Sumber: aniesbaswedan.com |
Secara kasat, paras sosok yang satu ini sedap dipandang. Ada sirat harapan yang berbinaran di bola matanya yang juga tajam bila menatap lawan bicara. Sebagai seorang intelektual, reputasinya jelas diakui dan sangat diperhitungkan di negeri manca. Bicara visi-misi untuk membangun negara dan mencerdaskan anak bangsa, ia terbilang yang terdepan untuk saat ini. Rakyat Indonesia memang belum terlalu lama mengenalnya sebagai persona. Namun bila ditelusur garis riwayat asal-usulnya, lelaki cerdas ini jadi wakil sejarah gemilang yang diwariskan kakeknya, AR Baswedan, untuk kemudian ia teruskan pada bangsa dan negaranya.
Ya, dialah Anies Baswedan, yang belakangan kian santer dibicarakan di banyak forum. Sosoknya menarik diikuti, khususnya setelah ia ikut dalam konvensi pencalonan presiden yang digagas Partai Demokrat (PD), September 2013 lalu. Pro dan kontra pun bermunculan.
Sebagian orang tidak suka Anies ikut konvensi itu, karena erat kaitannya dengan Partai Demokrat—yang belakangan tercoreng namanya oleh berbagai kasus korupsi. Tapi sebagian besar tetap mendukung Anies. Bahkan, banyak juga yang segera membentuk kelompok relawan “Anies for Presiden 2014.”
Sebuah tweet dari situs politicawave.com (@politicawave) pada 10 Oktober 2013 pukul 12:00 Wib menyebutkan bahwa pada konvensi Demokrat itu, sentimen indeks terbesar diraih Anies sebesar 2.66 %.
Sesungguhnya sudah lama orang mengelu-elukan Anies untuk menjadi calon presiden Indonesia, termasuk beberapa wartawan senior dari media sekaliber Tempo dan Kompas. Tapi, mengenai kritik yang berhembus itu, Anies sendiri seperti tidak terusik. Bukan ia tidak peduli. Tetapi ia punya alasan mengapa maju dalam konvensi. Ia tidak ingin jadi penonton atau hanya “’mengutuk’ kegelapan,” katanya.
“Saya pilih ikut ambil tanggung jawab dan tidak cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas, mengutuk kegelapan ini sambil lipat tangan atau ikut menyalakan lilin dan turun tangan menyambut cahaya. Tentu saya pilih yang kedua.
“Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan keyakinan, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong keyakinan itu. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat,” ucapnya dalam pidato saat konvensi PD, 16 September 2013 lalu.
Menurut Anies, keikutsertaannya dalam konvensi itu adalah soal tanggung jawab atas Indonesia kita, bukan soal untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau ‘kursi,’ dan bukan soal siapa yang akan diuntungkan.
“Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa dan soal tanggung jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah dalam bangsa ini.
“Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung jawab kita adalah ikut berjuang—sekecil apa pun—untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekadar mengejar kekuasaan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarahwan kelak akan menulis soal pilihan ini.
“Semangat ini melampaui urusan warna bendera dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa, ‘“Republik Indonesia adalah milik kita dan untuk kita semua,”’ kata Bung Karno saat pidato soal Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa di mana pun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apa pun, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.
“Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan.
Semangat dan misi saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian republik ini. Sekecil apa pun itu, saya siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.”
Indonesia is My Homeland
Fenomena Anies sudah mulai bergulir sejak ia berada di Amerika Serikat (AS) pada 2005 dan memutuskan, “It’s time to go home.” Saat itu, ia sudah punya karir prestisius selaku Manajer Riset sebuah asosiasi perusahaan elektronik sedunia di Chicago, untuk mengembangkan desain riset, instrumen survei, analisa data, dan program penulisan laporan, selama medio 2004-2005.
Tetapi sejak awal pekerjaan itu memang tidak pernah diniatkannya sebagai karir permanen. “Saya bekerja untuk modal pulang ke Indonesia. Saya bekerja di Amerika untuk mengeruk mereka, bukan untuk kerja bakti,” ungkapnya.
Maka pulanglah Anies ke Indonesia dengan membawa sejumput harapan yang membungah. Namun ketika kakinya baru saja menjejak tanah air, Indonesia sedang ramai oleh gejolak kenaikan harga BBM. Sepanjang perjalanan yang ia lintasi sedari Bandara Soekarno-Hatta, terlihat begitu banyak orang tergesa dan berjejalan mengantre BBM. Waktu itu Jakarta dilanda macet. Anies pun tenggelam dalam alam pikirannya sendiri, tentang apa yang kelak bisa ia perbuat di rimba raya Jakarta yang jelas masih asing baginya. Bahkan untuk mengistirahatkan tubuh di malam hari, ia terpaksa menginap di rumah salah seorang pamannya.
Seiring waktu, melalui kolega intelektualnya, Eep Saefullah Fatah—yang memastikan Anies beroleh sebuah pekerjaan sebagai peneliti di Lembaga Survei Indonesia (LSI), maka karir perdana Anies pun dimulai di Ibukota, sambil kemudian mencari rumah kontrakan untuk keluarganya.
Anies yang memang selalu ingin menjalani hidup dengan tiga kredo; memperkaya intelektualitas diri, bagus secara finansial, dan memiliki pengaruh sosial yang solid, tak butuh waktu lama saat menapaki bab baru dalam hidupnya. Dua kredo sudah didapatkannya saat bekerja di Amerika. Sedang kredo yang terakhir, hanya akan disumbangkannya untuk Indonesia.
Selain menjadi peneliti di LSI, Anies juga pernah bekerja sebagai Research Director di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Analysis, Jakarta. Pada 2006, ia dipinang menjadi National Advisor bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Partnership for Governance Reform, Jakarta. Anies tak bertahan lama mengemban posisi ini. Karena ia akan segera menyambut karir barunya yang lebih gemilang pada 2007, yaitu Rektor Universitas Paramadina. Kampus besutan cendekiawan Nurcholish Madjid (alm) sejak 1998 itu menjadi saksi bisu perkembangan intelektualitas Anies.
Tak banyak orang menyangka Anies Baswedan akan berkiprah di universitas tersebut. Ia sendiri juga tak pernah berpikir akan menjalani karir sebagai rektor di Paramadina, kecuali hanya bisa menduga bahwa ia dipilih karena faktor usia muda dan bekal pendidikannya belaka. Maka tak ada kata lain yang menggelayut dalam benaknya saat itu selain pembuktian. Sekaligus melanjutkan lokomotif Paramadina yang sarat corak intelektual, bisa berkembang sehat secara bisnis. Meski dikelola secara profesional laiknya perusahaan swasta yang andal, di bawah Anies dan tiga deputi rektornya, Paramadina justru menunjukkan kepedulian yang tinggi dalam membantu anak-anak cerdas yang kurang mampu melalui program beasiswanya.
Keluarga Pendidik
Di permukaan, apa yang dicapai Anies seolah terjadi dengan mudah. Tapi bila kita menggali lebih jauh ke dalam hidupnya, maka terkuaklah gen manusia jenis apa yang sedang ia warisi. Sewaktu lahir di Kuningan pada 7 Mei 1969, Anies kecil adalah saksi paling polos perjuangan orangtuanya, Rasyid Baswedan dan Aliyah Rasyid, melanjutkan tongkat estafet intelektual kakeknya, Abdul Rahman Baswedan (dikenal dengan panggilan AR Baswedan) yang merupakan salah satu pendiri Partai Arab Indonesia.
Anies lahir di sebuah rumah berdinding separuh bata di Kampung Cipicung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dibantu seorang bidan bernama, Eni. Pada usia sekitar satu bulan, Anies sudah diboyong ke Jogjakarta dan masa kecil hingga dewasanya ia habiskan di Kota Gudeg itu.
Tempat Anies dilahirkan adalah rumah Abdullah Alganis, kakek Anies dari pihak ibundanya, yang bergaya khas daerah Kuningan—berupa rumah panggung dengan 16 tiang penyangga kayu. Pintu di bagian muka rumah tidak dilengkapi tangga, melainkan batu yang tegak di depannya. Rumah itu terbagi dua ruang, yaitu ruang depan dan ruang dalam yang dipisahkan oleh dinding penyekat berpintu.
Di samping rumah itu ada ruangan mirip gudang, tempat beberapa orang bekerja menenun sarung. Dua di antaranya adalah Jasim dan Tanggal, yang ikut mencuci dan mencelup warna benang. Bunyi alat tenun yang khas itu—seperti suara musik sepanjang hari. Di rumah itu usaha tenun sarung tradisional (alat tenun bukan mesin) telah ditekuni Abdullah sejak 1930-an. Saat liburan SD, sesekali Anies kecil ikut mencuci benang ke Sungai Citamba yang airnya berasal dari mata air di Gunung Ciremai. Jernih. Dingin seperti es. Penenunan tradisional itu menjadi sumber kehidupan banyak keluarga yang kerja bersama Abdullah.
Dari tenun itulah Abdullah membiayai sekolah anak-anaknya. Ia kirim satu persatu anaknya sekolah ke Cirebon dan ada pula yang kuliah ke Bandung. Pada 1950-an di Kabupaten Kuningan belum ada SMA. Jadi anak-anak yang baru lulus SMP harus segera dititipkan ke SMA di Cirebon. Bahkan ada juga yang sedari SMP sudah dikirim ke Cirebon. Abdullah Alganis yang lahir pada sekitar tahun 1870-an (?), tak pernah duduk di bangku sekolah formal. Tapi ia ingin semua anak-anaknya sekolah. Ia tak biasa menulis, tak banyak bicara. Amat jarang pergi. Amat pendiam. Tapi pikirannya dalam dan jauh.
Abdullah paham betul bahwa pendidikan adalah lokomotif sosial-ekonomi. Di Kampung Cipicung, hanya keluarga Abdullah yang anak-anaknya satu persatu dikirim sekolah ke luar Kuningan. Ia selalu meminta anak-anaknya agar mengirim surat setiap minggu. Meski singkat, tapi harus kirim kabar lewat pos. Itu satu-satunya cara Abdullah dan istrinya merasakan denyut anak-anaknya yang sedang bersekolah di Cirebon. Hal itu juga yang membuat anak-anaknya kemudian terampil menulis.
Pada 1964, anak perempuannya resmi menjadi sarjana pertama dalam sejarah keluarga yang kemudian diikuti saudara-saudaranya. Semua itu benar-benar ia biayai dari usaha tenun tradisional. Sementara di Kuningan, kondisi pasar sarung tenun tradisional terus merosot peminatnya. Kerajinan itu kalah oleh teknologi mesin tenun modern. Satu persatu usaha tenun harus menelan pil pahit dan ditutup. Tenun tradisional tak lagi bisa jadi sumber penghidupan. Usaha tenun di Kampung Cipicung juga sama: gulung tikar pada akhir 1970-an.
Dari pihak ayah, Anies punya AR Baswedan, kakeknya—yang jauh sebelum gejolak revolusi, telah dengan bangga menyandang statusnya sebagai keturunan Arab sekaligus warga Indonesia. Ini yang membuatnya disegani banyak pihak. Bersama etnis Arab, AR Baswedan berdiri tegak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Maka dari itulah ia dan sejumlah kawannya mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) pada 1934, dan sekaligus ditunjuk sebagai ketua. Tujuan PAI itu singkat dan lugas yaitu meraih kemerdekaan Indonesia.
Sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, PAI menyatakan bahwa tujuan dan perjuangan partai telah tercapai yaitu Indonesia telah merdeka dan PAI memutuskan untuk membubarkan diri. Para pengurus dan anggotanya–yang mayoritas keturunan Arab-dipersilakan untuk bergabung dengan partai mana saja bersama dengan saudara-saudara sebangsanya, yaitu bangsa Indonsia. Mereka bergabung di Masyumi, PNI, NU, PKI, dan berbagai partai lain. Tidak banyak partai yang tegas menyatakan tujuan telah tercapai dan memutuskan membubarkan diri.
Sebelum Proklamasi, peran AR Baswedan tak bisa dianggap remeh. Ia berani menceburkan dirinya untuk terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika namanya kian melambung, ia juga dengan berani mengikrarkan ius soli kepada masyarakat keturunan Arab: “Di mana saya lahir, di situlah tanah airku.”
Setelah era PAI berlalu, AR Baswedan beralih ke Partai Masyumi. Karir politiknya kian pesat. Ia menjadi Menteri Muda Penerangan Republik Indonesia di Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947). Saat menduduki jabatan itu, ia berkeliling bersama Agus Salim guna meminta dukungan pengakuan kemerdekaan Indonesia dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Tugasnya pun berlanjut menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), anggota Parlemen, dan anggota Dewan Konstituante. Berselang satu dekade kemudian, AR Baswedan meninggal pada 16 Maret 1986. (Bersambung)
No comments:
Post a Comment