Karena Kamu Cuma Satu

Foto Istimewa: Emil dan anaknya, Fawziah Mohammad Alhajri

“Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang unik. Satu dengan yang lainnya tidak ada yang sama,” begitulah landasan utama Emil NAIF ketika menciptakan lagu ‘Karena Kamu Cuma Satu,’ yang sempat menjadi hits pada 2010 lalu. “Lagu tersebut terinspirasi dari kesadaran dan keyakinan saya akan Tuhan yang satu, juga sebagai dedikasi, penghormatan, dan rasa sayang terhadap Ibu, Ayah, anak, istri, teman, musuh—yang notabenenya pun diciptakan Tuhan hanya satu kali. 

Sebelum menciptakannya, saya juga terinspirasi dari orangtua yang memiliki anak penderita autis, yang kita tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya hubungan batin di antara mereka. Si orangtua tetap menyayangi dan merawat anaknya, apa pun dan bagaimana pun kondisi anak tersebut—yang terlihat seperti tidak peduli dengan dunia sekitar, termasuk pada orangtuanya sendiri.

Sejak didirikan 18 tahun silam, NAIF telah berhasil mewarnai khazanah musik Indonesia dengan gayanya yang khas retro. Jadul, vintage, begitu kata anak muda zaman sekarang. Namun dibalik kekunoan mereka, tersembul kepercayaan diri yang tinggi tentang bagaimana mereka terus berproses mencipta karya-karya terbaik sedari album perdana: Debut, Selftittled: Naif (1998) hingga Planet Cinta (2010). Total ada enam volume album yang telah mereka rilis, berikut satu album The Best of, satu album B Sides, satu album Live, dan satu album anak-anak (Bonbinben).

Setelah sukses menelurkan single ‘Posesif’ pada album kedua, nyaris setiap album yang mereka hasilkan, berhasil meraih simpati publik dengan bertenggernya hits-hits mereka di tangga lagu nasional. NAIF berkibar tak melulu karena gaya. Selain kualitas mumpuni dalam berkarya, hal paling menarik yang bisa disoroti dari band kesohor yang semua personilnya adalah jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini adalah, kenaifannya.
Mereka benar-benar terlihat berbeda karena naif. Selaik bocah yang sedang berbicara di antara para orangtua. Seperti petani yang tak pernah peduli pada naiknya harga sembako. Karya mereka, selalu dan tak pernah luput menyoroti hal-hal sepele nan sederhana, yang kerap luput dari amatan banyak orang di era modern.

Sebagai sebuah band, NAIF terbilang awet. Mereka termasuk satu dari sedikit band papan atas yang tak pernah bongkar pasang personil. Usia yang terus bertambah, diiringi popularitas yang kian meningkat, tetap tak mengubah napas dan nuansa band ini sejak awal berdiri. Mereka tetap kompak dalam kenaifan. Hal ini kami amini sendiri saat berkunjung ke kediaman Emil di bilangan Jatibening Estate, Bekasi, beberapa waktu lalu.

Saat bertandang ke rumahnya, Emil sendiri yang membukakan pintu untuk kami. Penampilannya saat itu, sama sekali tak menunjukkan bahwa ia adalah seorang rockstar. Ia hanya mengenakan kaos oblong warna putih yang dipadankan dengan kain sarung belaka. Benar-benar khas Indonesia. Belum cukup sampai di situ. Bahkan Emil sendiri yang menyeduhkan secangkir kopi hitam sebagai teman kami berbincang hari itu.

Ke bagian mana pun mata memandang, lagi-lagi tak tersirat bahwa itu adalah rumah seorang personil band kenamaan. Kami hanya menangkap kesan sebuah rumah dengan ruang lengang-terbuka. Dua buah kamar berukuran sedang, lima buah sofa empuk, kitchen set, dan kamar mandi dengan desain minimalis tapi artistik, dan satu kursi malas berukuran besar—mengingat tuan rumah yang berperawakan raksasa.

Namun ketika Emil mengajak kami menaiki tangga menuju rumah bagian atas, barulah terlihat siapa lelaki ini sebenarnya. Menempel dengan tembok, lemari dari banyak buku yang sebagiannya didominasi buku sejarah Indonesia era kemerdekaan. Ada juga satu set kursi kuno, tikar pandan yang juga berfungsi sebagai alas shalat, dan tentu, studio mini tempat bertenggernya beragam alat musik & perangkat sound. Di sinilah Emil kerap berjibaku menggodok banyak proyek pribadinya, seperti iklan, scoring film, demo lagu untuk para penyanyi lain, dan beberapa lagu yang akan ia persiapkan untuk NAIF.

Kekentalan NAIF dengan nuansa retronya, lagi-lagi terbukti di balkon rumah yang menghadap ke selatan itu. Di pojokannya, Emil yang sering menyumbang lagu-lagu hits untuk NAIF, masih menyimpan sebuah dipan yang menjadi saksi bisu ia dilahirkan. Kecintaannya pada sejarah, ternyata terus melekat dalam setiap tindak-tanduknya dalam berkarya. Dari pertemuan singkat itulah, kami beroleh petikan wawancara berikut ini:

Siapakah yang mewariskan gen seni—khususnya seni musik, pada diri Bang Emil? Siapa yang kemudian mengajarkannya (jika ada) dan kenapa pula menyukainya?
Rasanya dari Ayah (Hussein Umar) dan Ibu (Fauziah MA). Lima dari tujuh saudara Ayah yang laki laki, menguasai instrumen musik dan mereka sering bermain bersama. Ayah mahir membuat partitur lagu hanya dengan mendengarkan saja dari radio. Sedangkan dari garis Ibu, selain juga menggemari berbagai jenre musik, paman-paman saya juga bisa bermain gitar klasik, abang kandung Ibu saya juga seorang pelukis.

Orang yang pertama kali mengajarkan saya bermain gitar adalah paman dari pihak Ibu. Beliau mengajarkan saya memegang kunci D untuk belajar sebuah lagu lama berjudul ‘Be Bop A Lula.’ Lalu paman saya yang lain, mengajarkan sebuah lagu instrumentalia klasik berjudul ‘Romance de’ Amore.’ Semua itu dimulai ketika saya duduk di akhir kelas 3 SMP.

Bagaimana NAIF bisa terbentuk?
Naif terbentuk pada 1995, dimulai ketika semua personilnya terkumpul di kelas yang sama: Pendidikan Dasar Seni Rupa di kampus Institut Kesenian Jakarta, angkatan 1994. Berdasar kesukaan yang kuat akan musik, kami sering nongkrong sambil bernyanyi-nyanyi di kampus, lalu saling menginap di rumah masing-masing, sambil membuat lagu-lagu sendiri. Kadang kami merekamnya di kaset dan memperdengarkannya kepada kawan-kawan sekampus dan setongkrongan. Salah satu teman kami sekelas yang bernama Dodot memberi nama ‘Naif’ setelah mendengar nada, tutur dan gaya lagu-lagu bikinan kami.

Kami pun mulai manggung-manggung di acara kampus, lalu meningkat ke acara-acara indie di Ibukota, sampai suatu ketika, seorang kakak kelas yang tertarik pada lagu kami, menawarkan untuk membiayai bikin demo di sebuah studio milik temannya. Setelah demo itu jadi, kami kembali ditawarkan oleh kakak kelas kami yang lain, Ipang, yang ketika itu sudah sukses rekaman bersama bandnya, Plastik, untuk membawa demo tersebut ke perusahaan rekaman tempatnya bernaung, Bulletin Records.

Singkat cerita, kami bergabung dengan Bulletin Records yang tertarik dengan lagu dan gaya kami. Sehingga kami pun mulai rekaman album pertama di sebuah studio besar dan nyaman di daerah Kemanggisan.
Pada 1998, album pertama kami dirilis, dengan desain sampul yang lagi-lagi dibuat oleh kakak kelas kami, Irwan Ahmett. Sejak saat itu kami terus memproduksi lagu sambil kuliah hingga ada yang lulus, dan ada pula yang di DO (drop out), seperti saya. Hehehe … Hingga kini anak-anak kami sudah mulai tumbuh dewasa.

Bagaimana cara NAIF menelurkan karya—yang ternyata banyak jadi unggulan di tangga lagu nasional & diapresiasi publik hingga kini?
Kami berkarya dengan jujur dalam suasana yang menyenangkan dan saling mengisi.

Standar estetika apa yang Abang gunakan selama ini dalam berkesenian—khususnya saat menciptakan lagu?
Fungsi utama sebuah karya seni menurut saya adalah, membuat penikmatnya bisa terhubung secara emosional dengan karya si seniman. Jika berhasil, maka menurut saya, itu sudah mencapai standar estetika karya itu.

Ada berapa lagu yang telah Abang ciptakan selama ber-NAIF?
Banyak. Ada yang saya buat sendiri, ada banyak juga yang dibuat bersama-sama dengan teman-teman se-band. Ada pula yang saya buat untuk proyek proyek di luar NAIF.

Kenapa tertarik menciptakan lagu?
Membuat kata-kata yang bisa diberi nada dengan harmoni disusun menggunakan beberapa instrumen musik dengan kecepatan dan ketukan tertentu, semua itu adalah suatu kegiatan yang mengasyikkan bagi saya.

Apa pendapat Bang Emil tentang khazanah musik lokal Indonesia & bagaimana seharusnya cara kita mengapresiasinya?
Sebetulnya, musik lokal di Tanah Air geliatnya masih kuat, karena pada dasarnya manusia senang hiburan. Pelbagai jenis musik bermunculan dan tersedia untuk berbagai lapisan masyarakat. Kita bisa mengapresiasi dengan memiliki dan menggunakannya secara benar. Artinya ya jangan beli bajakan dan jangan mencela karya orang lain.

Belajar dari perkembangan & dinamika musik Indonesia, kira-kira bagaimana masa depan industri musik kita sepuluh tahun ke depan?
Saya tidak bisa memprediksi. Teknologi baru selalu berkembang, namun apakah perkembangan teknologi seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya apresiasi dan kemajuan hukum yang memagarinya?

Apa tanggapan Abang untuk musisi Indonesia kontemporer?
Musik Indonesia kontemporer sama saja dengan yang dulu. Ada yang bermutu, aada yang nggak. Tapi masing-masing memiliki penikmatnya sendiri. Hehehe …

Pernah merasakan momen spiritual saat bermusik bersama NAIF?
Momen spiritual ketika bermusik sering kali saya rasakan pada saat sedang membuat tema dan lirik lagu.

Apa beda signifikan Emil di NAIF semasa bujangan dengan setelah menikah?
Semasa bujangan saya masih dalam episode ‘menjalani kehidupan seakan akan hidup masih lama lagi.’ Sedangkan setelah menikah, hari-hari dijalani seakan-akan esok sudah tidak ada lagi untuk keluarga. Ketika bujangan, lebih sering wara-wiri kelayapan cari pergaulan. Setelah menikah, pikiran lebih sering dipakai, sedang tubuh jarang bergerak.

Tingkat kedalaman hidup seperti apa yang sekarang Abang dapatkan setelah hampir dua dekade bersama NAIF?
Belajar untuk ikhlas dan memaklumi.

Sore pun merambat membawa senja di ufuk sana. Waktu bergulir begitu ringkas. Fawziah Mohammad Alhajri, anak semata wayang Emil baru saja pulang dari sekolah dijemput Miminya, A. Alvareza Item. Kami pun undur diri pada empunya rumah. Membawa segenggam pengalaman naif demi memahami seberapa unik diri kita di semesta ciptaan ini. []


Pernah dimuat di Squadpost.com

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews