Musuh Besar Pers Indonesia

Sumber ilustrasi: www.freepress.net

Malam itu, Jalan Raya HR Rasuna Said sedang dilanda kemacetan. Seperti rutinitasnya sehari-hari, pemandangan itu tak terlalu istimewa bagi warga Jakarta. Riuh rendah klakson kendaraan, juga polusi yang mengepul, seolah jadi hal yang kian remeh-temeh untuk diamati.

Tak jauh dari pertigaan Pasar Festival, tepatnya di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, sebuah perhelatan sedang berlangsung. Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menggelar milad mereka yang ke-19. Usia yang tak lagi bisa dibilang remaja kendati tetap rawan godaan dari kanan-kiri.

Proses pendirian AJI sendiri sarat dengan peristiwa politik yang terjadi pada era Suharto masih menjabat Presiden Republik Indonesia. Kala itu, 9 Juni 1994. Usai meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, Suharto marah besar dan memerintahkan Menteri Penerangan, Harmoko, supaya menindak tegas majalah Tempo, tabloid DeTik, dan majalah Editor, karena dianggap media yang “mengadu domba.” Suharto muntab setelah dua hari sebelumnya ketiga media tersebut menampilkan sampul depan yang bikin Cendana naik pitam.

Mantan presiden Indonesia ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie dalam pidatonya ketika menerima penghargaan Pena Emas Kemerdekaan Pers di Manado, Sulawesi Utara, Jumat malam, pada 8 Februari 2013 lalu, membuka kembali cerita dari kotak pandora itu. Habibie diminta Suharto untuk mendapatkan 38 kapal bekas Jerman Timur yang masuk kandang setelah Jerman Timur bubar. Walaupun memiliki hubungan dekat dengan Jerman Barat, Habibie tidak lantas mendapatkannya dengan mudah. Ia mengatakan pada Suharto bahwa untuk mendapatkan kapal selam itu harus seizin NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara).

Suharto belum menyerah. Ia memerintahkan Habibie melakukan lobi langsung ke Washington D.C., Roma, London, dan negara lainnya—mengingat ada banyak negara yang berminat mendapatkan kapal-kapal tersebut. Lantas apa pasalnya ketiga media tersebut dibredel? Karena selain mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas itu, pemberitaan mereka berfokus pada harga pembelian yang diperdebatkan oleh Habibie sendiri selaku Menteri Riset dan Teknologi, dan Menteri Keuangan, Marie Muhammad. Utamanya, besaran harga dari US$ 12,7 juta menjadi US$ 1,1 miliar. Sepekan sebelum dibredel, majalah Tempo mengungkapkan pembengkakan harga kapal bekas itu sebesar 62 kali lipat.

Dua bulan berselang dari pembredelan, tepatnya pada 7 Agustus 1994, AJI pun dideklarasikan di Bogor, Jawa Barat, oleh Satrio Arismunandar, Dhia Prekasha Yoedha, Erros Djarot, Aristides Katoppo, Fikri Djufri, Goenawan Mohamad dan sekelompok jurnalis muda yang tengah giat-giatnya melawan tekanan pemerintahan Suharto.

Nama Habibie yang terkait dalam kasus pembredelan itu pulalah, yang menyebabkan AJI mengundangnya di malam milad mereka yang ke-19. Dipandu oleh jurnalis senior, Hasudungan Sirait, AJI menggelar temu wicara dengan tema besar “Mencari Kebenaran Di Era Banjir Informasi,” dengan Habibie selaku pembicara kunci.

Meskipun sejarah pers Indonesia mengenang Habibie sebagai tokoh yang membuka kran kebebasan pers, namun masih ada hal yang menggelayut di benak para jurnalis yang medianya menjadi korban pembredelan—terkait dengan berita yang mengatakan bahwa Habibie adalah aktor utama yang melaporkan ketiganya pada Suharto.

“Saya baru saja kembali dari Jerman ketika Suharto melakukan pembredelan. Saat itu juga saya langsung ke Cendana untuk menghadap dan bertanya pada presiden, kenapa ketiganya dibredel? Pak Harto lalu menjawab enteng bahwa mereka mengadu domba rakyat dengan pemerintah,” ucap Habibie penuh semangat.

“Iya, tapi kenapa harus dibredel? Mereka itu orang-orang pintar dan kritis!” tanya saya. Lalu Pak Harto kembali menjawab. Singkat saja, ‘”Tapi saya sudah tanda tangan.”

Apa yang dikatakan Habibie pada Kamis, 29/08/13, jadi penjelas posisinya saat pembredelan itu. Secara fakta, selubung kasus itu murni terungkap. Kecuali jika kelak ada fakta lain yang muncul di belakang hari untuk menolaknya.

AJI yang gamang
Dalam pidato pembukanya, Ketua AJI Indonesia periode 2012-2014, Eko Mariadi, menyampaikan agenda kerja AJI yang paling mendesak, yaitu kekerasan pada jurnalis, penegakan etika profesi, dan perjuangan kesejahteraan jurnalis. Mengingat ada begitu banyak jurnalis yang hidupnya kerap tak teperhatikan bahkan terkadang kerap terlunta-lunta di lapangan.

Maka, sebuah nota kesepahaman dengan Jasa Raharja sebagai penyedia jasa asuransi untuk semua anggota AJI yang tersebar di seantero Indonesia, ditanda tangani malam itu. Agenda lain yang dihelat adalah, penganugerahan Udin Award untuk Didik Herwanto (Riau Pos), Tasrif Award pada Luviana (Metro TV), dan SK Trimurti Award bagi Yuliati Umrah (Arek Lintang).

Kegamangan AJI sebagai sebuah lembaga jurnalis yang independen, jelas terlihat pada tiga peraih penghargaan di atas. Proses penilaiannya kurang ketat dan menafikan banyak kasus yang lebih parah dibanding yang dialami ketiganya. Sebagai contoh, kasus penembakan seorang juru kamera Harian Mata Publik, Ternate, bernama Roby Kelerey, sebagaimana yang dilaporkan Merdeka.com pada Selasa, 18 Juni 2013, 02:02:00. Roby tertembak di paha kiri saat sedang meliput demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Penembakan itu terjadi ketika demonstran yang berjalan menuju ke arah Kota Ternate, dibubarkan polisi di kawasan Ngade, 1,5 Km dari Universitas Negeri Khairun. Saat dilarikan ke RSUD Ternate, polisi yang mengawal ketat malah melarang siapa pun untuk mendampingi Roby.

Bentuk kegamangan yang paling nyata yaitu, ketika AJI mengumumkan kebiasaan tahunannya memberi anugerah kepada musuh bersama pers Indonesia—yang entah kenapa malah diberikan kepada TNI. Padahal dalam tayangan video yang diputar di bagian awal acara milad ini, terlihat jelas siapa musuh sebenarnya dari pers Indonesia.

Musuh kebebasan pers
Sesudah era reformasi bergulir, muncul taipan-taipan media baru di Indonesia—mewarnai dominasi Jacob Oetama, Siti Hardijanti Rukmana, Peter F Gontha. Beberapa nama yang paling kesohor adalah, Chairul Tanjung, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Hary Tanoesoedibjo, dan Dahlan Iskan—yang harus diakui benar sebagai “Raja Media” di Indonesia.

Kecuali Jacob Oetama dan Peter F Gontha, semua nama di atas juga berafiliasi dengan partai-partai besar yang tengah berkuasa di Indonesia saat ini, dan bahkan sekaligus bertindak sebagai pemimpin partainya. Ini jelas-jelas lebih mengkhawatirkan timbang menjadikan TNI sebagai musuh bersama pers Indonesia.

Kian maraknya media dalam jaringan (online) yang tumbuh di luar cetak, radio, dan visual, adalah tuntutan ongkos ekonomi dalam menjawab era multimedia. Sebagian besar media Indonesia jelas tak ingin mengikuti jejak The New York Times dan The Washington Post yang sudah masuk kuburan untuk selamanya. Pilihan untuk memindahkan media mereka dalam jaringan, jelas sebuah penyelamatan. Tapi sayangnya, upaya yang dilakukan tak berbanding lurus dengan apa yang telah diberikan para jurnalisnya yang bergaji rendah. Terutama para kontributor dan koresponden di daerah yang hanya dibayar pada kisaran Rp75.000 – Rp100.000.

Belum lagi berita-berita kritis yang jelas tak bisa diangkat jika sudah berkenaan dengan cacat lumpur Aburizal misalnya, ke TvOne, antv, atau VIVAnews. Pun dengan praktik adu domba Muslim vs penganut Kristen a la Dahlan Iskan di Sambas, Sampit, Poso, Ambon, sepanjang medio 1999-2011, melalui salah satu media lokal Jawa Pos Group—yang menjadikan berita konflik seperti laporan olahraga: siapa menang dan siapa yang kalah.

Temuan ini diperoleh Squadpost.com melalui laporan jurnalis Internews Indonesia, Yon Thayrun, yang bertugas meresolusi konflik di empat daerah tersebut. Sekarang laporan Yon tersimpan di Leiden University. Hal ini menjadi penting, mengetahui Dahlan sedang gencar mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat. Tanpa menjadi penguasa negara saja, pelbagai penindasannya selaku pemimpin media kepada para jurnalis Jawa Pos Group tak bisa dipublikasikan, apalagi jika Dahlan kelak menjadi presiden Indonesia?

Masih segar dalam ingatan kita soal pengusiran Syiah di Sampang, Madura, pada 20 Juni 2013 lalu. Sebagian besar media arusutama nasional, hanya bertungkus lumus pada soal pengusiran Syiah dari Sampang. Bukan mengetengahkan kebebasan beragama dan berkeyakinan tiap warga negara Indonesia yang jelas dijadikan landasan pijak bangsa ini dalam Pancasila.

Perhelatan milad AJI malam itu pun kian menunjukkan dependensi dan ambiguitasnya, cukup dengan hanya melihat dua media yang turut menjadi sponsor acara, yaitu VIVAnews dan antv. Dua media yang sama sekali tak pernah berani mengangkat soal lumpur Lapindo ke permukaan, dan menjelaskannya secara gamblang ke publik.

Jika menilik kembali pada tema besar yang diusung AJI tentang “Kebebasan Pers Di Era Banjir Informasi,” rasanya itu hanya isapan jempol semata. Jauh panggang dari api. Pers kita telah benar-benar kehilangan tajinya untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan secara berimbang. Nama Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa, jelas sedang dipertaruhkan.

Para jurnalis Indonesia harus benar-benar berani melawan para pemilik media-media besar—yang juga pemimpin partai politik. Kami menahbisakan mereka sebagai musuh besar pers Indonesia! []


Pernah dimuat di Squadpost.com

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews