SEJAK KECIL, anak ini adalah kebanggaan keluarganya yang relijius. Ayahnya
yang pemimpin Pondok Pesantren Ban Tan di Thailand, sadar betul bahwa setiap
anak lahir dengan takdirnya sendiri. Ia hanya menyiapkan fondasi agama bagi
anaknya tercinta. Maka ketika anaknya beroleh beasiswa untuk belajar di Amerika
Serikat, ia serta-merta meluluskan permintaan sang anak untuk berhijrah ke
negeri Paman Sam—dikala ibu dan segenap keluarganya melarang sekuat tenaga.
Tapi sang ayah percaya, ia akan baik-baik saja. “Suatu saat nanti, ia akan
kembali kepada kita.” Begitu yang ia yakini sepenuh hati.
Anak dari Ban Tan itu pun berangkat menyongsong masa depannya ke Amerika.
Persis seperti yang ditakutkan ibunya, kabar tentang si anak pun raib tak tentu
rimba. Tak satu pun orang yang tahu apa yang terjadi padanya. Bahkan hingga
bertahun kemudian. Namun sang ayah tetap yakin, “Suatu saat nanti, ia akan
kembali kepada kita.”
Keyakinan itu pun berbuah pada 2009—bertepatan dengan diserahkannya jabatan
Sekretaris Jenderal ASEAN kepada Dr Surin Pitsuwan. Segenap warga Ban Tan pun
gempar. Si anak hilang itu masih hidup. Bahkan ia sedang berjaya. Dunia
menyambutnya di kursi kehormatan. Usai serah terima jabatan, Surin pun pulang
ke Ban Tan. Hari itu, ada haru yang membungah di hati banyak orang di Ban Tan.
Surin telah kembali ke titik nolnya.
Di Indonesia, Lebaran adalah nama lain dari Idul Fitri (I’ed al-Fitri). Terambil dari kata fitrah (Arab) yang berarti kembali suci.
Akar kata fitrah sendiri merujuk pada
kata faathir—Pencipta. Hari Lebaran
adalah hari sakral bagi setiap Muslim untuk kembali kepada kepolosan purba.
Kesucian seperti awal mula kita dilahirkan. Hari di mana usia kita benar-benar
masih berangka nol. Kita semata bergantung pada kreasi penciptaan Tuhan
sekalian alam.
Masyarakat Indonesia—termasuk yang non-Muslim, punya cara sendiri saat
menyelenggarakan Lebaran. Lengkap dengan atribut yang menyertainya. Ada yang
berbondong-bondong menyambangi pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru;
Memasak kue dan aneka penganan; dan ada pula yang bersiap pulang kampung
(mudik). Nah, lantas kemudian apa sangkut pautnya Lebaran dengan mudik?
Bukankah dalam banyak kesempatan, mudik juga bisa dilakukan? Ternyata ini
bukan hanya perkara kembali ke kampung halaman demi bertemu orangtua, sanak
semenda, atau teman sepermainan di masa kecil. Namun semata soal ziarah diri.
Sejauh mana pun kita melangkah, sejatinya kita adalah mahluk yang
berhulu-hilir ke angka nol. Ilustrasinya persis seperti Dr Surin Pitsuwan di
atas. Dari kampung kembali ke kampung. Dari tanah kembali tanah. Itulah fitrah.
Debu yang menjadi suci.
Penyapu jalan kebenaran
Ada juga teladan lain yang bisa kita renungkan dari kisah seorang jamaah
haji dengan tukang sapu jalan yang mendadak jadi milyuner. Kisah ini dimuat di Koran
al-Sabaq terbitan Saudi Arabia bertarikh
17 Dzulhijjah 1434 H (02/11/2012 M).
Pada suatu hari yang panas lagi terik, seorang pria bernama Marimir Husain
Jihar tengah menyapu jalanan kota Makkah yang penuh debu. Tepatnya di sekitar
wilayah Tan’im—tempat di mana orang-orang akan memulai (miqat) ihram untuk umrah. Ia membersihkan jalanan kota suci ini
dari kotoran dan sampah-sampah yang dibuang manusia atau yang diterbangkan
angin sepanjang waktu. Sejak menjadi imigran dari Bangladesh, lima tahun belakangan,
hanya pekerjaan mulia lagi bersahaja itu saja yang bisa ia lakukan hari ke
hari. Ketika tengah asyik menyapu, seketika terdengar suara teriakan dari
seberang jalan dari tempatnya berdiri.
“Marimir …! Marimir …! Marimir ..!” teriak seorang pria tua berkali-kali dari seberang jalan. Namun karena
banyaknya manusia dan lalu lintas yang sibuk, Marimir tidak mendengarnya. Pria
itu berpakaian ihram dan hendak menunaikan umrah. Dari postur tubuhnya, ia nampak
berkebangsaan Bangladeh.
Tak puas berteriak, pria tua itu segera berlari ke arah Marimir sambil
menyeberang jalan yang sarat kendaraan. Sontak aksinya mengundang perhatian
banyak orang di Tan’im, termasuk dari rekan-rekannya sendiri. Mereka heran, bagaimana ia tetiba mengenali
seorang penyapu jalan di Makkah.
“Marimir ..!” teriak si pria tua sekali lagi.
Kali ini Marimir mendengar. Ia menoleh, dilihatnya seorang yang sudah tua
berlari ke arahnya. Ia pun heran, dari mana orang itu mengetahui namanya.
Ketika pria itu sudah berada di hadapannya, Marimir seketika
terperangah. Dari pancaran sinar matanya, ia seolah tak percaya apa yang sedang
dilihatnya. Pria tua itu adalah abang kandungnya sendiri yang telah
menyengsarakan hidupnya. Semua itu ia alami semata karena perkara harta warisan
belaka.
Dengan berurai air mata, si pria tua itu menghampiri Marimir yang penuh
debu, lantas memeluk adiknya dengan erat sambil menangis. Jelas saja aksi kedua
orang itu mengundang perhatian banyak orang. Meski tidak mengerti, mereka
mengabadikan momen penuh haru itu dengan kamera. Setelah itu, si pria tua pun bercerita
kepada orang-orang yang mengitari mereka penuh keharuan.
Kisah perpisahan itu dimulai ketika orangtua mereka meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan yang sangat banyak, mencapai 17 juta Riyal (sekitar
Rp. 42,5 Milyar). Harta sebanyak itu bisa terkumpul karena keluarga mereka adalah
keturunan bangsawan, dan salah satu kakek mereka adalah mantan menteri di
Bangladesh.
Tapi si pria tua itu berbuat serakah. Ia tidak mau membagi harta
peninggalan tersebut dengan Marimir. Beberapa kali Marimir mencoba meminta
pembagian warisan, tapi tetap gagal. Hingga kemudian Marimir pun ia jebloskan
ke hotel prodeo. Padahal ia sedang menuntut haknya!
Putus asa, akhirnya Marimir pergi meninggalkan Bangladesh. Hilang tak tentu
rimba. Selepas kepergian Marimir, entah bagaimana caranya, si pria tua pun diserang kanker ganas.
“Ini hukuman Allah atas kezaliman saya …” kenang pria tua itu sambil menangis di hadapan para pendengarnya. Sejak
itulah ia insyaf atas perbuatan serakahnya. Bertahun-tahun kemudian, ia
berusaha mencari jejak Marimir dengan beragam cara. Sedari bertanya pada kawan-kawan
adiknya, sampai membuat sayembara dengan imbalan yang besar. Semua nihil. Sementara
kanker yang ia derita kian parah, hingga ia mengira umurnya takkan lama lagi.
Lalu pada musim haji 2012, si pria tua membelokkan niatnya sebelum tiba di
Bangladesh dari kunjungan luar negeri, untuk melaksanakan umrah terlebih
dahulu. Ia bersama rombongannya pun berangkat ke Tan’im, miqat di mana orang Makkah biasa memulai umrah.
Maka terjadilah keajaiban itu. Setelah selesai menghaturkan maaf yang
sedalam-dalamnya, ia pun mengajak Marimir pulang. Ia sudah membagi harta
peninggalan orangtua mereka seadil-adilnya. Bagian untuk Marimir sudah ia
sisihkan, dan akan ia berikan tanpa mengambilnya sedikit pun: dengan jumlah
milyaran rupiah ditambah properti yang sangat banyak.
Di kota yang suci lagi disucikan itu, Marimir pun memaafkan abangnya. Ia
sama sekali tidak menaruh dendam. Bahkan ia merasa berbahagia bisa tinggal di
tanah suci sambil menghabiskan waktu untuk bekerja dan menghafal Al-Quran. Kepada
hadirin yang berkerumun di sekitar mereka, Marimir yang baru saja jadi milyuner
itu mengatakan, “Sungguh ini merupakan pelajaran yang besar dalam hidup saya.
Saya sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang teraniaya. Karena
itu, saya berjanji tidak akan menganiaya siapa pun. Allah mengharamkan
kezaliman atas diri-Nya, dan diharamkan-Nya kezaliman itu atas hamba-hamba-Nya.”
Dari nol menuju nol
Rasanya tak ada satu manusia pun yang tak rindu keluarga. Semua kita punya
rasa yang sama untuk menilai manusia lain—terlebih yang menjadi saudara sedarah
kita. Kisah Dr Surin Pitsuwan dan Marimir Husain Jihar itu keterkaitan erat. Tentang
sebuah perjalanan yang kembali. Entah mana yang kemudian membuat Anda jadi
lebih terkesan, saya takkan mempersoalkannya. Soal kita sekarang adalah,
bagaimana sejatinya lebaran harus dimaknai, direka ulang, dicandrai, dan
diresapi.
Lebaran itu bak hari di mana kebahagiaan tersebar rata ke alam semesta. Rasanya
itulah esensi dasar zakat fitrah yang jadi salah satu ritual khas jelang Hari
Raya Idul Fitri. Mereka yang miskin papa pun, berhak berbahagia.
Seperti cinta, bahagia itu ada tanpa dituntut. Ia hadir bersama kita sejak
lahir. Kebahagiaanlah yang mengemudikan tindak-tanduk hidup kita di ruang
sosial. Bukan sebaliknya. Andai tujuan kita ialah berbagi kebahagiaan lewat
tindak-tanduk, sampai ajal menjemput pun, sesungguhnya kebahagiaan sejati
senantiasa hadir.
Karena Hari Raya bukan sekadar kembang api, mari kita menanam modal kebahagiaan
ke dalam tindakan keseharian. Mari sama merenungi, dari mana kita berasal dan
hendak ke mana kita kemudian. Seperti yang dipesankan Rumi berikut ini: Orang hindi suka ungkapan Hindi / Orang
sindus suka ungkapan Sindi / Aku tidak melihat uangkapan dan bahasa / Aku
memandang ke dalam batin dan keadaan. []
Semoga semua orang kembali ke fitrah :)
ReplyDelete