SETIAP MENEMUKAN
KATA atau mendengar siapa pun menyebut kata Valentine, ingatan dan impresi saya
langsung mengarah pada satu hal, Muhammad Saw. Nanti, saya akan berusaha
mengaitkannya dengan peringatan Hari Valentine yang tengah dirayakan warga
dunia pada saat ini. Tapi saya sama sekali tidak berambisi mengulitinya dari
sudut pandang sejarah, apalagi teologi. Kendati saya mampu mengerjakan itu
dengan bantuan cadangan pengetahuan yang saya miliki sejauh ini, terkait subjek
tersebut. Biarlah itu menjadi urusan para sejarahwan, sarjana studi agama, dan
novelis Dan Brown saja—yang begitu fasih membahasnya dalam novel Da Vinci Code.
Surat cinta ini dilayangkan kepada
siapa saja manusia di bumi yang hidup di zaman modern[i],
atau yang kelak membacanya sebagai artefak dari sebuah masa—yang pernah menjadi
saksi tumbuh dan hidupnya seorang anak manusia seperti saya. Sebagaimana siapa
pun Anda yang pernah menulis sebuah surat cinta kepada orang terkasih, maka
begitu pulalah saya akan melakukannya. Lantas siapakah “sang kekasih” yang akan
saya rujuk? Jawabnya adalah Anda semua. Anda yang masih berminat
menyelenggarakan sebuah keselarasan hidup di atas muka bumi; Anda yang masih
percaya bahwa hidup ini masih bisa dimengerti dengan cinta-kasih; Anda yang
yakin sepenuhnya betapa spirit pertama dan utama atas semua yang terjadi di
semesta raya ini, adalah cinta.
Valentine dan 14 Februari. Dalam
rentang panjang perjalanannya sejauh ini, telah menuai sukses besar dalam
peradaban manusia modern hingga dikenang sebagai momentum bagi kita untuk
mengingat lagi akan pentingnya kasih-sayang. Peringatan ini menjadi mudah
mendunia dengan alasan yang sangat sederhana belaka, karena setiap manusia
pasti mengenal kata kasih-sayang dalam setiap bahasanya di bangsa mana pun. Ia
menjadi konsumsi semua kita. Tanpa pengecualian. Kasih identik dengan
kesanggupan memberi sebanyak apa pun tanpa tendensi. Sayang lekat dengan upaya
pengajaran pada orang selain kita, agar ia mengerti ada aturan yang
menautkannya dengan diri kita. Maka sayang segaris dengan ketegasan. Di atas
keduanya, berdiri dengan anggun sosok cinta yang tak tepermanai.
Hanya saja, kita kerap alpa betapa kasih-sayang akan berujung pada cinta
dan cinta akan menumbuhkan kasih-sayang. Keduanya nampak identik, tapi tidak pada
laku keseharian. Bagian yang pertama bisa disejajarkan dengan witing tresno jalaran soko kulino (cinta
tumbuh seiring kenal-mengenal yang mendalam). Sedang yang kedua, sah disebut
jatuh hati pada pandangan pertama. Mana yang lebih dulu hadir, jelas bukan
masalah berarti untuk kita perdebatkan. Hal menariknya justru pada bagaimana
kita melakoninya. Dalam banyak kasus, kita sering kali gagap menilai apakah
yang hadir dalam hati dan perasaan itu adalah cinta sejati, atau gejolak nafsu
berahi belaka? Keduanya memang sering kabur tak tercandra.
Kasih dan sayang itu baru menjadi
menarik jika sudah melibatkan lebih dari satu individu. Setidaknya bila terjadi
pada lelaki & perempuan yang ingin memadu asmara. Pertanyaannya, siapakah
yang lebih dulu harus diberikan kasih-sayang? Apakah si pecinta ataukah ia yang
dicinta? Masalah kerap muncul belakangan karena soal ini tak terdedah sedari
mula. Bagaimana mau mencintai bila sebelumnya tak pernah dicinta? Apatah lagi
mengaku dicintai padahal sebelumnya tak mencintai? Ini namanya setali tiga
uang. Mencintai itu butuh objek. Dicintai ada subjeknya. Apa yang akan terjadi
jika kita tak tahu siapa yang sedang dicintai? Apa pula yang akan dilakukan
bila kita awam dengan rasa mencintai itu?
Sebab cinta
berkenaan dengan subjek-objek itu, maka menjadi wajar bila sebelumnya kita
belajar mencintai diri sendiri baru mencintai orang lain. Ketika mencintai diri
sendiri, dalam waktu bersamaan, kita adalah objek yang dicintai sekaligus subjek.
Dualitas ini terkesan rumit pada taraf teori. Namun mudah belaka dalam jajaran praktek.
Bagaimana mau memberikan yang terbaik pada orang lain, jika sebelumnya kita
tak tahu apa yang terbaik bagi kita? Apa rasanya kenikmatan membelai rambut
kekasih, sedang sebelumnya kita tak pernah mau merasakan nikmatnya memilik
rambut di kepala. Apa pun jenis dan warnanya.
Kita lebih
senang menyiksa diri dengan memberi sekian banyak pada ia yang dicinta, padahal
kita sendiri jelas membutuhkan hal yang sama. Cinta itu jelas bicara perkara
memberi dan terus memberi. Lantas apa yang akan diberi bila tak ada satu pun
yang kita miliki dalam diri sendiri? Mungkinkah Anda membahagiakan orang lain
sedang Anda tak sedang berbahagia? Dalam ranah ini, altruisme jadi menarik
dipelajari-dilakukan. Para pelaku altruis adalah mereka yang gemar
membahagiakan orang lain—dalam saat bersamaan, ia tahu dan sangat memahami apa
indahnya bahagia itu. Meski kebahagiaan yang terberi itu tak lagi menjadi
miliknya. Jadi sebelum masuk ke arena percintaan sejati, belajarlah menjadi
altruis untuk orang lain, diri sendiri, dan apa saja yang melambari hidup kita.
Ketika itu
semua sudah terjadi, maka kita akan mudah memahami siapa yang sesungguhnya
sedang mencinta dan siapa yang dicinta. Sebagaimana pesan sakral yang dilansir
oleh sebuah Hadis Qudsi berikut:
“Man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu: Siapa yang mengenal dirinya pasti mengenal
tuhan-Nya.”
Antara Valentine dan Muhammad Saw
Muhammad Saw adalah
satu-satunya tokoh di dunia yang paling banyak menuai kontroversi sekaligus
apresiasi luarbiasa dari banyak kalangan. “Pernah saya bertanya-tanya siapakah
tokoh yang paling memengaruhi manusia. Saya lebih dari yakin bahwa bukan
pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam di masanya. Tapi ia datang dari
kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luarbiasa
kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada tuhan
dan tugasnya. Semua ini (dan bukan pedang) menyingkirkan segala halangan.
Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih
karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung,” kenang Mahatma
Gandhi, pemimpin besar India.
Begitu kira-kira
gambaran Muhammad Saw menurut Gandhi. Tapi bagi yang gemar mengedepankan
sentimen buta, Muhammad sering dijadikan objek personanongrata. Sebaliknya,
bila mau belajar lebih dalam hingga mengakar, hasilnya menakjubkan. Kita bahkan
berani berikrar hanya beliaulah satu dan hanya satu-satunya manusia yang layak
dicintai—bahkan bila dibanding ibu sendiri. Annabiyyu
awlaa bilmu’minina min anfusihim…: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mumin daripada diri mereka sendiri... (Al-Ahzab [33]: 6).
Lantas apa yang kemudian menautkan
Muhammad Saw dengan Valentine? Pertama,
ia menyempurnakan ajaran para nabi terdahulu. Khususnya Isa as yang terkenal
sebagai pembawa agama kasih. Muhammad datang pada manusia dan melengkapi
ajarannya dengan ‘sayang.’ Itu kenapa dibalik rasa toleransinya yang tinggi,
Muhammad tiada segan memerangi suatu kaum yang tak beritikad baik pada harmonisasi
kehidupan. Kedua, masa kenabiannya
yang hanya berlangsung selama 23 tahun, menuai sukses besar yang tak bisa ditandingi
oleh pemimpin mana pun hingga saat ini. Muhammad memiliki keceriaan khas untuk
membantu siapa saja agar keluar dari kesusahan hati. Ia melakukannya dengan
perhatian mendalam, pada apa dan siapa saja. Pada alam dan manusia, tanpa
strata.
Seorang
Yahudi gemar betul melempari Muhammad dengan kotoran, saat Sang Nabi melintas di depan rumahnya. Hal itu bahkan
terjadi berulang kali. Sementara Muhammad hanya menyungging senyum bila si
Yahudi memperlakukannya seperti itu. Suatu kali si Yahudi jatuh sakit. Muhammad
yang saat itu sedang melintasi rumahnya merasa heran, karena ia tidak lagi dilempari
kotoran oleh si Yahudi. Maka ia pun mengucap salam di depan pintu rumahnya,
agar diperkenankan masuk demi melihat apa yang sedang menimpa si Yahudi. Istri
si empunya rumah pun keluar menemui Muhammad. Lalu ia mengatakan bahwa suaminya
sedang sakit. Mendengar itu, Muhammad malah berkeinginan menjenguknya. Si istri
masuk kembali demi menyampaikan perihal itu pada suaminya. Mendengar berita
itu, si Yahudi segera menangis dan seketika mengucap syahadat. Ia tak mampu
membendung gejolak kesombongan hatinya yang rontok, oleh budi luhur orang yang
selalu dizaliminya hari ke hari.
Ada satu
lagi kisah tentang Yahudi tua pengemis yang buta. Ia senang betul mengumpat dan
melaknat Muhammad di hadapan siapa pun orang yang bersedekah kepadanya—termasuk
pada Muhammad yang setiap hari menyuapinya setelah lebih dulu mengunyahkan
makanan itu dengan mulutnya sendiri. Tak lama kemudian, Muhammad wafat. Abu
Bakar mendatangi Fatimah az-Zahra untuk menanyai apa lagi amalan ayahnya yang
belum ia gugu. Fatimah pun bercerita bahwa ayahandanya sering mendatangi
seorang pengemis di sebuah pasar.
Setelah tahu
apa yang sering dikerjakan Muhammad Saw untuk pengemis itu, Abu Bakar bergegas.
Ketika tiba di hadapan si pengemis tadi ia pun segera mendengar umpatan dan
cacian yang sering dilontarkan si pengemis untuk Muhammad kepada banyak orang.
Bahkan ia melarang Abu Bakar mengikuti ajarannya. Sambil menahan airmata karena
pilu mendengar cacian itu, Abu Bakar berusaha menyuapi si pengemis dengan
senang hati. Sekonyong-konyong si pengemis bertanya siapakah ia yang sedang
menyuapinya. Abu Bakar menjawab bahwa ia adalah orang yang biasa menyuapinya
itu. Tapi si pengemis membantah dan menjelaskan bahwa hasil kunyahan yang
dimasukkan ke mulutnya tidak seperti biasa ia nikmati. Pun dengan tutur kata
Abu Bakar yang tidak sehalus ia dengar dari orang yang dimaksud. Alhasil Abu
Bakar berkata bahwa ia adalah sahabat orang yang sering menyuapinya itu.
Sekaligus mengabarkan bahwa Muhammad telah meninggal. Muhammad pula yang selama
ini menyuapinya dengan sabar. Detik itu juga si pengemis merasa telah melakukan
sebuah kesalahan besar dalam hidupnya, dan segera masuk Islam.
Masih ada
begitu banyak cerita yang membuat Muhammad layak menjadi ikon Valentine bagi
warga dunia hingga akhir zaman. Sungguh
engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung. (Al-Qalam [68: 4) Tapi
saya tak akan menukilnya di sini. Juga tidak akan mengetengahkan segudang capaian
yang telah beliau lakukan dan peroleh semasa hidupnya. Sekali lagi, Muhammad
adalah satu-satunya manusia yang berakhlak dengan akhlak tuhan (takhalaqu bi akhlaqillah). Dengan kata
lain, Muhammad adalah tuhan yang turun ke bumi. Tuhan yang memanusia. Manusia
yang berketuhanan.
Ketiga, Muhammad jelas lebih memenuhi syarat menjadi simbol
cinta, tinimbang cupid yang sarat unsur pagan, apalagi selembar hati berwarna
merah itu. Dunia kita sekarang membutuhkan purwarupa unggulan yang bisa
diaktifasi sebagai model utama tentang hidup yang harmonis, damai, dan berasas
keadilan. Islam lahir dengan dimensi cinta yang menyeluruh. Maka tak berlebihan
bila kita menyebut Islam sebagai agama cinta. Karena nabi yang membawa dan
mengajarkannya, adalah perwujudan
cinta Ilahi saat hendak menciptakan dunia.
“Kalau bukan karenamu (Muhammad) maka Aku takkan menciptakan alam ini.”
Hadis Qudsi.
Momen
Valentine ini bisa dijadikan sebagai diktum yang mengamini bahwa Islam itu
bukan agama yang identik dengan marah, tapi ramah. Agama yang pemurah lagi
harum. Bukan agama yang melulu menjual doktrin dengan segala kisahnya,
melainkan agama kasih yang berkonsentrasi penuh pada manusia dan semesta alam.
Sebab Islam adalah bukti kepasrahan dan ketundukan manusia kepada Pencipta-Nya.
Ia melibatkan banyak elemen dasar kehidupan, mengangkatnya ke permukaan untuk
dikelola bersama demi kepentingan banyak orang. Islam, adalah kita yang menjadi
orang lain; adalah itikad tulus membangun kebaikan di atas bumi; adalah
sumbangan terbesar manusia bagi hidup dan kehidupannya. Hingga waktu tiba di
tepi kehidupan. []
[i] Terma modern yang saya gunakan di sini,
bukan menunjuk pada sebuah masa yang tengah kita hidupi kini. Tapi pada
pembabakan kehidupan manusia yang berkembang sejak era mitos, logos dan teknik.
Sejak berlalunya Zaman Aksial, manusia mengklaim dirinya telah mampu
mengembangkan nalar, jauh melampaui masa sebelumnya. Ini berlaku sejak era
Islam klasik dan dipungkasi oleh Eropa pascaAbad Pertengahan dengan Rene
Descrates, Isaac Newton, dan Immanuel Kant selaku ikonnya. Cartesian,
Newtonian, dan Kantian kemudian melahirkan dua revolusi besar pada pemikiran
manusia. Renaisans di Prancis dan Italia, serta Revolusi Industri di Inggris.
Era inilah yang terus berkembang sampai sekarang, dan disebut sebagai
modernisme.
izin share artikelnya ya Bang Reno :)
ReplyDeleteBacanya sampai merinding, terima kasih sudah menuliskannya :)
ReplyDelete