DEMI memeriahkan Hari Santri Nasional, saya menghadiahkan
tulisan sederhana ini bagi para santri di seantero Indonesia dan mereka yang
tengah melanjutkan pendidikannya di negeri manca sana. Menguliti sejarah memang
bukan perkara mudah. Namun selama perangkatnya tersedia, kita bisa melakukan
telusur jejak menuju masa lalu. Dalam hal ini, menyusuri masa di mana sebuah
pesantren dibakukan kali perdana.
Sejatinya, pola pengajaran dan bentuk pesantren
sebagaimana yang kita kenal hari ini, sudah bisa dirujuk ke Lobu Tua di Barus
pada Abad ke-6 M dan berdirinya Universitas Nalanda di Keraton Sriwijaya
(Jambi) pada Abad-7 M. Barus bahkan sudah menjadi daerah satelit Islam
bebarengan dengan kelahiran peradaban Islam di jazirah Arabia. Nalanda agak
berbeda. Universitas ini belum sepenuhnya menerapkan sistem pengajaran yang
diajarkan Rasulullah Muhammad pada para sahabat pilihannya. Maka waktu itu,
Nalanda yang masih bercorak Brahmanik (Abraham/Ibrahimi), banyak juga
dikunjungi calon rahib Buddha, Hindu, bahkan Konfusian.
Pola Nalanda ini masih terus bertahan hingga Keraton
Majapahit. Para cerdik cendekia keraton terlebih dulu harus nyantrik
pada seorang mpu sebelum mereka terjun ke masyarakat. Tak jauh dari era ini,
kita akan bertemu dengan Ampel Dento(a) yang didirikan Sunan Ampel (Wali Songo
generasi kedua). Ampel Dento sudah berbeda corak dengan gaya keraton.
Pendiriannya di atas tanah perdikan (hadiah raja dan bebas pajak). Sunan Ampel
sendiri yang membuat kurikulum pengajarannya. Tentu masih belum menggunakan
kitab kuning. Karena yang banyak dipelajari adalah kitab serat, dan pupuh,
berbentuk lontara.
Di era yang sama, juga ada Giri Kedaton (Kedatuan). Sunan
Giri sebagai pengampunya, berbeda dengan Sunan Ampel. Ia tak hanya memegang
jabatan pemangku spiritual, namun juga bertindak sebagai ulil 'amri
(pemerintah) yang tidak di bawah kendali Majapahit. Jaringan dua kutub Islam
Nusantara ini terus bertahan hingga memasuki Abad 18 M. Seorang kiyai muda murid
Kiyai Ageng Donoporo—yang masih bertalian darah dengan Sunan Tembayat, merintis
kelahiran institusi pesantren sebagaimana yang kini kita kenali.
Kiyai itu bernama Kiyai Ageng Muhammad Besari (1773
M/1187 H). Ia berasal dari Caruban, Madiun. Ayahnya adalah Kiyai Anom Besari
yang berasal dari daerah Kuncen, masih sekitaran Caruban. Semasa muda, Muhammad
Besari, berangkat mencari guru bersama adiknya, Nur Shadiq. Mereka baru
menemukan sosok itu dalam diri Kiyai Ageng Donopuro. Seorang ulama yang mukim di
sebelah tenggara Ponorogo, Jawa Timur. Setelah empat tahun nyantri, mereka
kembali melanglang buwana. Ketika singgah di Mantub, Ngadisan, mereka bertemu
dengan Kiyai Nur Salim.
Kiyai Nur Salim ternyata menaruh simpati pada Hasan
Besari. Ia mengawinkan putri sulungnya dengan pemuda kharismatik itu. Usai
menikah, Muhammad Besari memboyong istrinya menuju kediaman Kiyai Donopuro.
Setahun kemudian, Kiyai Donopuro menyarankan Muhammad Besari agar membuka tanah
di seberang timur sungai, yang kemudian diberi nama Tegalsari.
Sebelum bisa mengajar, Kiyai Muhammad Besari harus
berhadapan dengan para warok, pemimpin reog Ponorogo. Namun ketinggian ilmunya
berhasil mengalahkan mereka. Sejak itulah muridnya pun bertambah. Apalagi
sepeninggal Kiyai Donopuro, perhatian masyarakat pun tersedot padanya. Tentang
sejarah pendirian Pesantren Tegalsari, seorang ilmuan Belanda, F. Fokkens,
telah melakukan penelitian dan menghasilkan sebuah karya berjudul De Priesterschool te Tegalsari (Sekolah
Ulama Tegalsari) terbitan TBG, 1877 No. 24. Dalam buku tersebut Fokkens
menjelaskan, bahwa pada 1742 M, ketika Susuhunan Paku Buwono II menghadapi
pemberontakan Cina-Jawa dan perlawanan Mas Garendi, tinggalah seorang ulama
ternama di Tegalsari bernama Kiyai Ageng Muhammad Besari. Bertahun lamanya ia
mengasingkan diri di daerah yang terletak di kaki Gujung Wilis itu.
Dalam kesepian dan jauh dari keramaian, ia hanya makan
akarakaran dan hanya mengabdikan hidupnya untuk Allah. Setelah itu, berdatangan
para kerabatnya untuk turut menetap di Tegalsari. Muhammad Besari pun mulai
mengajarkan al-Quran dan ajaran Islam. Lambat laun pengikutnya berlipat ganda.
Pertapaan itu pun beralih menjadi pusat pembelajaran Islam.
Lantas dari mana kita bisa menarik kesimpulan bahwa
Pesantren Tegalsari adalah pondok pesantren pertama di Nusantara? Sebelum Kiyai
Muhammad Besari membangun Pesantren Tegalsari, para ulama sebelumnya lebih
banyak membangun pondokan (zawiyah) guna mengajarkan tasawuf sekaligus
basis pengembangan tarekat. Hal senada pernah diungkapkan Martin van Bruinessen
dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Mizan, 1995).
Kitab Kuning
Temuan lain yang bisa kita jadikan pegangan adalah, kitab
berwarna kuning yang lazim dijadikan rujukan belajar di pesantren. Setelah
membangun masjid dan pondokan kecil untuk tempat tinggal sementara bagi para
santrinya, Kiyai Ageng Muhammad Besari sudah mengajarkan kitabkitab berbahasa
Arab, seperti yang juga masih dipelajari di pesantren hingga sekarang.
Berdasar penelitian, telah ditemukan sejumlah kitab
sebagai peninggalan yang masih tersisa di Pesantren Tegalsari, yaitu tiga jilid
kitab fiqh syarah (komentar), dari
kitab Fath l-Mu'in karangan Zain al-Din al-Malibari pada Abad 16 M.
Pensyarahan kitab itu baru rampung dikerjakan pada 1933 oleh Muhammad Jalalain
bin Hasan Ibrahim bin Hasan Muhammad bin Hasan Yahya bin Hasan Ilyas bin
Muhammad Besari. Selain itu, ditemukan juga satu bendel kitab tua yang
merupakan kumpulan dari kitab al-Jauhar al-Samin li Umm l-Barahin,
al-Munhati, Jauhar al-Tauhid, dan kitab tajwid yang tak lengkap.
Tidak diketahui siapa penulis keempat kitab tersebut,
namun bila dilihat dari tulisannya, diduga keempat kitab tersebut ditulis oleh
satu orang. Tampaknya sang penulis adalah seseorang yang pernah belajar di
Tanah Suci karena dalam kitab tersebut terdapat beberapa keterangan dengan
menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Jawa. Kertasnya tidak berhasil dari
Tegalsari. Pada halaman pertama dari kitab Umm al-Barahin terdapat
keterangan tentang bulan penulisannya, yaitu bulan Jumadil Awal tahun Alif.
Terdapat juga satu bendel kitab yang tampaknya paling tua
usianya. Sampulnya terbuat dari kulit dan sudah hancur dengan memakai kertas
gedok dari Tegalsari. Pada halaman awal terdapat catatan tentang prosesi
terjadinya. Tegalsari sebagai desa pendidikan berikut catatan cacah desa, serta
jimlah penduduk laki-laki dan perempuan. Di dalamnya terdapat penanggalan karya
fiqih yang tidak jelas dikutip dari kitab Fiqh apa. Teks ini ditulis
menggunakan bahasa Arab Pegon atau huruf Arab Melayu. Selain itu, di dalam
kitab ini ditemukan kitab fiqh (tidak lengkap) berjudul al-Muharrar
karangan Abu al Qasim Al Rafi.' (w. 623/1226). Kitab ini diperkirakan ditulis
oleh Kiai Yahya atau Kasan Yahya, pengasuh pondok Tegalsari, pada sekitar
1800-an. Ini berarti pada masa itu kitabkitab berbahasa Arab sudah di ajarkan
di Tegalsari.
Selain kitab al-Muharrar juga terdapat penggalan
kitab Fath Al Wahab, sebuah syarah tulisan Zakariya Al-Anshari (w.
926/1277) atas karangannya sendiri, yaitu kitab Minhaj al-Thullab. Kitab
Fath al-Wahhab secara berturutan berasal dari Minhaj al-Thalibin
karangan Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), yang merupakan
ringkasan dari kitab Muharrar, karangan Imam al-Rafi' (w. 623 H/1226 M).
Buku tentang fiqh lainnya adalah Kitab Farail. Tidak diketahui siapa
yang menulis dan yang memiliki kedua kitab tersebut.
Selanjutnya, juga terdapat kitab Muharrar (tidak
lengkap) yang ditulis oleh Kiai Muhibbat (Mukibat) bin Ismail bin Muhammad
Besari. Cucu Kyai Ageng Muhammad Besari ini, meskipun terlihat kreatif menulis
tapi tidak pernah menjadi pemimpin pusat Tegalsari. Pada perkembangan
selanjutnya, Pesantren Tegalsari berhasil mencetak generasi penerus yang
namanya tercatat dengan baik dalam sejarah. Mereka adalah, Raden Ngabehi Ronggowarsito
(Bagus Burhan), KH. Abdul Manan (pendiri Pesantren Tremas. Keduanya adalah
santri Kiyai Ageng Hasan Besari, anak Kiyai Agung Muhammad Besari. Selain dua
tokoh itu, masih ada KH. Mujahid (pendiri Pensantren Sidoresman, Surabaya), dan
KH. Sulaiman Jamaluddin (pendiri Pesantren Gontor), putera Panghulu Jamaluddin
dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Nama yang terakhir adalah
santri Kiyai Khalifah, pengasuh Pesantren Tegalsari pada Abad ke-20 M.
Akhir kalam, semoga catatan kecil ini bermanfaat bagi penulisan
sejarah pesantren di Indonesia dan bisa dijadikan sandaran oleh para santri dan
calon santri yang ingin mendalami disiplin ilmu Islam di pesantren mana pun, di
negeri keramat tempat para ulama dan awliya
silih berganti dilahirkan tanpa jeda. Kerana itulah, kita pantas bersyukur
kepada Allah sejak awal bernafas hingga akhir hayat. Lahul Fatihah ... []
Omah Prabata, 21 Muharam 1438 H
No comments:
Post a Comment