Tulisan sederhana ini dialamatkan bagi siapa saja yang
sedang ingin belajar mencintai manusia unggul yang pernah lahir ke dunia ini,
Muhammad. Tentang bagaimana beliau bisa berada di posisi istimewa seperti itu,
takkan kami ketengahkan di sini. Karena sudah ada begitu banyak buku yang bisa dirujuk
untuk membuktikan keabsahannya. Seperti, 100
Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah karya Muhammad Mojlum Khan dan 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia
karya Michael H. Hart. Keduanya terbitan Noura Books (Mizan Grup).
“Sebelum seseorang mencintai Allah & Nabi-Nya lebih daripada
mencintai orang lain, ia tak memiliki keimanan yang benar.” Hadis inilah yang
berulangkali memantik kesadaran kami untuk mengoreksi diri pribadi dalam urusan
cinta-mencintai di dunia ini. Jika memang mengaku sebagai pengikut Muhammad
Saw, maka tak ada lagi pilihan selain mengikuti semua ajarannya yang terbungkus
dalam ucapan (qauliyah), dan perbuatan
(fi’liyah) beliau. Sekali lagi kami
tegaskan, SEMUA. Karena untuk menjadi Muhammad, kita memang harus seperti
Muhammad. Bagaimana kita akan sampai pada jalan yang ditempuhnya, jika kita
hanya memilih jalan yang cocok untuk kita semata.
Sampai di sini, kami juga tidak sedang berupaya menghakimi
bahwa kehidupan pembaca sekalian tak bercitarasa islami, apalagi tidak
mencintai nabi. Sama sekali tidak. Kami hanya sedang kebagian berkah tiada
tara. Mungkin hadiah dari ibadah yang apa adanya, ada apanya, bahkan boleh jadi
tidak ada apa-apanya. Mengingat begitu banyak dosa yang telah melumuri diri
kami yang hina dina ini. Maka judul yang kami cantumkan di atas, adalah bagian
terbesar kebahagiaan hidup yang mungkin teramat jarang dialami oleh sebagian
besar Muslim di antero dunia.
Malam itu, suhu udara sedang sejuk-sejuknya di selatan Jakarta.
Di langit bintang-gemintang mulai bermunculan berbagi cerita. Sedang takdir, membawa
kami duduk berdiskusi di lantai dua sebuah rumah kontrakan di bekas limpasan
air Situ Gintung, Tangerang Selatan, yang kini beralih jadi pemukiman penduduk.
Hal paling istimewa dari malam itu, kami diberi begitu banyak penjelasan
berharga oleh Mas Herman Sinung Janutama, yang menguasai rahasia ilmu kuno
manusia Nuswantara. Alam pikiran kami langsung centang prenang dan
compang-camping di hadapan beliau—terutama ketika sudah mengetahui betapa jejak
kaki Islam telah sampai di negeri kita tercinta ini, jauh lebih awal dari yang
telah diprediksi para sejarahwan. Bahkan nyaris sezaman dengan kelahirannya di
tanah Makkah, Abad ke-7 M.
Secara kasat, malam itu mungkin mengalir seperti biasa
saja. Boleh jadi mudah untuk dilupa. Tapi secara bathin, Sabtu dini hari itu
terasa lebih berkesan bagi kami tinimbang kawan lain yang hadir di rumah
kontrakan itu. Bagaimana tidak. Dalam tidur yang teramat singkat menjelang
Shubuh, Muhammad yang agung itu mendatangi kami dan membiarkan bibirnya yang
merah, lembut, dan harum, kami kecup mesra. Sebagai bentuk penghormatan sekaligus
bukti kecintaan kami kepada beliau sebagai pemimpin tertinggi umat manusia. Darimana
kami bisa meyakini bahwa beliau yang datang ke alam mimpi itu adalah baginda Nabi
Muhammad Saw? Jawabannya, dari haqqul
yaqin: keyakinan yang terpatri tanpa dipengaruhi pengetahuan apa pun.
Islam mengajarkan kita bagaimana cara menilai mimpi. Bahkan
ada beberapa wahyu Islam (Al-Quran) yang turun melalui mimpi. Termasuk perintah
menyembelih kurban via Nabi Ibrahim as, yang lahir melalui mimpi mistikal Bapak
Tauhid manusia itu. Tapi membahas mimpi secara khusus, lagi-lagi takkan kami
dedah di sini. Mungkin di ruang lain dalam kesempatan yang lebih tepat. Sampai di
sini, ternyata mimpi mistikal itu ternyata belum cukup.
Dini hari tadi (Kamis, 7 Februari 2013), kami kembali
dianugerahi sebuah mimpi yang mengesankan-menakjubkan. Tanpa harus susah payah
bertandang ke Kota Makkah, Allah memberi kami kesempatan meneguk air suci Zam
Zam dengan menciduknya langsung dari sumbernya (dalam tampilan awal sebelum
direnovsai oleh pemerintah Ibnu Saud). Dalam mimpi itu, kami mendapati Sumur Zam
Zam lebih merupakan areal luas yang terselimuti padang pasir. Hanya dengan
menciduk pasir pun, kita sudah bisa mendapatkan air yang teramat jernih lagi
menyegarkan. Karena Zam Zam dipercaya sebagai induknya mata air dunia,
sekaligus bentuk nyata mata air surga yang mengalir di bumi.
Pertanyaan mendasarnya, kenapa pula kami yang diberi
mimpi teramat indah itu? Dikala ada begitu banyak Muslim yang berharap penuh bisa
mengalaminya. Sejujurnya kami tak mampu menjawab itu dengan baik. Kami hanya
tahu satu hal, karena kita di Nuswantara ini berasal dari leluhur yang sama—khususnya
para ksatria suci dan orang-orang mulia dari garis keturunan Muhammad Saw, maka
sudah pasti di dalam darah kita mengalir darah beliau. Sehingga secara DNA, apa
yang pernah beliau lakukan, upayakan, perjuangkan, juga menjadi keprihatinan
kita manusia Nuswantara. Kita, tak berbakat hidup dalam kekerasan dan
kejumudan. Justru kita jauh lebih berbakat hidup berbahagia meski mukim di atas
tanah yang berbahaya (hadrat al-maut).
[]
Lukisan Muhammad Saw karya pelukis Oranus dari Abad ke-8 M |
gambar Muhammad di atas amat mirip dgn lukisan Imam Husain.
ReplyDeletebetul, bang. malah banyak yang bilang lebih dekat ke ali k.a. jika menggunakan teori genetika, memang untuk mencandra seperti apa rupa Rasul kita, ya lihatlah seperti apa wajah orang terdekatnya. kendati lagi-lagi, tak sepenuhnya mendekati yang asli. demikian
ReplyDelete