Dua abad lalu, Istana itu masih
menjadi simbol kebanggaan kami. Di dalamnya, raja dan permaisuri selalu
disuguhi beragam hiburan. Sedari taman-taman indah, tarian, musik, drama, pembacaan
puisi dari para penyair andal, juga oleh pemikir-pemikir kerajaan. Tapi dari ke
semua itu, Raja kami hanya menggilai kegiatan tulis-menulis. Ia begitu senang
membaca tulisan para sastrawan, filosof, dan sufi kembara. Baginya, dunia hanya
sekumpulan tulisan. “Karena dari kegiatan menulislah, dunia ini dibangun
menjadi lebih berwarna.” begitu petuah Raja kami selalu.
Semasa
aku kecil, Nenek sering bercerita, bahwa dulu, di taman depan Istana kuno itu,
ada seorang penulis penyendiri. Tatapan matanya sering ia arahkan ke laut
lepas, lalu kemudian menorehkan sebuah cerita di atas kertas dan menuturkannya
kepada semua orang dengan begitu bergairah. Setelah itu, para pendengarnya
hanya bisa terpana lalu menekuri bagaimana ia bisa menemukan cerita seperti itu
dari alam sana. Ada lagi penulis lain. Seorang perempuan. Ia kerap terlihat duduk
mencangkung di bawah pohon beringin, di samping Istana. Orang-orang selalu
mengamatinya menulis puisi-puisi indah dan tertidur pulas usai ia membacakan
puisi gubahannya itu. Di gapura Istana, juga ada penulis lain. Lelaki periang,
dan piawai meramu kisah masa lalu dalam dongeng-dongeng kehidupan. Kata ibu
nenekku, ia seperti Ibn Tufail pengarang Hayy
ibn Yaqzan dari Andalusia.
Tiga
orang seniman kata itu adalah buah bibir rakyat di kitaran Istana tahun ke
tahun. Meski selain mereka, masih banyak penulis lain, dengan bakat dan juga
kelebihan masing-masing. Tapi kisah menawan tiga sastrawan itu, jauh lebih
menarik untuk didengar, dibaca, tinimbang penulis lainnya. Kini, mereka memang
sudah tak lagi bisa ditemui. Bahkan makamnya pun tidak. Kami hanya bisa melihat
beberapa manuskrip peninggalan mereka. Sebagian ditulis tangan dengan
menggunakan bahasa Arab dan Arab Melayu, dengan dihiasi oleh lukisan-lukisan
menarik di tepian sampul dan halamannya yang bergaya Arabesque. Bagiku, manuskrip itu jelas harta karun paling berharga.
Tanpa itu, kami nyaris tak memiliki kebanggan apa pun kecuali kenangan, cerita,
dongengan belaka.
Kini
Istana itu kosong-melompong. Penghuninya entah pergi ke mana. Nenek tak pernah
mau menceritakan apa sebabnya, kecuali bahwa dulu pernah ada sebuah ramalan
dari roman karya seorang penulis sufi, tentang runtuhnya kerajaan kami di masa
mendatang karena serbuan bangsa biadab dari seberang lautan. Buku itu banyak
dibaca khalayak. Bahkan Raja sendiri memberikan penghargaannya kepada si pengarang,
dengan emas seberat buku yang tebalnya ratusan halaman itu. Tapi si sufi
kembara tersebut tak mengambil hadiah dari Raja dan malah menyarankannya untuk
diberi kepada para fakir miskin saja.
Sufi
kembara itu sering berada di depan Istana sembari bercengkerama dengan
dedaunan, batu-batu, rama-rama, bebungaan, dan angin. Ia tak begitu senang
berbicara dengan manusia dan lebih memilih diam membisu hampir di setiap hari-harinya. Di saat menulis, ia
senang menghadap ke barat demi menghormati lautan dan juga Ka’bah, sambil
membiarkan rambutnya yang sepundak tergerai dan berkibaran disapu angin dari
laut lepas. Jika sudah selesai menulis,
ia akan memanggil beberapa orang anak kecil, para remaja, untuk mendengarkannya
bercerita. Hanya dalam waktu singkat, ia sudah dirubung oleh orang banyak. Kata
nenek, ketika bercerita, di wajahnya memancar cahaya terang menyilaukan.
Muhammad Isa Nuruddin. Begitu ia menorehkan nama di sampul buku-bukunya.
Muhammad sang Nabi terakhir adalah cahaya semesta. Isa tercipta dari Cahaya.
Sementara Nuruddin adalah cahaya agama. Mungkin itu satu dari sedikit alasan
kenapa orang-orang lebih sering menyapanya dengan, Matahari.
Daya
pikat Matahari sebagai seorang sastrawan berbakat, terletak pada daya magis
tulisannya. Ia mampu membuat para pembacanya meyakini bahwa semua tulisan
romannya itu adalah nyata. Bukan khayal. Apalagi takhayul. Ia pernah membuat
sebuah kisah tentang benteng di atas bukit milik seorang pemikir brilyan.
Awalnya, si pemilik benteng adalah punggawa kepercayaan di kerajaan besar
dengan wilayah kekuasaan membentang dari timur ke barat. Di kemudian hari ia
beralih jadi pemberontak karena kepemimpinan raja mulai melenceng dari jalur.
Ia mengumpulkan para pengikutnya untuk kemudian dilatih sebagai pembunuh berdarah
dingin.
Dari
benteng itu, cengekeraman lalim kerajaan mulai diberantas. Para pembunuh
berdarah dingin itu berhasil menjadi penyusup jempolan di setiap garda depan
pasukan kerajaan, membunuh komandan perangnya, lalu menyerang balik kerajaan
dengan sedemikian rupa. Kelihaian, ketangkasan, kekejaman mereka sama dengan
kegelapan malam tanpa bayangan. Bahkan hingga seribu tahun kemudian, benteng
itu masih juga tak tertembus untuk ditaklukkan oleh kerajaan mana pun, dan
pengikut mereka terus menyebar ke segenap penjuru dunia. Mereka jugalah kelak
penyebab ambruknya kerajaan kami. Begitu tulis Matahari dalam roman besarnya di
kemudian hari.
Kisah
Matahari itu mulai diamini banyak orang setelah seorang saudagar dari Samarkand
menyampaikan bahwa benteng tersebut memang ada dan masih berdiri kokoh di atas
bukit. Semua ceritanya itu pun, tak meleset barang satu kalimat. Sejak itulah,
warga kerajaan, kian mengaguminya sebagai pengarang hebat penuh pesona. Dari
saudagar itulah Matahari beroleh modal untuk menerbitkan karya-karyanya
termasuk Kisah Seorang Penyendiri:
Tentang Keruntuhan Sebuah Kejayaan, buah karya monumentalnya selama ia
hidup di lingkungan kerajaan kami dulu.
Kisah
keruntuhan sebuah kejayaan karya Matahari itu, dilipur oleh penulis lain.
Seorang penyair muda berparas bak purnama: Seruni. “Menampik keanggunannya,
sama saja dengan menodai keyakinan terhadap tuhan,” begitu kata Nenek kepadaku.
Kepiluan, nestapa, duka, dalam roman itu, ia ganti dengan dunia penuh warna
bahagia. Pohon beringin di samping Istana itu, adalah saksi bisu tempat ia
menggamit momen-momen puitis dari alam imajinal, dan menggubahnya jadi
puisi-puisi indah. Di setiap larik puisinya, terselip keharmonisan dunia manusia
dengan alam, dan tuhan. Segitiga Agung itu adalah sihir bagi para pendengar
puisinya. Karena setiap kali ia membacakan puisi-puisi itu, orang-orang bisa
segera tertidur, lalu terbangun dalam kondisi melupa. Di benak mereka hanya
membekas perpaduan manis antara kata-kata, janji abadi, juga hidup penuh
keceriaan.
Para
pengagum Seruni terdiri dari pemuda-pemuda tampan, gagah, pemberani. Sebagian
mereka adalah prajurit kerajaan. Sebagian lainnya, warga biasa. Mereka inilah
napas dari puisi-puisi Seruni. Karena dari mereka pula puisi-puisi itu menyebar
secepat angin di pasar, jalanan, pertokoan, masjid, gereja, sekolah,
rumah-rumah. Para pemuda itu bukan hanya mengagumi puisi Seruni, tapi juga
berhasrat untuk menyuntingnya menjadi istri. Tapi hasrat mereka tinggal menjadi
asap. Seruni tak pernah tertarik dengan itu semua. Ia hanya tahu bahwa setiap
hari adalah rambatan waktu dari puisi. Setiap waktu adalah ia sendiri.
Demi
menghormati kepenyairan Seruni, Raja memerintahkan seniman Istana untuk
menorehkan puisi-puisi indahnya di dinding balairung, tempat ia menyambut para
raja, perdana menteri, dan duta besar dari negeri lain. Dari puisi-puisi Seruni
itulah kemudian tersiar kabar ke berbagai penjuru, bahwa ada sebuah kerajaan
makmur, damai, sejahtera, dengan keramahan penduduk dan juga kekayaan alamnya.
Berkah dari kebaikan Tuhan kepada bangsa kami selama ribuan tahun. Puisi itu
juga penyebab utama kealpaan Raja mengurusi rakyatnya. Ia tak pernah mau
melihat dunia nyata. Padahal, di luar Istana ada begitu banyak ketimpangan
moral masyarakat. Kesenjangan ekonomi kerajaan adalah sebab utamanya.
Tangan
Raja kami mulai mengeras selaik besi. Ia pantang dikritik. Kebenaran hanya
miliknya seorang. Kata nenek, ia pernah menghukum mati perdana menterinya
dengan dimasukkan ke kandang harimau. Semua punggawa kerajaan ia paksa
menyaksikan pemandangan seperti itu, sementara ia sendiri sanggup tertawa
terbahak-bahak menyaksikan tubuh si perdana menteri dikoyak-moyak harimau
kelaparan. Tak hanya itu. Raja juga pernah menggantung terbalik seorang pencuri
roti dengan kobaran api di bawah kepalanya, hingga kulitnya melepuh, mengelupas
dan bau sangit daging terbakar pun meruak ke mana-mana. Semua itu, selalu
tertabiri oleh puisi Seruni untuk sekian lama;
pada waktunya nanti/puisiku kan
jadi petaka indah/dari satu bentuk kematian/dan kelahiran kembali anak manusia.
Perilaku
Raja hasil buaian puisi Seruni itu, dikisahkan dengan baik oleh seorang
pendongeng kawakan. Suluh namanya. Ia sering menggantung kisah-kisahnya itu di
gapura Istana, untuk dibaca para pengguna jalan dari berbagai sudut kerajaan.
Jika orang-orang sudah mulai berkumpul sambil membaca kisahnya, ia akan tertawa
riang sambil menari lincah sesuka hati. Kemampuan menulis Suluh, berbanding
lurus dengan kelihaiannya menari. Menulis dan menari adalah cara baginya untuk
berbahagia, karena ia tahu, kisahnya di atas kertas itu akan segera menguap ke
udara, beterbangan, lantas hilang, tapi mengendap di ingatan banyak pembacanya
sebagai kenangan masa lalu. Seperti Hayy
ibn Yaqzan tokoh rekaan Ibn Tufail, atau Robinson Crusoe dari Daniel Defoe, Suluh selalu membayangkan
dirinya sebagai seorang manusia bebas tanpa keinginan, harapan, dan masa
depan.
Keunikan
Suluh itu jadi pelempang jalan baginya untuk angkat senjata dengan menggunakan
pena. Karena hanya dengan menulislah ia bisa menyuarakan keluhan rakyat di
kerajaan kami. Selain itu, ia bisa dengan leluasa menulis teguran sekeras apa
pun untuk Raja di Istana, karena setelah dibaca kali pertama, semua tulisannya
itu akan segera menguap, dan tak ada bukti untuk bisa menjeratnya dari
kesalahan. Dengan mengisahkan raja dalam dongengan itu, Suluh berharap bahwa
kelak nanti, semua kedegilan Sang Raja bakal menguap dalam ruang-waktu. Seperti
menguapnya kisah-kisah itu di udara.
Seiring
waktu, berita seputar dongengan Suluh itu pun sampai ke telinga Raja. Ia
menjadi muntab seketika dan memerintahkan pengawalnya menangkap Suluh untuk
diadili di mahkamah kerajaan. Mengetahui tak satu pun bukti bisa diajukan,
amarah Raja kian tak tertanggungkan. Suluh dibawa ke alun-alun Istana, diikat
di sebuah tiang, lalu dibakar di depan ribuan pasang mata. Usai pengadilan naas
itu, seisi kerajaan jadi mencekam. Raja melarang semua kegiatan mengarang. Apa
pun bentuknya.
Kini ia
tak lagi bisa menikmati keindahan puisi Seruni di tembok Istananya. Bahkan
tanpa tedeng aling-aling ia juga memerintahkan penangkapan Seruni, dan membakar
semua buku di perpustakaan Istana. Tapi Raja terlambat menyikapi perkembangan
di luar Istana. Seorang dari Samarkand, entah si pedagang rekan Matahari itu
atau siapa. Intinya, ia berhasil menyulut emosi rakyat untuk bangkit menentang.
Membangkang. Sementara Seruni terlanjur didaulat untuk menulis puisi-puisi
perjuangan dari gerakan mereka. Ancaman dan ketakutan pun merebak di setiap
lorong kerajaan. Tak ada lagi keamanan, keselamatan.
Nyawa
semua orang terancam dengan caranya sendiri-sendiri. Darah bersimbah di mana-mana.
Di setiap jengkal tanah, tempat segala sesuatu pada mulanya bernama
kebahagiaan. Negeri kami porak-poranda oleh api dalam sekam. Musuh dalam
selimut menyebar di tiap jengkal tanah. Kepercayaan, tak lagi bisa diserahkan
pada orang lain, kecuali hanya untuk diri sendiri. Setiap pasang mata adalah
pengintai bagi mata lainnya. Lengah sekali saja, hidup bisa berakhir dalam
kubangan darah.
Hingga
sekarang usiaku berkepala tiga, cerita Nenek tak pernah lebih dari itu. Ia
selalu bungkam jika aku terus memaksanya untuk berceritera lebih panjang. Ia
mengatakan bahwa para penulis adalah musuh malaikat di Langit. Mereka selalu
mencuri rahasia hidup dan membabarkannya sebelum terjadi. Tapi Nenek juga tak
bisa menyembunyikan kekagumannya pada para penulis, karena ia mengakui bahwa
kerja besar para nabi dan rasul, dilanjutkan oleh para penulis dari abad ke
abad. Penulis, adalah peramal sejati hidup ini. Begitu keyakinan Nenek di dalam
hati.
Pulau
dengan taman para penulis tempat kami menetap kini, tinggal menyisakan
puing-puing cerita dari masa lalu. Semua pergi dan berlalu begitu saja. Sejak
peristiwa kehancuran itu, seluruh penulis di kerajaan, raib. Entah kemana.
Mereka meletakkan pena masing-masing di atas pusara manuskrip di kaki bukit
sana. Mungkin sebagian besar mereka mengakhiri hidupnya dalam sunyi-sepi. Semua
itu terjadi tanpa pernah mereka sadari sepenuhnya, kendati mereka juga tahu
bahwa hidup hanya akan terus berulang. Selalu begitu sepanjang waktu. Nenekku
pun tak pernah tahu ke mana perginya Seruni dan Matahari. Ia hanya berulangkali
berpesan padaku, “Kelak nanti jika kau pun memilih untuk menjadi sufi pengembara,
aku takkan bisa menghalangi niatmu itu. Karena di dalam tubuhmu, mengalir
darahnya.” []
ciputat,
desember sembilan ‘ribusepuluh
jagakarsa,
desember sepuluh ‘ribuduabelas
[i]
Diilhami oleh
kitab Bustan al-Katibin (Taman Para
Penulis) karya Raja Ali Haji yang pernah mukim di Pulau Penyengat Indera
Sakti—yang dijadikan mahar oleh Sultan Mahmud Syah III (Raja Riau Lingga,
1761-1812) untuk meminang Engku Putri (Raja Hamidah) binti Raja Haji Syahid
Fisabilillah sekitaran tahun 1801-1802. Di Masa Belanda menjajah pada Abad 19, Pulau
ini memang sudah kaya dengan karya tulis, sebagaimana yang dikisahkan Raja Ali
Haji. Karena itu pula, Belanda menjuluki Pulau ini dengan sebutan, Writing Garden.
No comments:
Post a Comment