Membaca Realitas Kekinian Dalam Kisah Bunga Matahari

Foto: teater baRu

Panggung itu dibiarkan melompong. Hanya ada puluhan  pemain sedang asyik berbincang—bahkan satu di antaranya tengah rebahan di atas level yang disusun berundak. Ya, hanya level-level itu saja yang sengaja diletakkan di panggung sebagai pelengkap pertunjukkan. Tak lama, seorang juru bicara yang belakangan diketahui bertindak sebagai sutradara (R. Tono), tampil di sudut kanan panggung untuk membuka pagelaran. Begitu santai dan tenang. Lalu terdengarlah alunan musik ‘Buka Sitik Joss’ milik Juwita Bahar. Pemain pun seketika larut dalam goyang enerjik—dan nampaknya permainan mereka dimulai dari sini.

Setelah itu ada Joko (Ucog Lubis) dan Siti (Cuwie Muchtar) yang tampil menjadi pengatrol adegan. Keduanya tampil baik. Meski di beberapa ruang dialog, Ucog terlihat lebih mendominasi. Ucog berhasil memindahkan rutinitas membosankan di Jakarta, macet, dalam imajinya. Joko yang notabene adalah potret dari masyarakat kelas ekonomi bawah, dijadikan sentral dalam pertunjukkan ini. Terbukti dalam banyak adegan yang muncul berikutnya, Joko pula yang menautkan adegan satu dengan lain menjadi sebuah jalinan yang apik.

Tempolong Rasa
Keresahan banyak warga Jakarta khususnya, atau masyarakat modern Indonesia pada umumnya, yang diangkat oleh teater baRu di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jumat 18 Oktober 2013, dalam lakon “Kisah Bunga Matahari,” nampak berbeda dari banyak pertunjukkan yang digelar oleh grup teater lain pada tahun ini. Malam itu, mereka membuktikan bahwa teater benar-benar bisa menjadi katarsis atau (tempolong rasa) bagi penontonnya. Teater bukan makhluk halus yang sulit dicandra apalagi dimengerti. Teater adalah hidup yang sejati.

Sekadar perbandingan, ada Teater Koma dengan “Sampek Engtay” 13 – 23 Maret 2013; “Endgame” oleh Teater garasi pada 28-29 Juni 2013; dan Lab Teater Syahid dengan “Mada” pada 26-27 September 2013 lalu. Koma masih sibuk berkutat pada soal emansipasi perempuan dalam pendidikan—yang dalam satu dekade ini bukan lagi masalah penting dalam hidup kita; Garasi selalu dan tak pernah berhenti berkiblat ke Barat, yang kali ini meminjam gagasan eksistensialisme Samuel Beckett; sedang Lab Teater Syahid terus bertungkus lumus pada ranah posmodern dengan proses pembacaan tanda dan simbol.

Apa yang dikerjakan oleh ketiga teater di atas, jelas menemu ruangnya sendiri. Terutama di hati para penonton setia mereka. Tapi yang menjadi amatan penulis bukan soal tersebut. Melainkan kedekatan emosional sebuah pertunjukkan secara ipso facto: di sini, kini, sekarang. Melalui penarasian ontologis pencarian kedirian, Garasi dan Lab Teater Syahid, masih menyisakan jarak teramat lebar pada publik teater. Sebab proses penggalian yang dilakukan penonton tak sedalam dan sebaik para pemain yang ada di panggung. Mereka datang untuk duduk mencerna pertunjukkan secara sederhana. Bukan untuk mengernyitkan dahi dan pulang sambil membawa setumpuk kebingungan demi memecahkan segala kerumitan adegan yang disajikan oleh sutradara.

Teater harus dikembalikan pada wahananya yang asali. Teater sejak mula, adalah ritus budaya, yaitu forum bertemunya sekian pemikiran, kegundahan, setumpuk pertanyaan, kekhawatiran, mimpi, harapan, masa kini. Kerumitan yang ada dalam hidup ini harus menjadi sesederhana mungkin di panggung teater. Kesederhanaan hidup pun, harus menjadi sarat makna ketika dipentaskan dalam sebuah pertunjukkan. Tanpa mengurangi bobot kesederhanaannya.

Landasan pijak itulah yang nampaknya disadari betul oleh teater baRu. Mereka dengan tekun mengumpulkan soal-soal keseharian kita—atau lebih tepatnya problematika orang urban yang ada di Jakarta. Seperti fenomena ibu-ibu majelis taklim (Nurlia Al-Munawarah, Dyah Puspita P.P, Fahmi Amaliah, Gista Adina Aliftani); Kegilaan karena diserbu beragam produk kapitalis (Reno Az); Gempuran sinetron yang tak mendidik (Agatha Devani); Kemacetan (Ucog Lubis); Individualistik (Tumbor, Zae); Euforia gadget (Ummi Tono); Pengerdilan nalar dalam pendidikan (Chotib, Jamal Abdul Nasir); Pencarian jodoh (Angga Dian Saputra); Pemujaan berlebih atas materialisme dan logika (Ifadhla Anzella); hingga rusaknya sebuah kesadaran mencintai pasangan (Ratih, Ayek Ilham).

“Kisah Bunga Matahari” menampilkan lakon segar bermutu yang sarat pesan. Joko yang pekerja keras dengan profesinya sebagai officeboy dan pelayan kebersihan, setiap hari harus bertarung melawan kemacetan. Sampai kemudian cinta yang ia rajut bersama Siti, harus kandas ditelan waktu. Bukan karena Siti sudah tidak tahan hidup bersama Joko, namun gaya hidup dan pengaruh lingkunganlah yang mendorongnya untuk pergi meninggalkan Joko—tepat di hari dirgahayu pernikahan mereka.

Apa yang disajikan teater baRu dalam produksi mereka yang ke-4, berbanding lurus dengan pandangan R. Tono selaku sutradara, “Teater adalah hal terkecil dalam hidup. Maka tak perlu dibesar-besarkan. Semestinya para seniman teater harus memahami dulu; teater itu apa secara mendasar? Selebihya baru bertanya mengapa kita harus berteater. Jika tujuannya hanya sekadar mencari prestasi, popularitas, hingga menghidupi kebutuhan sehari-hari, tak ayal, para pegiat teater itu takkan pernah “menjadi apa-apa.”
Baginya, teater baRu bukan kebanyakan teater yang acapkali tergoda pada tema-tema besar. Teater baRu adalah teater nan bersahaja yang akan terus mengangkat tema-tema keseharian yang dekat dengan hidup kita.

Proyek Lanjutan
Secara keseluruhan, pertunjukkan ini laik tonton, mudah ditelaah dan dimengerti. Hampir semua awak panggung dan aktor yang terlibat di dalamnya, memainkan fungsinya dengan baik—terutama dua anak kecil, Pilar dan Aleea Muchtar yang tampil begitu tenang dan percaya diri. Musik yang dibesut oleh Jojo dan Unang, berhasil menjadi bagian integral permainan para aktor. Tata cahaya yang disusun oleh Ale, tampil memukau dengan polesan warna yang padu padan dengan panggung yang semula kosong melompong.

Celah yang nampaknya masih menganga adalah. Pertama, tubuh sebagian besar pemain yang menampilkan koreografi. Tak ada kesenyawaan antara tubuh dengan ruang-waktu. Antara tubuh dengan nada. Padahal proyek kerja teater adalah bagaimana memindahkan sebuah ruang ke dalam waktu berbeda dalam skala yang lebih kecil, yaitu panggung.

Celah kedua yang harus segera dirumuskan oleh teater baRu, terkait dengan konsep dan bentuk pertunjukkan. Jika pilihannya ada pada kesederhanaan, maka yang paling mendekati adalah teater tradisional Nusantara. Karena kekuatan teater tradisi ada pada kemampuan menciptakan ruang imaji, pengadeganan lintas batas, dan kecerdasan linguistik. Jika memang pilihan ini yang akan diambil, teater baRu berpeluang menjadi garda depan untuk melanjutkan kerja estetik Teater Kecil, Teater Gandrik di Jogjakarta, dan Teater Gapit di Solo.

Teater baRu berpotensi besar membuktikan bahwa manusia benar-benar homo theatricus: makhluk yang berteater. []


Kritik pertunjukkan ini pernah dimuat di surat kabar dijital, www.squadpost.com pada Minggu, 20 Oktober 2013.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews