Indonesia dalam Pikiran Anies Baswedan (2)

Sumber foto: aniesbaswedan.com

Toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman merupakan pengalaman utama dalam hidup Anies. Pengalaman masa kecil telah membebaskannya dari kotak-kotak yang perbedaan satu dengan yang lain. Bagi Anies, perbedaan dalam segi apa pun adalah sesuatu yang harus dihargai. Perbedaan itu sebuah keniscayaan. 

Satu bagian penting dari sebuah orkestrasi hidup—yang justru menarik dinikmati, karena setiap orang sedang memainkan ‘alat musik’ yang berlainan.

Anies bukan hanya dilahirkan dari kalangan terpelajar, tetapi juga menemukan keteduhan dan ‘lahan subur’ untuk menyemai bibit toleransi dan keberagaman melalui pelbagai kegiatan orangtua dan kakeknya. Itulah yang kemudian mengendap di ruang batin Anies dan menyatu sebagai prinsip dan sikap hidupnya.

Anies adalah anak pertama dari pasangan Drs. Rasyid Baswedan dan Prof. Dr. Aliyah Rasyid, M.Pd. Melalui bimbingan kedua orangtuanya itu, Anies bukan saja terbentuk menjadi ‘kutu buku,’ tetapi, yang lebih penting dari itu, ia tumbuh menjadi seorang muda yang disiplin, aktif, penuh rasa optimisme, dan berpandangan jauh ke depan.

AR Baswedan juga merupakan salah seorang yang turut andil mewarnai kehidupan Anies sejak kecil. Keduanya lengket seperti perangko. Dari kakek dan orangtuanya itulah Anies belajar dan menyerap nilai-nilai keagamaan yang kuat, yang dalam keseharian mewujud sebagai persahabatan, menghargai perbedaan, toleransi, kejujuran, ketulusan.

Kakeknya punya jejaring pergaulan yang amat luas, bukan hanya di kalangan keturunan Arab yang menjadi anggota PAI, melainkan berhubungan secara luas dengan beragam tokoh intelektual, aktivis, dan tokoh pergerakan nasional, seperti pemikir Islam pada akhir tahun 1960-an, Ahmad Wahib, budayawan Katolik, Romo Mangunwijaya, dan Romo Dick Hartoko. ”Romo Dick Hartoko itu salah seorang teman diskusi kakek sehari-hari,” kata Anies.

Ada pun Romo Mangun, juga sangat menghormati AR Baswedan, sehingga saat beliau wafat di Jakarta, pada pengajian hari ketiga, Romo Mangun khusus datang dari Jogjakarta. Bukan hanya hadir di acara pengajian itu, Romo Mangun bahkan ikut berbicara, ”Sebagian hadirin yang datang waktu itu bertanya-tanya, tetapi kami malah heran: kenapa hal itu dipertanyakan,” kata Anies.

Kedekatan Ahmad Wahib dengan AR Baswedan juga sohor di pelbagai kalangan. Intelektual Muslim, Djohan Effendi, pernah menulis dalam pengantarnya pada buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (1981), bahwa AR Baswedan adalah satu dari dua orang yang tergolong sering dikunjungi Wahib. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Wahib adalah salah seorang anak muda kesayangannya.

Bianglala Pendidikan

Masa kecil Anies juga tergolong menyenangkan. Berkat didikan kedua orangtuanya yang menularkan kebiasaan membaca, sejak kecil Anies sudah menjadi anggota perpustakaan Kedaulatan Rakyat (KR), koran tertua di Jogjakarta. ”Seminggu sekali saya naik sepeda ke kantor KR untuk pinjam buku,” kenang Anies.

Anies paling suka pada buku biografi, ”Karena buku biografi bercerita tentang kehidupan seorang tokoh sejak kecil. Jadinya nyambung dengan saya yang waktu itu masih kecil. Cita-cita saya juga jadi sering berubah-ubah, sesuai buku yang sedang dibaca. Misalnya, saya pernah ingin jadi insinyur setelah baca biografinya Thomas Alfa Edison.”

Orangtua Anies juga tak kalah gesit. Rasyid Baswedan (almarhum) dan Aliyah Rasyid sama-sama memiliki posisi penting di khalayak umum. Rasyid pernah menjadi wakil rektor Universitas Islam Indonesia (UII), serta dosen di Fakultas Ekonomi UII. Sedang Aliyah juga seorang pengajar dan guru besar di Universitas Negeri Jogjakarta.

Dibesarkan dalam lingkungan akademis, membuat Anies merasakan pentingnya pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini pula yang membuatnya banyak menelurkan program pendidikan di kemudian hari. Sepanjang perjalanan hidup mereka, kedua orangtua Anies merupakan pengabdi yang gigih bagi dunia pendidikan Indonesia.

Memasuki usia enam tahun, Anies kecil mulai mengecap dunia pendidikan formal. Ia pun terdaftar sebagai murid Sekolah Dasar Laboratori Jogjakarta. Dari situ, Anies melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Jogjakarta. Di sekolah inilah Anies muda mulai menapaki tangga kepemimpinan, ketika ia terpilih sebagai Ketua Seksi Pengabdian Masyarakat.

Sesudah itu, Anies terus mengasah kemampuannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Jogjakarta. Ia menghabiskan masa belajar selama empat tahun, sebab satu tahun sisanya ia gunakan untuk mengikuti program pertukaran pelajar American Field Service (AFS) Intercultural Programs, yang diselenggarakan Bina Antarbudaya di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.

Di masa itulah Anies dipercaya menjabat Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) untuk sekolahnya dan se-Indonesia—saat pelatihan kepemimpinan di Jakarta pada September 1985. Ketika duduk di bangku SMA itu, Anies pernah menjadi pembawa acara Tanah Merdeka di Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jogjakarta. Adalah Ishadi SK yang memberinya kesempatan untuk mengisi acara di TVRI Jogja itu. Pada sebuah kesempatan di Universitas Paramadina, Ishadi, yang belakangan menjadi salah seorang komisaris di Trans TV, menceritakan bahwa ia terkesan pada semangat, bakat dan pengetahuan Anies muda.

Pengalaman menetap setahun di Milwaukee, Wisconsin, AS, dalam Program Pertukaran Pelajar (AFS) saat duduk di bangku SMA, membuka sudut pandang Anies jadi lebih luas. Di sana ia tinggal dengan keluarga Katolik Jerman yang taat. Dari sinilah ia mulai menana benih prinsip tentang hidup berdampingan dengan orang yang berbeda budaya dan agama. ”Ketika kita hidup berdampingan, sebenarnya kita memiliki perasaan damai yang lebih. Suasana yang terbangun adalah kesalingpengertian yang dalam,” kata Anies. [Bersambung]

Pernah dimuat di http://squadpost.com/indonesia-dalam-pikiran-anies-baswedan-2/#sthash.x7ONVSwg.dpbs-

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews