Membaca di Langit


Upaya manusia terus berevolusi dan merevolusi hidup mengalami perkembangan yang pesat sejak ditemukannya komputer—dan terutama internet.  Mungkin Leonard Kleinrock yang lahir di New York, 13 Juni 1934 silam, tak pernah bermimpi muluk tentang disertasi doktoralnya yang berisi kode dijital komputer, kini melambung setinggi langit. Jadi pembuka jendela dunia berikutnya setelah mesin cetak temuan Johannes Gutenberg di Jerman pada 1450-an.

Mesin cetak Gutenberg jelas membuat persebaran ilmu pengetahuan jadi kian mudah dan menciptakan gelombang baru dunia. Tapi itu dulu. Kini, era mesin cetak hampir menemui “ajalnya” dengan geliat pertumbuhan internet yang digagas Leonard itu. Sensasi membaca buku kertas pun pelahan mulai ditinggalkan. Kendati masih banyak orang yang ingin terus merawat memori itu.

Internet yang semula hanya digunakan untuk menghubungkan segelintir orang dalam satu perusahaan atau antar satu organ dengan organ lainnya, terus merambah lahan baru yang jauh sebelumnya mungkin sempat dianggap dongeng tentang kehidupan di masa depan. Sekarang dongeng itu benar-benar nyata. Bahkan nyaris tak dapat dinafikan peran sertanya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kehadiran internet di Abad Modern telah membuat hidup kita hampir tanpa sekat sama sekali. Dunia mendadak global. Jadi kampung kecil yang untuk mengelilinginya hanya dibutuhkan satu-dua menit saja. Hal ini bisa dimungkinkan sejak Larry Page dan Sergey Brin menggagas mesin pencari tecerdas sedunia, Google. Mesin dengan kecerdasan buatan ini sanggup menjawab pertanyaan apa saja yang sifatnya informatif dan data. Anda bertanya Google menjawab.

Sebagai pembanding, Google hanya salah satu dari mesin pencari. Masih ada Yahoo, Bing, Wolfram, Ask, eBay, Amazon, dan yang lainnya. Belum lagi ditambah kehadiran jejaring sosial yang jumlahnya benar-benar mencengangkan. FacebookTwitter, Thumblr, Myspace, adalah beberapa di antaranya yang punya penggemar terbesar di seantero jagat. Jika ditarik garis imajiner di langit sana, kita akan melihat betapa jaringan komunikasi manusia abad ini akan membuat Alexander Graham Bell (3 Maret 1847 – 2 Agustus 1922), Samuel Finley Breese Morse (27 April 1791 – 2 April 1872), dan bahkan Kleinrock jadi terkagum-kagum.

Komputasi awan
Dari sekian banyak nama yang tertera di atas, ada satu istilah yang bisa mengaitkan semuanya: komputasi awan (cloud computing). Nama ini memang belum terlalu familiar di benak banyak orang. Terutama pada masyarakat Indonesia. Padahal, perannya telah sedemikian rupa berjalan menemani aktifitas kita sehari-hari. Salah satunya adalah surat elektronik (surel/email).

Secara definisi, komputasi awan bisa dipahami sebagai sebuah lemari penyimpanan raksasa-maya nirbatas. Di dalam surel misalnya, selain menyediakan jasa pengiriman, kita diberi fasilitas menyimpan dokomentasi surat, berkas, bahkan audio-visual. GoogleGoodreadsBlogspot4Shared, Myspace, telah melakukan ini dengan cukup baik.

Komputasi awan mulai diperkenalkan kali perdana oleh Steve Jobs melalui produk Apple, iTools (2000). Kemudian disusul oleh Mac (2002), dan MobileMe pada (2008). Kemudian dalam Apple Worldwide Developers Conference 2011, Steve menyatakan bahwa iCloud akan menggantikan layanan MobileMe. Steve juga mengumumkan bahwa Apple telah membangun pusat data mereka senilai US$ 1 miliar di North Carolina.

Salah satu produk iCloud yaitu iTunes, dibangun untuk meredam maraknya pembajakan musik. iCloud juga diperuntukkan bagi para pecinta buku, fotografi, dan penyimpanan arsip. Sehingga pengguna dapat mengaksesnya dimana dan kapan saja tanpa perlu menggandakan data secara manual. Ini merupakan langkah cerdas meredam fenomena pembajakan di era dijital. Berdasar itu pula, lantas banyak penerbit, dapur rekaman, dan rumah produksi yang menitip edar karya mereka pada iCloud.

Revolusi masih terus terjadi. Dijitalisasi terus mencari bentuk terbarunya. Buku, sebagai salah satu kebutuhan terbesar kita pun, mulai bermigrasi menjadi ebookAdobe dengan aplikasi PDF-nya jelas membantu kita sejauh ini untuk membaca buku-buku dijital. Amazon juga tak mau ketinggalan. Setelah menghakmiliki Goodreads, lahirlah Kindle yang bertugas sebagai mesin pembaca.

Lantas bagaimana cara menandai apakah kita berada dalam jaringan komputasi awan atau bukan? Mudah saja. Pertama, Swalayan Sesuai Permintaan (On-Demand Self-Service); Kedua, Akses Jaringan Luas (Broad Network Access); Ketiga, Penggabungan Sumber Daya (Resource Pooling); Keempat, Perubahan yang Cepat (Rapid Elasticity); dan kelima, Layanan Terukur (Measured Service).

Sampai di sini, tanpa disadari, kita telah beramai-ramai membangun sebuah dunia baru di langit sana. Andai beroleh kesempatan melihat gelombang elektromagnetik, kita pasti bisa melihat betapa langit tengah menjadi lalu-lintas persebaran triliunan informasi-data detik per detik. Bahkan di dalam rumah pun, kita bisa membaca berita terbaru dari Barcelona dalam kondisi komputer, televisi, radio dan ponsel dimatikan.

Gegar informasi
Komputasi awan pun kian marak dengan banyaknya media massa yang mengalihkan bentuk mereka ke dalam jaringan (online). Efek dan eksesnya membuat banyak orang kebingungan memilih-memilah mana informasi dan mana data. Mana yang valid dan absah, mana yang benar-benar sampah. Sialnya, tak banyak yang mafhum bagaimana cara membuat tolok ukur untuk menentukan nilai benar-salah atas apa yang disajikan media dalam jaringan itu.

Menurut salah seorang perenung Abad Modern, Inayat Tarunasakti, “Ada sekian banyak manusia yang saat ini kecanduan ilmu pengetahuan—dan ini lebih berbahaya tinimbang kecanduan narkoba.” Faktor pemicunya tak lain adalah internet. Anda boleh diakui sebagai ilmuwan kesohor; Lulus summa cum laude di Oxford University; Penemu teknologi terbaru kiwari. Tapi mari kita pulang ke rumah untuk menyambangi ibu masing-masing. Apa yang terjadi? Hasilnya, saya tak lebih bijak bestari dibanding Ibu yang hanya lulusan Pendidikan Guru Agama.
Secanggih apa pun teknologi, tetap memiliki kekurangan dibalik kelebihannya yang luarbiasa. Selalu saja ada celah untuk menihilkan peran manusia sebagai penggunanya. Mari sama kita renungkan sejenak … Apa yang terjadi jika satu hari saja terminal internet dunia padam?

Detik itu juga semua manusia di dunia menjadi benar-benar primitif dan tradisional.

Pernah dimuat di Squadpost.com

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews