang baru saja ditorehkan oleh Purnami pada kening Galat, yang membuatnya mulai terlihat menua setahun dari umurnya yang sebernarnya baru saja memasuki angka 31. Keduanya baru saja menjadi agen utama waktu menyelenggarakan kehidupan yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia.

            Ketika bulan mulai mengantuk dan terjerembab di barat, Galat dan Purnami telah sama-sama terlelap dalam bilik mereka di Jagakarsa. Satu hari baru saja mereka lewatkan dalam mimpi yang datang bersama adzan Shubuh, yang baru saja berkumandang di langit pagi. Semburat cahaya jingga di ufuk timur muncul pelahan seirama dengusan napas-napas manusia yang baru saja terjaga dari tidur mereka. Bau tanah sisa hujan menguar di udara. Jalanan becek ditutupi daun-daun tua yang berguguran tadi malam. Daun-daun itu baru saja merekam kebejatan sepasang anak manusia yang dengan begitu indah melanggar kodratnya sendiri.

            Jakarta yang tua renta kembali menggeliat. Para komuter sudah bersiap menjalani hari barunya. Para istri sudah bergegas melepas keberangkatan suami tercintanya ke tempat kerja masing-masing, sekaligus mempersiapkan langkah pertama anak-anak mereka menuju sekolah. Jalanan kembali riuh oleh deru mesin kendaraan dan bunyi klakson yang tidak tahu sopan-santun. Jakarta yang menua tak sanggup membuat anak-anaknya menjadi bijak. Sebaliknya, mereka malah menjadi srigala berkepala manusia yang tak berbelas kasih; seolah bertata-krama; kelihatan shaleh; nampak terdidik; tetapi bebal dalam menyikapi banyak hal. Tidak di selatan, di utara, di timur, di barat, dan pusat Jakarta, sebagian besar manusia di dalamnya adalah zombi yang terbangun di pagi hari dan kembali ke kuburannya sambil terhuyung-huyung ketika malam berhasil meringkus matahari dalam selendang hitamnya.

Galat masih terlelap saat Purnami pergi menuju tempatnya bekerja di sebuah panti asuhan  yang sering ia tempuh dengan berjalan kaki. Meski berparas cantik dengan tampilan sederhana namun menawan, Purnami yang tidak memiliki latar pendidikan apa pun hanya bisa menjadi pekerja kelas paria di Jakarta. Di panti asuhan itulah ia menghabiskan hari-harinya sebagai ibu dari anak-anak malang yang dibuang orangtuanya begitu saja sejak kecil. Saat berhadapan dengan anak-anak yatim piatu itulah ia seperti sedang melihat masa lalunya terbabar lembar demi lembar. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana hidupnya harus berpindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya, dari satu rumah penampungan ke rumah penampungan lain.

            Seperti mereka yang terbuang di panti asuhan, Purnami memang sangat merindukan kedua orangtuanya. Hampir setiap malam ia habiskan dengan lamunan yang kerap berujung pada tidur yang gelisah. Hampir sepanjang hari ia menangisi hidupnya sendiri yang terlahir sebatang kara. Bahkan dalam desah napasnya ia mengutuki masa lalu yang ia curigai bersengkokol dengan waktu untuk menghapus masa depannya. Hanya sepi, diam, dan kekosongan yang menjadi teman setianya dalam menjalani hari-hari yang gundah, hingga kemudian ia memberanikan diri untuk memberangus semua harapan dan mimpinya untuk bertemu dengan kedua orangtua yang selalu gagal ia bayangkan dalam pikiran.

            Entah berapa banyak air mata yang tumpah, entah berapa banyak pilu yang ia pupus satu demi satu saat kerinduan purbanya pada sosok orangtua mencuat begitu saja. Pernah suatu kali, saking tak kuasa menahan derita, ia membulatkan tekad untuk menutup riwayat hidupnya sendiri di ujung sebuah belati yang tergeletak begitu saja di meja dapur panti asuhan tempat ia tinggal dulu. Andai tak ada Galat di saat-saat genting itu, Purnami takkan pernah menjadi tokoh kunci dalam cerita ini. Andai tak ada Purnami yang berniat untuk bunuh diri, tentu takkan ada Galat dalam cerita yang sedang kalian baca sekarang. 

           Dua anak manusia itu memang terlahir untuk tenggelam dalam derita. Terseret dalam arus deras rimba
raya Jakarta, dan tunggang-langgang mengejar laju waktu yang tak pernah kenal berhenti. Kenangan-kenangan buram masa lalu itulah yang membuat Purnami tegar seperti pohon randu. Kedatangannya setiap hari di panti asuhan itu selalu dinanti oleh puluhan anak-anak yang terlanjur menganggapnya sebagai induk semang, juga bagi seorang lelaki paruh baya, Haji Uban, yang pelahan tapi pasti telah dianggapnya sebagai ayah sendiri, sekaligus kepala keluarga di Panti Asuhan Darul Hikam, yang lebih dikenal sebagai rumah para malaikat kecil itu.






         Haji Uban telah menjalani hidupnya selama 53 tahun. Perannya sebagai pemilik dan pengasuh Darul Hikam, sekaligus mengangkat derajatnya sebagai salah seorang tetua Jagakarasa. Perawakannya tinggi besar dengan rambut gondrong sebahu—demi mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw. Mata kanannya rusak tergores kaca, kenangan dari kehidupan kelam di masa mudanya saat menjadi bromocorah di Blok M, Jakarta Selatan. Di usia yang nyaris di ujung itu, Haji Uban masih terlihat gagah. Ia masih memiliki dada bidang. Juga masih cekatan mengerjakan banyak hal untuk mencukupi kebutuhan anak-anak asuhnya. Sejak mendirikan Darul Hikam, ia pun dikenal sebagai bapak para malaikat.

            Letak Darul Hikam ada di tusuk sate salah satu pertigaan jalan Jagakarsa. Persis di depan Darul Hikam, terdapat jalan menurun dan berliku menuju lembah. Warga sekitar menamai lembah ini dengan sebutan Andara. Di Jagakarsa, Andara adalah satu-satunya tempat yang masih menampakkan wajah asli masa lalu. Kontur tanahnya bertingkat. Sehingga memudahkan warga untuk berladang palawija—tanpa mengandalkan irigasi. Karena curah hujan di selatan Jakarta terbilang tinggi setiap tahunnya. Kegiatan berladang itu menjadi pilihan kedua warga Betawi Andara selain berladang rumah kontrakan.

            Sejak Galat mengenal seluk-liku Jagakarsa, maka ia pun memilih Andara sebagai tempat tinggalnya bersama seorang seniman patung, Putu Oka Sunarta asal Ubud, Bali. Sebuah rumah sederhana berhasil mereka bangun di atas tanah yang mereka beli dari Haji Uban, dengan menggunakan uang hasil membuat patung Gajah Mada pesanan seorang kolektor asal Prancis. Sebidang tanah itulah yang menjadi perekat hubungan antara Galat, Purnami, dan Haji Uban. Ketika berhasil menggagalkan upaya Purnami untuk bunuh diri, Galat langsung membawanya ke Darul Hikam, dengan alasan, supaya Purnami beroleh harapan untuk kembali menyambung hidupnya.

            Haji Uban yang memang memiliki jiwa kepedulian pada sesama, tak berpikir panjang saat menerima kehadiran Purnami di Darul Hikam. Pada hari pertama kedatangannya, Purnami malah langsung diberi mandat oleh Haji Uban untuk mengurusi puluhan anak yatim yang selama ini ia ladeni sendirian. Seperti diterimanya ia, seperti itu pula Purnami menerima amanah—lengkap dengan hatinya yang seketika dipenuhi taman bunga. Ia seperti sedang merasa di dunia baru. Meski selama 25 tahun hidupnya, juga telah ia tuntaskan di banyak panti asuhan.

Siapa pun orang yang melintasi Jagakarsa dan melihat Darul Hikam, sepintas mereka akan menduga tempat itu adalah sebuah masjid. Itu karena tampilan luarnya didesain sedemikian rupa oleh Haji Uban sendiri, dengan meniru gaya arsitektur masjid Timur Tengah dan memadukannya dengan gaya bangunan khas Nusantara. Pintu gerbangnya persis seperti yang terdapat di Masjid Kudus. Bedanya, di situ tak terdapat piring-piring kuno dari Tiongkok. Maka untuk menggantinya, Haji Uban sengaja memilih kaligrafi bertulisan Allah dan Muhammad—masing-masing di sebelah kanan dan kiri. 

Setelah melewati gerbang masuk, sebuah pintu berukuran 2x2 meter asli Jepara sudah menanti untuk dibuka. Jadi bisa kalian bayangkan bagaimana indahnya perpaduan gaya bangunan Darul Hikam di bagian luar? Sekarang mari kita masuk ke bagian dalam. Bila pintu ukir Jepara itu dibuka, maka akan terlihat sebuah selasar panjang yang di sisi kiri-kanannya terdapat kamar-kamar kecil. Masing-masing kamar diberi daun pintu dan jendela yang terbuat dari anyaman bambu—untuk melengkapi tembok yang batanya tidak dilapisi dengan semen. Jadi warna merah bata itu segera berpadu sempurna dengan bambu yang telah berwarna kuning gading. Sebuah pilihan pewarnaan yang luarbiasa cerdas.

Bangunan tengah Darul Hikam, dibiarkan terbuka dan benar-benar hanya beratapkan langit. Tapi bukan hanya itu letak nilai seninya. Bagian terbuka itu disulap menjadi taman asri lengkap dengan aneka bunga warna-warni, beberapa bangku kayu, empat buah obor di tiap sudut sebagai penerang di malam hari, dan sebuah air mancur yang bentuknya seperti Bunga Bangkai. Persis setelah taman itu, berdiri sebuah mushala berukuran 9x9 meter persegi yang semua materialnya berasal dari campuran bambu betung dan bambu Cina. Mushala itu sengaja dibentuk seperti panggung, karena di kolongnya ada sebuah kolam ikan mas yang sesekali dipanen untuk lauk makan para santri. Begitu Haji Uban menyebut anak didiknya di Darul Hikam.

Baitul Firdaus, adalah nama yang disematkan Haji Uban pada mushala itu. Di Baitul Firdaus pula, ia memperkenalkan Purnami kepada para santrinya. Mengetahui kedatangan anggota keluarga baru seperti Purnami, wajah para santri Darul Hikam pun terlihat berseri-seri. Terutama pada wajah Nanda, santri terkecil, yang ditemukan Haji Uban di gerbang Darul Hikam dalam sebuah keranjang bambu pada sebuah Shubuh, tiga tahun lalu. Kelak nanti, bocah lelaki kecil itu mungkin akan mengetahui betapa hidupnya dan hidup Purnami sama mengenaskan lagi memilukan.  

Bagian belakang Darul Hikam ditumbuhi oleh pepohonan buah yang menjadi hiburan tersendiri penghuninya bila telah datang musim berbuah. Rambutan jenis Rapi’ah, pepaya, jambu klutuk dan jambu air, sirsak, kakao, adalah beberapa pohon buah yang ditanam di halaman belakang Darul Hikam. Sedang pohon manggis, matoa, gandul, durian, adalah jenis pohon buah yang memang sudah tumbuh di situ sebelum Darul Hikam dibangun dan Haji Uban sengaja membiarkannya terus tumbuh besar.

Setelah proses perkenalan dengan para santri Darul Hikam, Purnami menghampiri Galat yang datang menyusulnya—karena Purnami meninggalkannya lelap dalam tidur pagi tadi.
“Tumben kamu bisa bangun pagi?”
“Putu yang membangunkanku. Ia baru saja tiba dari Ubud.”
“Putu bawa buah tangan apa untukku?”
“Kain Bali. Nanti kamu bisa ambil ke rumah. Aku datang hanya sekadar memastikan keadaanmu saja...”
“Aku baik-baik saja kok. Malah jauh lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri.” sambung Purnami sambil mencubit pipi kanan Galat dengan gemas.
“Aku minta maaf soal kejadian tadi malam... Aku sungguh menyesal.”
“Kamu bicara apa sih? Aku senang kok melakukannya sama kamu. Itu karena aku mencintaimu, Galat. Karena aku juga ingin menjadi istrimu.”
“Tapi...”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Nanti kamu jadi tambah tua loh.” Purnami menggoda Galat seolah lelaki itu anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa.
“Umurku sudah 31 tahun.”
“Astaga..!”
“Kenapa? Ada yang salah?” Purnami seketika terdiam sambil mengatupkan kedua telapaknya di mulut.
“Kenapa, Purnami?”
“Wajahmu...”
“Ada apa dengan wajahku?” tanya Galat penasaran.
“Wajahmu terlihat lebih tua..” [bersambung]
 

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews