Pesantren Pertama

 
Langgar Pesantren Tegalsari pada Abad-19 M


DEMI memeriahkan Hari Santri Nasional, saya menghadiahkan tulisan sederhana ini bagi para santri di seantero Indonesia dan mereka yang tengah melanjutkan pendidikannya di negeri manca sana. Menguliti sejarah memang bukan perkara mudah. Namun selama perangkatnya tersedia, kita bisa melakukan telusur jejak menuju masa lalu. Dalam hal ini, menyusuri masa di mana sebuah pesantren dibakukan kali perdana.

Sejatinya, pola pengajaran dan bentuk pesantren sebagaimana yang kita kenal hari ini, sudah bisa dirujuk ke Lobu Tua di Barus pada Abad ke-6 M dan berdirinya Universitas Nalanda di Keraton Sriwijaya (Jambi) pada Abad-7 M. Barus bahkan sudah menjadi daerah satelit Islam bebarengan dengan kelahiran peradaban Islam di jazirah Arabia. Nalanda agak berbeda. Universitas ini belum sepenuhnya menerapkan sistem pengajaran yang diajarkan Rasulullah Muhammad pada para sahabat pilihannya. Maka waktu itu, Nalanda yang masih bercorak Brahmanik (Abraham/Ibrahimi), banyak juga dikunjungi calon rahib Buddha, Hindu, bahkan Konfusian.

Pola Nalanda ini masih terus bertahan hingga Keraton Majapahit. Para cerdik cendekia keraton terlebih dulu harus nyantrik pada seorang mpu sebelum mereka terjun ke masyarakat. Tak jauh dari era ini, kita akan bertemu dengan Ampel Dento(a) yang didirikan Sunan Ampel (Wali Songo generasi kedua). Ampel Dento sudah berbeda corak dengan gaya keraton. Pendiriannya di atas tanah perdikan (hadiah raja dan bebas pajak). Sunan Ampel sendiri yang membuat kurikulum pengajarannya. Tentu masih belum menggunakan kitab kuning. Karena yang banyak dipelajari adalah kitab serat, dan pupuh, berbentuk lontara.

Di era yang sama, juga ada Giri Kedaton (Kedatuan). Sunan Giri sebagai pengampunya, berbeda dengan Sunan Ampel. Ia tak hanya memegang jabatan pemangku spiritual, namun juga bertindak sebagai ulil 'amri (pemerintah) yang tidak di bawah kendali Majapahit. Jaringan dua kutub Islam Nusantara ini terus bertahan hingga memasuki Abad 18 M. Seorang kiyai muda murid Kiyai Ageng Donoporo—yang masih bertalian darah dengan Sunan Tembayat, merintis kelahiran institusi pesantren sebagaimana yang kini kita kenali.

Kiyai itu bernama Kiyai Ageng Muhammad Besari (1773 M/1187 H). Ia berasal dari Caruban, Madiun. Ayahnya adalah Kiyai Anom Besari yang berasal dari daerah Kuncen, masih sekitaran Caruban. Semasa muda, Muhammad Besari, berangkat mencari guru bersama adiknya, Nur Shadiq. Mereka baru menemukan sosok itu dalam diri Kiyai Ageng Donopuro. Seorang ulama yang mukim di sebelah tenggara Ponorogo, Jawa Timur. Setelah empat tahun nyantri, mereka kembali melanglang buwana. Ketika singgah di Mantub, Ngadisan, mereka bertemu dengan Kiyai Nur Salim.

Kiyai Nur Salim ternyata menaruh simpati pada Hasan Besari. Ia mengawinkan putri sulungnya dengan pemuda kharismatik itu. Usai menikah, Muhammad Besari memboyong istrinya menuju kediaman Kiyai Donopuro. Setahun kemudian, Kiyai Donopuro menyarankan Muhammad Besari agar membuka tanah di seberang timur sungai, yang kemudian diberi nama Tegalsari.

Sebelum bisa mengajar, Kiyai Muhammad Besari harus berhadapan dengan para warok, pemimpin reog Ponorogo. Namun ketinggian ilmunya berhasil mengalahkan mereka. Sejak itulah muridnya pun bertambah. Apalagi sepeninggal Kiyai Donopuro, perhatian masyarakat pun tersedot padanya. Tentang sejarah pendirian Pesantren Tegalsari, seorang ilmuan Belanda, F. Fokkens, telah melakukan penelitian dan menghasilkan sebuah karya berjudul De Priesterschool te Tegalsari (Sekolah Ulama Tegalsari) terbitan TBG, 1877 No. 24. Dalam buku tersebut Fokkens menjelaskan, bahwa pada 1742 M, ketika Susuhunan Paku Buwono II menghadapi pemberontakan Cina-Jawa dan perlawanan Mas Garendi, tinggalah seorang ulama ternama di Tegalsari bernama Kiyai Ageng Muhammad Besari. Bertahun lamanya ia mengasingkan diri di daerah yang terletak di kaki Gujung Wilis itu.

Dalam kesepian dan jauh dari keramaian, ia hanya makan akarakaran dan hanya mengabdikan hidupnya untuk Allah. Setelah itu, berdatangan para kerabatnya untuk turut menetap di Tegalsari. Muhammad Besari pun mulai mengajarkan al-Quran dan ajaran Islam. Lambat laun pengikutnya berlipat ganda. Pertapaan itu pun beralih menjadi pusat pembelajaran Islam.

Lantas dari mana kita bisa menarik kesimpulan bahwa Pesantren Tegalsari adalah pondok pesantren pertama di Nusantara? Sebelum Kiyai Muhammad Besari membangun Pesantren Tegalsari, para ulama sebelumnya lebih banyak membangun pondokan (zawiyah) guna mengajarkan tasawuf sekaligus basis pengembangan tarekat. Hal senada pernah diungkapkan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Mizan, 1995).


Kitab Kuning
Temuan lain yang bisa kita jadikan pegangan adalah, kitab berwarna kuning yang lazim dijadikan rujukan belajar di pesantren. Setelah membangun masjid dan pondokan kecil untuk tempat tinggal sementara bagi para santrinya, Kiyai Ageng Muhammad Besari sudah mengajarkan kitabkitab berbahasa Arab, seperti yang juga masih dipelajari di pesantren hingga sekarang.

Berdasar penelitian, telah ditemukan sejumlah kitab sebagai peninggalan yang masih tersisa di Pesantren Tegalsari, yaitu tiga jilid kitab fiqh syarah (komentar), dari kitab Fath l-Mu'in karangan Zain al-Din al-Malibari pada Abad 16 M. Pensyarahan kitab itu baru rampung dikerjakan pada 1933 oleh Muhammad Jalalain bin Hasan Ibrahim bin Hasan Muhammad bin Hasan Yahya bin Hasan Ilyas bin Muhammad Besari. Selain itu, ditemukan juga satu bendel kitab tua yang merupakan kumpulan dari kitab al-Jauhar al-Samin li Umm l-Barahin, al-Munhati, Jauhar al-Tauhid, dan kitab tajwid yang tak lengkap.

Tidak diketahui siapa penulis keempat kitab tersebut, namun bila dilihat dari tulisannya, diduga keempat kitab tersebut ditulis oleh satu orang. Tampaknya sang penulis adalah seseorang yang pernah belajar di Tanah Suci karena dalam kitab tersebut terdapat beberapa keterangan dengan menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Jawa. Kertasnya tidak berhasil dari Tegalsari. Pada halaman pertama dari kitab Umm al-Barahin terdapat keterangan tentang bulan penulisannya, yaitu bulan Jumadil Awal tahun Alif.

Terdapat juga satu bendel kitab yang tampaknya paling tua usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan sudah hancur dengan memakai kertas gedok dari Tegalsari. Pada halaman awal terdapat catatan tentang prosesi terjadinya. Tegalsari sebagai desa pendidikan berikut catatan cacah desa, serta jimlah penduduk laki-laki dan perempuan. Di dalamnya terdapat penanggalan karya fiqih yang tidak jelas dikutip dari kitab Fiqh apa. Teks ini ditulis menggunakan bahasa Arab Pegon atau huruf Arab Melayu. Selain itu, di dalam kitab ini ditemukan kitab fiqh (tidak lengkap) berjudul al-Muharrar karangan Abu al Qasim Al Rafi.' (w. 623/1226). Kitab ini diperkirakan ditulis oleh Kiai Yahya atau Kasan Yahya, pengasuh pondok Tegalsari, pada sekitar 1800-an. Ini berarti pada masa itu kitabkitab berbahasa Arab sudah di ajarkan di Tegalsari.

Selain kitab al-Muharrar juga terdapat penggalan kitab Fath Al Wahab, sebuah syarah tulisan Zakariya Al-Anshari (w. 926/1277) atas karangannya sendiri, yaitu kitab Minhaj al-Thullab. Kitab Fath al-Wahhab secara berturutan berasal dari Minhaj al-Thalibin karangan Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), yang merupakan ringkasan dari kitab Muharrar, karangan Imam al-Rafi' (w. 623 H/1226 M). Buku tentang fiqh lainnya adalah Kitab Farail. Tidak diketahui siapa yang menulis dan yang memiliki kedua kitab tersebut.

Selanjutnya, juga terdapat kitab Muharrar (tidak lengkap) yang ditulis oleh Kiai Muhibbat (Mukibat) bin Ismail bin Muhammad Besari. Cucu Kyai Ageng Muhammad Besari ini, meskipun terlihat kreatif menulis tapi tidak pernah menjadi pemimpin pusat Tegalsari. Pada perkembangan selanjutnya, Pesantren Tegalsari berhasil mencetak generasi penerus yang namanya tercatat dengan baik dalam sejarah. Mereka adalah, Raden Ngabehi Ronggowarsito (Bagus Burhan), KH. Abdul Manan (pendiri Pesantren Tremas. Keduanya adalah santri Kiyai Ageng Hasan Besari, anak Kiyai Agung Muhammad Besari. Selain dua tokoh itu, masih ada KH. Mujahid (pendiri Pensantren Sidoresman, Surabaya), dan KH. Sulaiman Jamaluddin (pendiri Pesantren Gontor), putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Nama yang terakhir adalah santri Kiyai Khalifah, pengasuh Pesantren Tegalsari pada Abad ke-20 M.

Akhir kalam, semoga catatan kecil ini bermanfaat bagi penulisan sejarah pesantren di Indonesia dan bisa dijadikan sandaran oleh para santri dan calon santri yang ingin mendalami disiplin ilmu Islam di pesantren mana pun, di negeri keramat tempat para ulama dan awliya silih berganti dilahirkan tanpa jeda. Kerana itulah, kita pantas bersyukur kepada Allah sejak awal bernafas hingga akhir hayat. Lahul Fatihah ... []



Omah Prabata, 21 Muharam 1438 H



No comments:

Post a Comment

Total Pageviews