Ilustrasi oleh Patrick Noortheim |
SEKAWANAN
burung gagak berkaok-kaok dan terbang rendah di atas RS Pirngadi,
Medan—tempatku terkurung hampir selama dua minggu lebih. Mereka hendak
menjemput siapa lagi? Selama aku di sini, setiap hari selalu ada saja orang
yang berpamitan pada keluarganya, tanpa sepatah kata. Tangan mereka tak
berjabat erat. Juga tak ada peluk hangat. Tapi dari airmata yang tertumpah,
entah kenapa aku merasa bahwa itu adalah pertemuan mereka kali terakhir—untuk
kemudian pergi tak kembali. Anehnya, semua keluarga yang ditinggal pergi
bersepakat, bahwa orang yang mereka cintai itu pergi ke surga.
Aneh. Bagaimana mereka bisa punya keyakinan seperti itu?
Lantas aku pun terpikir hal yang lain. Apakah mereka yang
pergi meninggalkan keluarganya itu juga tahu, surga ada di mana?
Padahal semasa hidup, kukira tak satu pun manusia tahu
surga itu ada di belahan semesta bagian mana?
Siapa pula yang akan mengantar mereka ke tempat adiluhung
itu?
Mungkin kitab suci bisa dijadikan rujukan menjawab
kerumitan ini—meski sebenarnya kitab suci tak menjawab apa pun. Kitab suci
hanya memberitahu bahwa surga itu ada. Entah di mana.
Kawanan gagak itu tak lagi berkaok. Kini gaungnya malah
membahana di sanubariku. Ada ledakan kecil yang seketika jadi kuantum dan aku
tak mampu mengekspresikannya dengan baik. Di depan brancar, aku
hanya bisa mematung. Kali ini semua daya upayaku sebagai manusia, tumpas.
Nyaris tak berguna. Ruangan ICU itu menciut dalam hitungan detik. Persis
seperti noktah hitam di sehelai kertas putih. Lidahku kelu. Ada kata yang tercekat
di tenggorokan dan tak pernah bisa kukeluarkan. Detik itu aku hanya tahu satu
hal saja, manusia tak lebih sebagai onggokan daging berbau tanah. Kecuali ...
Jelang maghrib. Kereta merta membawa kami melesat ke
bagian timur Kota Medan. Di sebelah jenazah yang baru saja ditinggal ruhnya
itu, bendungan tangisku pecah di dalam hati. Airnya meleleh menggenang dalam
sekujur tubuhku. Tapi suaranya teredam oleh masa lalu. Bersama lantunan ayat
Ya-Siin yang kurapal bak mantra pengusir duka. Mantra yang mengantarkanku masuk
ke sebuah masa nun jauh di sana …
Hidupku bak sebuah dongeng. Berdasar riwayat dari
beberapa orang tetua yang pernah kudengar, badanku terbelah dua pada saat
kulitku masih merah. Sebelah ada di ibu kandungku, sebelah lainnya ada pada kakak
perempuannya—anak keempat Nenek yang kemudian kupanggil Emak. Sebelah badanku
yang ada di Emak itulah yang lantas tumbuh dengan cara yang sarat dongeng.
Tampak luar, semua fisik dan indraku tumbuh seperti anak
kebanyakan. Setidaknya ini yang masih kuingat hingga sekarang. Tapi ternyata
ada gejala lain yang teramat sering kualami—yang saudara sepupu dan teman
sebayaku tak pernah tahu. Aku menduga bahwa Emak adalah orangtua tunggal. Ya,
benar-benar tunggal. Aku bahkan tak kenal kata Bapak, atau sebangsanya dalam
hidup masa kecilku. Usia emas itu sukses terlewati tanpa sebersit pun kecewa.
Di kampungku yang dongeng itu, nyaris semua berlalu dalam
warna-warni indah. Aku dan sepupu pergi ke sekolah sambil melintasi bantaran
sawah dan tali air. Terkadang, dalam perjalanan kami biasa berpapasan dengan
sepasang kerbau yang hendak membajak sawah mereka. Usai belajar di sekolah, tak
jarang kami mampir ke bangsal batu bata—demi melihat sepeda yang dimuati hampir
seratus buah batu bata dan dibawa ke bakaran batu untuk dimasak hingga warnanya
berubah menjadi merah bata.
Bangsal itu berbentuk memanjang tanpa dinding penyekat.
Atapnya terbuat dari anyaman daun pohon kelapa. Sedang untuk tiang penyangga,
cukup dengan menggunakan kayu dolken. Di bangsal, setiap hari selalu ada saja
kaum ibu yang mencetak lumpur menjadi batu bata. Lumpur itu diperoleh dari tanah
di sekitar bangsal yang diolah sedemikian rupa. Sehingga areal sekitar bangsal
banyak menyisakan kolam-kolam kecil berbentuk lingkaran: sisa pelumpuran itu.
Bata yang telah selesai dicetak, disusun rapi di pinggiran bangsal. Sehingga
hasilnya, ada tembok-tembok bata yang berdiri sebelum kemudian para pelangsir
membawanya ke bakaran batu.
Jika bosan, kami tak segan pergi ke perkebunan kelapa
sawit, tempat reli dunia diselenggarakan tahun ke tahun. Kebun kelapa sawit ini
tak sendiri. Di sisi yang lain, juga berjejer rapi perkebunan karet. Melihat
dua perkebunan itu, seperti melihat pohon yang sedang berbaris rapi seolah
mereka sedang melakukan apel raksasa. Tak seberapa jauh dari situ, ada sebuah
anak sungai dari Sungai Ular. Aku tak tahu apa nama anak sungai itu. Tapi
jelasnya, Sungai Ular itu lahir dari seekor naga yang meliuk panjang dari
Samudra Hindia dan membelah Sumatera bagian timur. Nah, anak sungai itu
dibendung demi mengairi banyak sawah di kitarannya. Bendungan yang nyaris menjadi
danau itulah yang kerap kami jadikan arena bermain air: berenang, menyelam,
atau apa saja yang mungkin dilakukan, kami tuntaskan di sini. Sesekali, bahkan
kami tak gentar lompat dari mulut bendungan yang tingginya sekira sepuluh
meter.
Bila malam hari tiba—khususnya pada malam Bulan Ramadhan,
tak ada satu pun anak kecil yang tak mengaji di masjid. Masing-masing dari kami
berangkat sendiri tanpa ditemani orangtua. Hanya berbekal obor di tangan kiri
dan Al-Quran dalam dekapan. Di kampungku, kami semua terlahir dan terlatih jadi
pemberani. Alam di kampunglah yang mendidik kami secara tidak langsung menjadi
manusia yang bernuansa alam—dan alam yang manusiawi.
Setiap malam yang terlewati, pasti dihiasi dengan untaian
ayat Al-Quran yang bertaburan di langit. Jika beruntung, kami bisa merangkai
untaian itu sesuai dengan apa yang dikehendaki. Al-Quran bagiku saat itu,
adalah buku dongeng raksasa tentang semesta raya seisinya. Juga buku dongeng
tentang dongeng yang hingga kini maknanya terus berubah, bergerak, dinamis, tak
tepermanai. Padahal dongeng yang kubaca adalah dongeng yang sama semasa kecil
dulu.
Tiba musim panen. Tumpukan jerami adalah ruang bermain
yang benar-benar menyenangkan. Di atas tumpukannya, kami menebah layangan
hingga ia melayang tinggi di langit sana. Sesekali kami tempelkan sepotong
kertas di benang gelasannya—agar kemudian ia merambat ke atas mendekati
layang-layang, lalu terbang entah ke mana. Membawa pesan yang kami titipkan
pada siapa pun orang yang mungkin akan membacanya. Pernah pula terjadi, ada
seorang kawanku yang berlari sepanjang hari demi mengejar layangannya yang
putus hingga tanpa ia sadar, kakinya telah menjejak Pulau Dewata. Kami baru
bisa mendengar kisah pengejarannya itu setelah ia kembali setahun kemudian
dengan menumpang sebuah truk ekspedisi.
Selain layangan, kami juga diajarkan pengetahuan kuno
oleh pak tani, yaitu siulan pemanggil angin. Bisa dengan menggunakan anai padi
atau menggunakan mulut. Keduanya ampuh. Bila angin sudah datang, layangan kami
bisa terbang mudah. Bahkan tak jarang, kami ikut terbang bersama layang-layang
yang kami mainkan, dengan berpegangan pada ujung-ujung rangkanya. Posisi badan
kami saat itu, mirip dengan Manusia Vitruvian ciptaan Da Vinci. Dunia sarat
kebebasan seperti itu baru bisa kuperoleh setelah ada Emak dalam benakku. Ada
Emak dalam tiap detik hidupku. Hingga tepat ketika Kotak Pandora di kamar Emak
terbuka, semua dongeng itu berubah jadi lukisan keluarga.
Pada tepian Juni 2008, langit menangis berderai-derai.
Usiaku yang sudah sampai di tangga ke-26, dilengkapi dengan masuknya Emak ke
dalam tanah. Ritual itu kami gelar, lagi-lagi demi mempersiapkan kepulangan
anak manusia pada ibunya di Pertiwi. Aku hanya tertegun melihat Emak membungkam
mulutnya dalam sepi. Lalu sambil membentangkan kain putih bersih, kupersilakan
Emak beranjak ke dalam tanah. Setelah pintu bumi kututup, kami semua bergegas
pulang. Sambil memeras airmata, aku tambah ngungun dan baru menyadari, ternyata
sejak hari itu, Emak telah menjadi Aku. []
teruntuk emak yang berumah di langit
Kalimat-kalimatnya bagus banget :")
ReplyDeletekomentarmu juga bagus, neng evi
Deletehalooo..
ReplyDeletekeren deh tulisannya.. :)
kalo ada waktu,boleh looh mampir ke blog sederhana yg gak punya nalar apa2,hanya berceloteh riang gembira..bwhehhehee..
thx before... ;)
http://viextraordinary.blogspot.com/
Halo silvia. Terimakasih udh mau mampir ke rumahku yg sederhana. Nanti kusempatkan bertandang juga ...
ReplyDelete