DUA TAHUN setelah Sukarno dijatuhkan Suharto, Wahyu Sulaiman Rendra baru saja pulang dari studi keseniannya di Amerika. Sosok yang lazim dikenal sebagai WS Rendra ini, menggebrak panggung teater Indonesia bersama Bengkel Teater bentukannya. Rendra yang kala itu masih mukim di Yogyakarta, mengajak anak didiknya menyelami kesadaran diri para aktornya.
Beberapa dari mereka adalah, Azwar AN, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Moortri Purnomo, Sunarti. Iklim penekanan pada segala dimensi kehidupan berbangsa a la Suharto, adalah rival utama Rendra mengelola Bengkel Teaternya.
Wajar jika dalam perkembangan mereka nanti, Rendra harus merelakan diri masuk penjara dan berulang kali mengalami pencekalan pentas di Indonesia.
Para aktor muda Bengkel edisi perdana ini dilatih kesadaran fisikal dan mentalnya hingga mereka berhasil menembus batas dari sebuah kata--demi menemukan makna yang terselubung di dalamnya.
Hasil akhir lokakarya panjang dan melelahkan ini adalah beberapa nomor pertunjukkan yang kini dikenal sebagai Teater Mini Kata. Bip Bop adalah satu di antara sekian nomor pertunjukkan yang mereka pentaskan waktu itu.
Rendra punya alasan khusus dan cukup serius sebelum melahirkan Mini Kata. Dunia panggung teater pada masa itu, sedang mengalami fase kejumudan. Para pelaku teater melulu terjebak pada teks belaka. Mereka berjarak dari penontonnya. Lalu menjadi makhluk asing di tengah masyarakat mereka sendiri. Muaranya jelas, teater berhenti pada kata-kata. Makna menguap dari kesadaran aktornya.
Usai Rendra merampungkan gebrakannya itu, insan teater Indonesia bahkan dunia, geger seketika. Bip bop bip bop, Zzz... Zzz atau rambate rate rata yang saat itu menjadi dialog kunci para aktor Bengkel, dianggap sebuah tawaran brilian dalam menampilkan gagasan berestetika. Banyak seniman Indonesia saat itu yang turut tergugah kesadaran berkesiannya setelah Rendra menawarkan konsep Mini Kata.
Eksperimen Bengkel Teater juga berhasil membawa mereka keluar dari pakem utama sebuah pertunjukkan yang selalu membutuhkan naskah sebagai media komunikasi. Mini Kata garapan Rendra, sama sekali tak menggunakan naskah dalam pentasnya. Ia dengan sengaja keluar dari jalur ini: realisme. Ia bahkan dengan sengaja menjadi urakan di tengah kemapanan berkesenian.
Sebagai Bapak Teater Modern Indonesia, jejak Rendra tak bisa dianggap remeh dalam ranah kebudayaan bangsa ini. Bersama rekan seangkatannya seperti Danarto, Iwan Fals, Rujito, Rendra berhasil mencetak tokoh kunci kebudayaan berikutnya. Sebut saja Arifin C. Noer, dan Putu Wijaya.
Kedua teaterawan itu adalah sutradara teater dan film kualitas satu. Putu juga mencatatkan namanya dalam ranah sastra Indonesia sebagai penulis produktif. Teror Mental yang ia jadikan penyulut utama semua karyanya, turut menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup dalam kebhinekaan.
Menafsir Sukarno, Melanjutkan Rendra
SETENGAH abad kemudian di Bandung, seorang aktor yang juga penulis naskah dan sutradara pertunjukkan, Abdullah Wong, meneruskan gagasan besar Rendra. Ia memang belum memiliki grup semapan Bengkel Teater.
Nama Wong belum lagi kesohor di jagat teater Indonesia. Reportoar yang ia hasilkan pun belum semeriah Rendra yang adalah "kakek buyutnya" di panggung teater. Meski beberapa judul reportoar yang ia hasilkan, patut dicatat sejarah perteateran. Kubangan, Mada, dan Suluk Sungai, adalah tiga di antara yang pernah ia pagelarkan bersama Lab Teater, Ciputat.
Hari itu Jumat, 30 September 2016, Wong tampil sebagai pemungkas acara Tribute to Sukarno di rumah bersejarah milik Ibu Inggit Garnasih (istri kedua Sukarno), di Ciateul. Sedianya, ia diminta penyelenggara memainkan sebuah monolog bertajuk kebangsaan.
Wong tampil dengan mengenakan baju lengan panjang warna putih khas Baduy, kain sarung dan peci yang keduanya hitam. Tanpa riasan wajah. Tanpa tata cahaya. Blocking seadanya. Diiringi kibord yang mengeluarkan denting piano. Sesederhana itu.
Kemampuan aktingnya ia pertaruhkan tanpa menggunakan naskah sama sekali. Murni improvisasi. Bahkan tak juga memakai judul. Di sinilah letak irisan Rendra dan Wong.
Sambil duduk di sebuah sofa dan kemudian berdiri, berjalan selangkah dua ke arah penonton, Wong hanya membunyikan kata INDONESIA dari mulutnya. Beragam intonasi, dialek, langgam gending, nuansa, tekanan vokal, ia olah dengan kata Indonesia itu. Sedari awal hingga akhir.
Jika Rendra berusaha membongkar selubung makna dari balik kata, Wong malah membongkar makna dari kata yang telah mapan, dan memindahkannya ke dalam kata lain yang kadang entah. "Proklamasi," "Merdeka," dan "Shalawat Badr" jadi contoh nyata dari upayanya itu.
Ketika "shalawat Badr" ia tawarkan pada penonton yang jelas awam dari disiplin teater, mereka semua malah dengan sukarela mengikuti tawaran itu. Begitu saja. Berbekal satu kata Indonesia, syair dari shalawat paling populer di negeri ini pun, berubah.
Jelang akhir penampilannya, raut wajah Wong seketika terlihat pias. Bola matanya berkilauan dalam temaram petang. Para penonton di pelataran rumah Ibu Inggit, seolah tersihir aksi teatrikalnya.
Indonesia sebagai kata kunci dari pertunjukkannya kala itu, mencuat-membrojol jadi apa saja. Bebas tafsir. Indonesia yang semula berkonotasi bangsa dan negara, jadi kentara majemuk, liar, tak tepermanai. Ada begitu banyak makna dari Indonesia yang bermunculan secara tak terduga.
"Ketika setiap kata dalam Kebudayaan kita hampir mati dan dimatikan, aku masih menemukan kata yang tersisa: Indonesia. Selama ini, katakata yang menjadi idiom dan perwakilan laku kebudayaan kita sudah dipelintir sedemikian rupa. Seakan, setiap kata selalu punya “kepentingan” sendiri.
Indonesia adalah kata mandiri sekaligus mantra. Indonesia dapat dihadirkan pada segenap kesempatan dan situasi Kebudayaan kita. Indonesia bagiku juga puisi, novel, elegi, roman, hingga mitos dan hikayat. Semua lebur dalam satu kata sakti itu.
Indonesia adalah apa pun yang berelasi dengan Pancasila, Sukarno, para Ulama, Kemanusiaan, Alam, Etika, Estetika, hingga Tradisi dan Ketuhanan. Mengembalikan Indonesia pada Indonesia," tegas Wong pada saya.
Catatan sederhana ini dialamatkan sebagai sebuah upaya penyelamatan laku budaya dari gerusan waktu. Meski tak sepenuhnya semua kerja kebudayaan bangsa kita bisa direkam dalam ingatan bersama, setidaknya penulis telah melakukan langkah kecil yang pertama sebelum kita sampai pada langkah ke seribu di depan sana.
Omah Mangkat, 1 Muharam 1438 H
Dimuat di Kompas.com pada Senin, 3 Oktober 2016 | 21:58 WIB
No comments:
Post a Comment