Pesan Moral dari Gundala Putra Petir


Bagi Anda penggemar komik-komik karangan Harya “Hasmi” Suraminata, ada kabar baru yang akan saya berikan. Gundala Putra Petir, Pangeran Melar, Aquanus, Sedah, Jin Kartubi, Sun Bo Kong, Agen X9, akhirnya muncul di dunia nyata. Ya, mereka tiba di Jakarta tadi malam. Lengkap dengan atribut kepahlawanannya. G. Djaduk Ferianto memboyong mereka semua ke atas panggung teater—berikut Hasmi sang pengarang komik kesohor itu.

Teater Gandrik, memercayakan pertunjukkan mereka kali ini kepada Djaduk–yang juga bertugas sebagai penata musik. Sebagai sebuah organ, Gandrik terbilang kelompok teater kenamaan, bersejarah, legendaris, dan kuat secara dramaturgi.

Sisi legendaris Gandrik bisa ditilik dari siapa saja tokoh yang ada dibalik proses kreatifnya. Djaduk-Butet, dua seniman papan atas Indonesia, adalah didikan langsung ayah mereka, Bagong Kusudiarjo, maestro tari asal Jogja yang memengaruhi dunia tari tradisional-kiwari hingga kini.

Lantas ada Heru Kesawa Murti, aktor andalan Gandrik yang sulit dicari bandingannya sekarang. Semasa hidupnya, Heru, Basio, Dagelan Mataram, Teater Lungit, sukses menjadikan, “Jogjakarta sebagai tanah air orang-orang lucu.” Demikian yang diamini Goenawan Mohamad selaku penulis lakon Gundala Gawat yang telah dan akan dipentaskan Gandrik di Gedung Kesenian Jakarta sedari 1-2 Juni 2013.

Komik lucu yang mencerdaskanSisi menarik dari pentas Gandrik kali ini adalah, pertama, kembalinya lagi Gandrik di jagat perteateran Indonesia setelah vakum begitu lama. Kedua, kehadiran Hasmi di panggung dan bertugas sebagai pembuka adegan, tokoh utama, dan yang paling penting, ia menjadi dirinya sendiri: pengarang komik.

Membaca komik Hasmi, harus punya cadangan pengetahuan yang bagus. Sebab ia bisa bertutur dengan lincah tanpa berpretensi melucu, tapi sialnya malah jadi lucu sekali. Bikin perut  sakit karena dikocok oleh dialog-komentar berbobot para tokohnya.

Ciri Hasmi yang kentara adalah, ia tak segan mencemooh imajinasinya sendiri. Bahkan menertawakannya. Kata Goenawan, “Itulah tanda humor yang matang: bukan menertawakan orang lain untuk merendahkannya, melainkan menertawakan diri sendiri untuk menyambung keakraban dengan liyan.”

Hal itu terbukti di pentas. Susilo Nugroho yang didapuk sebagai Gundala, sukses mengocok perut penonton saat ia baru saja masuk panggung. Kostum yang ia kenakan memang futuristik. Cocok untuk postur tubuhnya yang tinggi. Tapi perutnya yang buncit, jelas tak proporsional untuk ukuran seorang superhero.

Bentuk kecerdasan panggung yang ditunjukkan Susilo selaku aktor, terjadi saat ia menjawab tuduhan warga dari lima desa di Klaten yang disambar petir secara bersamaan. Mereka menuntut Gundala bertanggungjawab atas ulahnya bapaknya, Pak Petir (Butet Kartaredjasa). Dengan santai Guundala pun menjawab, “Bukankah itu bagus? Lebih efektif dan irit. Coba bandingin sama Ujian Nasional yang ndak serentak itu?” Seisi gedung kesenian pun riuh-rendah dengan tawa.

Para aktor yang terlibat di pertunjukkan, juga terbilang kuat. Permainan mereka prima hingga pentas berdurasi dua jam ini tuntas. Meski pada beberapa adegan terselip dialog yang meleset, kurang artikulatif.

Gunawan “Cindil” Maryanto (Pangeran Melar), Jujuk Prabowo (Sun Bo Kong), Jamaluddin Latif (Aquanus), M. Arif “Broto” Wijayanto (Jin Kartubi), Nunung Deni Puspitasari (Sedah), Agnesia Linda (Nungki), Jami Atut Tarwiyah (Agen X 9 dan Ketua Agung Harimau Lapar), sanggup mengimbangi permainan menawan Susilo dan Butet. Keduanya memang tampil cemerlang dan kentara betul berfungsi sebagai pengatrol adegan.

Skenografi dan dramaturgi yang lemah
Jika ditonton secara utuh, pentas ini terbilang lancar. Namun bila ditelaah secara parsial, ada beberapa celah menganga yang layak dikritisi. Soal skenografi misalnya. Dengan hanya mengandalkan dua ruang pengadeganan, dan layar besar dibelakang panggung sebagai bantuan untuk transisi adegan dari dunia komik ke atas panggung, nampak betul kelemahan pemain yang kurang beradaptasi. Ini terlihat jelas saat Agnesia Linda yang memerankan Nungki, istri Hasmi, bermonolog di bagian kanan depan panggung. Hampir sebagian besar dialog yang meluncur darinya, kering, kurang pendalaman.

Penempatan pemain (blocking) yang beberapa kali tumpang tindih, jelas mengganggu jarak pandang penonton. Djaduk yang lebih fasih menyusun komposisi musik, nampaknya harus belajar lebih banyak dari Butet, kakaknya, agar bisa meramu sebuah pertunjukkan yang mumpuni.

Pilihan bentuk sampakan khas Jogja yang benar-benar berhasil adalah ketika Djaduk menempatkan pemusiknya di bagian kanan belakang panggung. Para pemusik berhasil mengompori pemain, menimpali dialog, dan tentu, memainkan komposisi musik secara apik ketika mengiringi adegan, atau saat menjembatani satu adegan ke adegan berikutnya.

Pesan untuk IndonesiaKehadiran Goenawan Mohamad yang bertindak selaku penulis naskah, tak bisa dimungkiri jadi salah satu tenaga kritik sosial Gandrik. Dua pertiga pertunjukkan berlangsung dan hidup dari daya kritik itu. Goenawan yang penyair, esais, sekaligus pendiri Majalah Tempo, tetap tak kehabisan cara untuk mengkritisi banyak masalah dengan gaya guyonan. Satu kelebihan Goenawan yang jarang diketahui publik Indonesia.

Pentas Gandrik kali ini juga patut diapresiasi karena sukses menggabungkan para pekerja seni lintas disiplin dalam satu panggung. Goenawan Mohamad, Agus Noor dan Cindil yang juga cerpenis berbakat, Anis Eko Windu & Arya yang animator, juga Hasmi yang komikus. Gaya ini khas grup teater era kejayaan Jogja era 70-90an. Lintas disiplin. Integrasi antarlini. Sayang, kini cara seperti itu sudah jarang dilakukan para seniman muda Indonesia.

Semoga saja kehadiran Gandrik kali ini benar-benar bisa direnungkan oleh banyak pihak. Terutama para pengambil kebijakan yang memang sedang mereka soroti. Maka sah saja jika Goenawan kemudian mengganti kepanjangan NKRI jadi Negara Kurang Roso Isin (Rasa Malu).

Pernah dimuat di Squadpost.com

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews