Islamic Valentine’s Day

Salim Fikirkoca

Manusia adalah budak dari apa saja yang dicintainya. Demikian petuah para manusia bijak bestari yang terus bergema hingga kini. Beragam ritus, festival, upacara, dan kegiatan, telah diciptakan manusia demi mengapresiasi hadirnya cinta di muka bumi ini. Satu di antaranya, dengan memeringati Hari Valentine pada 14 Februari.

Penulis sama sekali takkan menyinggung soal bagaimana kisah hidup Santo Valentine—yang keberadaannya di Abad ke-15 masih menjadi perdebatan dalam sejarah sampai sekarang, atau mencari kambing hitam dibalik kisah kemunculan perayaan yang kemudian kita kenal sebagai Hari Kasih Sayang itu. Biarlah semua tetap menjadi misteri kemanusiaan. Karena memang selalu ada ruang bagi misteri dalam kehidupan manusia.

Penulis hanya sedang berupaya menawarkan peta jalan baru bagi umat Muslim Indonesia, tentang bagaimana sejatinya menilai Hari Kasih Sayang secara lebih mengakar—terutama dalam sudut pandang keislaman. Karena telah menjadi keniscayaan sejarah, bangsa yang unggul adalah bangsa yang sanggup mewarnai wajah peradaban. Itulah yang kemudian terjadi hari ini.

Peradaban dunia, suka atau tidak, mau atau tidak mau, adalah hasil dari apa yang telah dikreasikan sedemikan rupa oleh bangsa di Barat sana. Lebih tepatnya adab masyarakat Eropa.

Sebagai sebuah bangsa yang besar, dengan kalkulasi Muslim terbesar dunia, mestinya Indonesia mampu memberi warna sendiri atas perayaan Hari Kasih Sayang—yang ternyata malah jauh melampaui esensi sejarah pembentukannya.

Merayakan Hari Kasih Sayang, tak lagi cukup dengan sebuah pernyataan, makan malam bersama orang tercinta dalam remang pendar cahaya lilin, atau sekadar bertukar kado pada banyak orang belaka. Apalagi dengan sangat terburu-buru sudah menjatuhkan vonis bahwa Hari Kasih Sayang adalah anak kandung paganisme yang dijadikan anak angkat oleh peradaban Kristen Eropa.

“Kalau menurutku, merayakan Hari Kasih Sayang nggak bisa dikaitkan hanya dengan agama. Soalnya, itu sudah kayak tradisi yang mendunia saja. Tanggal 14 itu ‘kan hari kematiannya Valentine. Mestinya kalau simpati sama Valentine, ya tinggal didoakan saja,” ujar Hana Resila, salah seorang pegiat Animal Friend Jogja.”

Pendapat bernas dari seorang kader Muhammadiyah berikut ini, Marlia Azhari, juga layak dijadikan bahan renungan, “Kalau bicara relevan atau tidak, buat aku sih relevan. Mungkin perayaannya saja yang berlebihan. Itu yang jadi bikin nggak relevan. Tapi secara esensi, bukankah Islam itu agama cinta? Hal yang membuat seorang hamba mau beribadah seharusnya nggak cuma sekadar menunaikan kewajiban, tapi cinta. Benar bukan?”

Pemerosotan dan banalitas Hari Kasih Sayang di era modern, tidak terjadi begitu saja. Melainkan karena kurangnya pemahaman generasi termuda peradaban dalam memaknainya sebagai sebuah momen berkasih-kasihan, bersayang-sayangan—yang minim pembuktian dalam tataran kehidupan sesungguhnya. Seolah perayaan Hari Kasih Sayang hanya milik sepasang sejoli yang sedang dimabuk asmara saja. Bukan milik mereka yang hidupnya terjepit keadaan dan terpaksa menggelandang di bawah jembatan dan emperan toko.
Hari Kasih Sayang, jika memang harus dirayakan umat Muslim, mesti ditarik jauh ke dalam spirit yang melatarinya, yaitu Cinta. Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, seorang cendekiawan cum ulama dari Syria (Suriah) yang mati syahid setahun lalu, menawarkan sebuah defini cinta yang agak memadai, “Cinta adalah kebergantungan hati pada sesuatu atau seseorang, sehingga menyebabkan kenyamanan di hati saat berada di dekatnya, pun perasaan gelisah saat berada jauh darinya.”

“Setiap hari harusnya adalah hari kasih sayang,” ucap Melati Jamilah, yang sehari-hari bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan penerbitan buku. Seolah mengamini definisi cinta yang disodorkan oleh Dr Al-Buthy di atas.

Islam Sebagai Gelombang Kasih-Sayang
Bagaimana caranya menautkan Hari Kasih Sayang versi masyarakat modern ke dalam sejarah Islam yang sudah terentang hampir selama 14 abad? Mari sejenak kita bertungkus lumus dalam lembaran buku sejarah yang sudah berdebu.

Hari itu, 10 Ramadhan Tahun 8 Hijriyah, bertepatan dengan musim semi Januari 630 Masehi. Masyarakat kota Makkah dibuat geger oleh berita kedatangan sepuluh ribu tentara Muslim dari Yastrib yang hendak mudik setelah sepuluh tahun lamanya terusir. Ditambah efek ketimpangan dari Perjanjian Hudaibiyah yang mereka tanda tangani dengan para pemuka Suku Quraisy pada 628 M.

Meskipun hubungan yang lebih baik tercipta antara Makkah dan Madinah setelah penandatanganan Perjanjian Hudaybiyah, namun gencatan senjata yang telah berlangsung sepuluh tahun lamanya, malah dirusak oleh pihak Quraisy, bersama sekutunya Bani Bakr, dengan menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu umat Muslim.

Abu Sufyan, kepala suku Quraisy di Makkah, pergi ke Madinah demi memperbaiki perjanjian yang telah dirusak itu. Tetapi Rasulullah Muhammad Saw menampik kehadirannya. Ia pun pulang dengan tangan kosong. Pada saat bersamaan, Rasulullah mengirim sekitar sepuluh ribu pasukan Muslim menuju Makkah.

Saat menuju Makkah, Madinah dititipkan oleh Rasulullah pada Abu Ruhm al-Ghifary. Ketika sampai di Dzu Thuwa, Beliau membagi pasukannya jadi tiga bagian:

Khalid bin Walid memimpin pasukan memasuki Makkah dari bagian bawah. Zubair bin Awwam bersama pasukannya memasuki Makkah bagian atas dari bukit Kada,’ dan menegakkan bendera di Al-Hajun. Sementara Abu Ubaidah bin Al-Jarrah berikut pasukannya, masuk dari tengah-tengah lembah hingga sampai ke jantung Makkah.

Dari Al-Hajun, Rasulullah memasuki Masjid al-Haram dengan dikelilingi kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah thawaf mengelilingi Ka’bah, Beliau mulai menghancurkan berhala dan membersihkan rumah ibadah tertua manusia itu.

Hari Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) itu, merekam sebuah peristiwa yang nampaknya persis dilakukan pula oleh Muhammad Al-Fatih saat merebut Konstantinopel pada 1453 M. Ribuan orang tawanan yang berkumpul di Gereja Hagia Sophia demi mencari perlindungan tuhan, dibiarkannya hidup dan malah diberi kesempatan istimewa menjadi warga negara Kerajaan Usmani.

Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al-Quran sebagai fathan mubina (kemenangan yang nyata), terjadi dengan cara yang begitu manusiawi dan menyentuh hati penduduk kota Makkah—yang notabene telah menjadi tawanan perang.

Di hadapan ribuan tawanan itulah, Rasulullah mengumandangkan pidatonya yang agung, “… Hadza laisa yaum al malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa … : Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan Hari Kasih Sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga masing-masing.” Warga Makkah yang mendengar pidato ini, seketika terharu. “Anak hilang” yang mereka kenal sebagai manusia paling jujur, tepercaya, terampil berbicara, dan berbudi halus itu, masih pribadi yang sama seperti saat ia terusir dulu. Hatinya masih salju.

Sebaliknya, kubu tentara Muslim malah dilanda kegalauan. Bagaimana tidak? Mereka telah berjuang hidup mati, terhinakan, dinistakan, dilecehkan sekian lama, bahkan terusir dari kampung halaman sendiri, dan ketika kemenangan sudah digenggaman, musuh malah dibebaskan.

Masih belum cukup. Rasulullah memerintahkan trilyunan harta rampasan perang yang terdiri dari dinar, dirham, ribuan unta, dan hewan ternak lainnya, harus dibagikan pada para tawanan.

Sementara dalam waktu bersamaan, tentara Muslim malah tidak memeroleh apa-apa. Sehingga hal ini memicu protes keras mereka pada komandan perangnya yang berwibawa itu. Demi menjaga harkat dan martabat pasukannya, Rasulullah pun mengumpulkan mereka dan bertanya, “Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?” Mereka menjawab, “Sekian tahun, sekian tahun …”

“Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian, aku ini mencintai kalian atau tidak?” Lalu mereka pun menjawab lagi, “Tentu saja sangat mencintai, Ya Rasul.”
Lantas Rasulullah pun mengakhiri pertanyaannya, “Kalian memilih mendapatkan harta rampasan perang atau memilih cintaku pada kalian?”

Detik itu juga, ribuan tentara Muslim menangis berderai-derai. Karena cinta Rasulullah pada mereka jelas tak bisa dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit sekali pun.

Becermin dari rekaman sejarah itu, yang terjadi pada Januari 630 (sebulan lebih awal dari perayaan Valentine) mari sama-sama kita renungi, harus dengan cara apakah hari tersebut dirayakan? Memuliakan manusia atau sekadar latah sosial dan tak meninggalkan bekas apa pun dalam riwayat peradaban yang kita hidupi hari ini. []


Tautan resmi ~> http://squadpost.com/islamic-valentines-day/#sthash.4cyWBN4R.dpuf

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews