Soenarto-PR |
Apakah yang sejatinya menjadi pengait antara Indonesia dengan Islam? Apa pula yang membuat Islam identik dengan Indonesia? Masih menarikkah kita bicara tentang Islam Indonesia sekarang ini? Mungkinkah kita bisa menemukan keislaman dalam keindonesiaan? Jangan-jangan, memang tak pernah ada kaitannya antara Indonesia dengan Islam?
Apakah Anda lebih merasa menjadi orang Indonesia atau jadi orang Islam?
“Jadi orang Indonesia saja dulu ‘lah. Karena masih terlalu munafik kalau bicara agama. Tapi bukan berarti nggak mengakui loh ya,” jawab Dita Anggraeni, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Tangerang, Banten.
Yuni Nukman, seorang jurnalis senior dari Medan menjawab begini, “Karena cuma ada dua pilihan, ya milih merasa Islam saja ‘lah …”
Ada juga An Mariam, salah seorang pengguna jejaring sosial di Jakarta, yang menjawab, “Orang Indonesia beragama Islam (tapi belum kaffah: menyeluruh).”
Seorang presenter televisi swasta nasional, Dini Fitria, menjawab agak panjang, “Orang Indonesia. Karena Islam saya masih jauh dari benar. Orang Indonesia yang non-Muslim banyak yang lebih Islam dibanding Muslim sendiri. Saya nggak mau munafik. Suatu saat saya akan benar-benar berhenti bekerja guna mencari apa itu Islam dan bagaimana menjadi Muslim yang baik.”
Pada Dini, penulis lantas mengerucutkan pertanyaan di atas menjadi: orang Islam Indonesia itu bagaimana sih?
“Munafik. Mengaku Islam tapi tak peduli pada penderitaan sesama. Mengaku Islam tapi berselisih jalan nggak mau senyum dan menyapa. Banyaklah. Islamnya mualaf di luar Indonesia lebih ‘Islam,’ terutama di Eropa. Saya mungkin termasuk orang yang malah belum tahu kenapa memilih Islam sebagai agama.”
Akar Budaya
Saat ditemui di bilangan Gintung, Tangerang Selatan, pakar historiografi dan spiritual asal Jogjakarta, Herman Sinung Janutama, mengatakan bahwa pemaknaan tentang keindonesiaan dan keislaman kian jauh panggang dari api. Nama Indonesia sendiri merupakan pemerosotan sejarah dari bangsa kita yang luhur.
Saat ditemui di bilangan Gintung, Tangerang Selatan, pakar historiografi dan spiritual asal Jogjakarta, Herman Sinung Janutama, mengatakan bahwa pemaknaan tentang keindonesiaan dan keislaman kian jauh panggang dari api. Nama Indonesia sendiri merupakan pemerosotan sejarah dari bangsa kita yang luhur.
Adalah James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia, dan seorang ahli etnologi berkebangsaan Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), yang mungkin tanpa sadar mengenalkan nama itu kali perdana dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA: Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur), yang dikelola oleh Logan.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations: Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia,” Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis, “… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia.”"
Dalam JIAEA volume yang sama pula, halaman 252-347, Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago: Etnologi dari Kepulauan Hindia,” yang di dalamnya kemudian tertera untuk pertama kali kata Indonesia yang tercetak pada halaman 254:
“Mr Earl menyarankan istilah etnografi “Indunesian,” tetapi menolaknya dan mendukung “Malayunesian.” Saya lebih suka istilah geografis murni “Indonesia,” yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-Pulau Hindia atau Kepulauan Hindia.”
Sesederhana itulah penamaan Indonesia melekat dalam laku keseharian bangsa kita hingga sekarang. Padahal bila dirunut secara etimologis, menurut Herman, nama yang jauh lebih tepat kita gunakan adalah Nusantara, yang berasal dari bahasa Sanksekerta, Nuswantarat: Nusa (maritim), swa (keturunan orang suci), anta (ksatria suci), dan rat (keratuan).
Secara garis besar, jika arti dari nama tersebut dipadukan, maka akan terbentuk menjadi negeri keratuan maritim tempat para turunan ksatria suci bermukim.
Dalam sebuah catatan hagiografi pengembara dari Cina, Yi Xi, yang berkunjung ke Nusantara pada 411 Masehi, tertulis sebuah pesan yang mengejutkan, “Hindu tak seberapa, Buddha tak seberapa, yang ada hanyalah pengikut Brahma.”
Dalam studi perbandingan agama, nama Brahma dalam Sanksekerta sebenarnya mengarah pada Ibrahim. Nabi tiga agama samawi yang dikenal sebagai penganjur atau patriarkh monotheis (tauhid) teragung dalam sejarah manusia. Di Barat, nama Ibrahim ditransliterasi menjadi Abraham. Artinya, sejak abad ke-5 Masehi, benih Islam telah tumbuh di negeri ini. Bahkan bukan tak mungkin, ajaran tauhid pun telah mengakar kuat jauh sebelum kedatangan Yi Xi itu.
Tauhid berakar dari kata ahad, yang berarti tak terbatas. Dia Yang Absolut tak bisa ditangkap oleh sesuatu yang material maupun non-material. Sementara manusia, adalah satu-satunya makhluk di bumi yang mengandungi dua kecenderungan tersebut. Itulah fitrah kita yang sejati.
Budayawan dan spriritualis, Abdullah Wong, mengatakan bahwa segala sesuatu yang nampak utuh (fisik) dan tak nampak utuh (metafisik) akan selalu ditentang oleh manusia. Karena ketauhidan adalah sesuatu yang melampaui apa pun—baik yang bersifat material maupun non-material. Tauhid itu coincidentia oppocitorum: bertentangan tapi saling mengikat.
Negeri Kembar
Secara geologis, Nusantara sudah sejak lama terkenal sebagai tanah tempat kematian jadi begitu dekat. Sebagian kecil buktinya bisa ditelusur dari peristiwa Gunung Tambora (Tomboro) di Pulau Sumbawa yang meletus pada 1815 M. Letusan gunung ini menyebabkan ratusan ribu jiwa melayang dan berubahnya iklim dunia. Sehingga setahun pascaletusan itu, disebut sebagai Tahun Tanpa Musim Panas, karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa. Akibat debu yang dihasilkan dari letusan Tambora yang menyebabkan perubahan iklim yang drastis ini, banyak lahan pertanian gagal panen dan kematian ternak di Belahan Utara, yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.
Secara geologis, Nusantara sudah sejak lama terkenal sebagai tanah tempat kematian jadi begitu dekat. Sebagian kecil buktinya bisa ditelusur dari peristiwa Gunung Tambora (Tomboro) di Pulau Sumbawa yang meletus pada 1815 M. Letusan gunung ini menyebabkan ratusan ribu jiwa melayang dan berubahnya iklim dunia. Sehingga setahun pascaletusan itu, disebut sebagai Tahun Tanpa Musim Panas, karena perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa. Akibat debu yang dihasilkan dari letusan Tambora yang menyebabkan perubahan iklim yang drastis ini, banyak lahan pertanian gagal panen dan kematian ternak di Belahan Utara, yang menyebabkan terjadinya kelaparan terburuk pada abad ke-19.
Jauh sebelum Tambora, masih ada Gunung Toba yang telah meletus tiga kali. Letusan terakhir diperkirakan terjadi pada 74.000 tahun lalu yang kalderanya saja kemudian membentuk Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengahnya. Bagaimana pula dengan dampak lingkungannya yang lain? Anda bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi dengan kondisi sedahsyat itu.
Penting dicatat. Nusantara hingga kini terkenal dengan koleksi gunung api yang jumlahnya ratusan. Wajar bila banyak geolog dan vulkanolog yang menjuluki tanah pertiwi kita ini sebagai negeri yang dilingkari cincin api. Fakta empiris yang lagi-lagi menegaskan betapa maut telah menjadi ‘saudara’ penduduk Nusantara yang terdekat.
Pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurasia, Indo-Australia, Pasifik) di bawah daratan Nusantara, adalah soal lain yang kerap diabaikan. Padahal 80 persen wilayah Nusantara, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda. Lempeng benua ini hidup. Setiap tahunnya mereka bergeser atau saling menumbuk dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua, selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Lempeng Pasifik bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun.
Lantas negeri manakah yang kemudian menjadi kembaran Nusantara? Secara mengagumkan jawabannya adalah Hadramaut (Yaman sekarang). Nama itu tersusun dari dua kata hadrat al-maut (tanah kematian). Secara geologis, kedua negeri ini memiliki banyak kemiripan. Keduanya terpisah akibat tekanan panas perut bumi yang memecah tiga lempeng benua itu. Karena panas yang luarbiasa, sampai-sampai tak ada manusia yang mampu mendiami tanah Nusantara, kecuali para kesatria pilih tanding. Suhu panas tingkat tinggi dari dalam kerak bumi yang menyembul keluar, menyebabkan pelbagai elemen dasar seperti air, udara, dan tanah, membentuk dataran yang lama-kelamaan kian menjulang dan menimbulkan bebukitan hingga gunung-gunung.
Yaman sendiri, merupakan tanah yang menjadi saksi bisu dari lahirnya para nabi dan rasul Tuhan. Di atas tanahnya telah melintas pula para orang-orang bijak dunia. Catatan eksodus dalam sejarah dunia pun merekam, sebagian besar penduduknya hijrah ke Nusantara. Itu kenapa di negeri ini dikenal kata keramat. Kata yang diadopsi dari karomah dalam bahasa Arab yang berarti suci. Masih banyak lagi kata serapan dalam Arab Yaman yang kita gunakan hingga kini.
Tesis yang bisa dihimpun dari penalaran di atas adalah, bukan tidak mungkin penduduk Nusantara adalah pewaris tunggal gen tauhid para nabi dan rasul yang keturunannya menyebar di Yaman. Bekas paling nyata dar hubungan mesra Yaman dan Nusantara adalah proses penamaan. Pulau Jawa misalnya, terambil dari kata Al-Jawa (bahasa Arab) yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi cinta yang membara. Percaya atau tidak, di atas tanah Jawa pula, ada begitu banyak kisah cinta legendaris, seperti: Ken Arok dan Ken Dedes, Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang, Mendut dan Prono Citro, Sukarno dan Inggit Garnasih, serta banyak lagi yang lain.
Negeri Tua yang Naif
Kini usia Islam genap memasuki 1435 tahun. Indonesia pun tampil menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar seantero dunia. Namun ketauhidan dan kandungan universal Islam kerap masih dipertanyakan di sini. Akal-budi sebatas terucap. Hakikat hidup yang sejati untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, hanya sebatas wacana.
Kini usia Islam genap memasuki 1435 tahun. Indonesia pun tampil menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar seantero dunia. Namun ketauhidan dan kandungan universal Islam kerap masih dipertanyakan di sini. Akal-budi sebatas terucap. Hakikat hidup yang sejati untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, hanya sebatas wacana.
Sebagian besar pelaku peledakan bom, adalah Muslim—yang gagal membaca peta perjalanan leluhurnya.
Banyak pelaku kekejian, kemaksiatan, keserakahan, juga penganut Islam. Hal inilah yang acapkali membuat media massa nasional pun internasional, juga warga non-Muslim, melekatkan label kurang menyenangkan pada “Islam.” Padahal yang kurang menyenangkan ialah perilaku “orangnya,” bukan Islamnya. Ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab secara rombongan. Tapi ditelaah pada masing-masing pribadi Muslim Indonesia.
Sebagai agama penyempurna, Islam jelas tidak hanya membawa misi tauhid belaka. Di dalam rahimnya ada perkara esoterik (batin) dan eksoterik (jasadi). Ada soal metafisika dan fisika secara berurutan. Setelah mengenal tauhid, Muslim diperintahkan untuk memperbaiki akhlaknya. Sebagaimana yang pernah diucapkan Muhammad Saw, “Innama bu’itstu liutammima makarimal (shalihal) akhlaq: Sesungguhnya aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan kemuliaan (keshalihan) akhlak. Belakangan hari ini, kita lebih mudah menemukan Muslim yang lahir dari Islam kultural, bukan kultur yang Islam. Islam yang keturunan, bukan Islam yang diperjuangkan.
Islam yang derajatnya lebih banyak bernuansa langit, kini merosot jadi berorientasi duniawi. Lalu seperti apakah patokan seorang Indonesia bisa dikatakan sebagai orang Islam?
Pada ghalibnya, kegandrungan orang Indonesia terhadap hal spiritual memang harus diacungi jempol. Kepada penulis, Kate Grealy, musisi asal Australia mengatakan, “Saya suka orang Islam di Indonesia. Mereka ramah, santun, dan tak menutup diri pada siapa dan apa saja.” Harusnya apa yang dikatakan Kate itu bisa menjadi modal utama kita membangun bangsa ini ke depan.
Lantas bagaimanakah keadaan orang Islam Indonesia yang pedoman pertama bernegaranya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? Ayat pertama Pancasila ini jelas telah kehilangan spiritnya. Padahal kata yang digunakan adalah esa, bukan eka—meski keduanya identik. Tapi eka hanya berarti satu. Sedang esa berkonotasi tunggal sekaligus jamak. Tauhid yang menyeluruh. Emansipatoris.
Nampaknya masalah mendasar Muslim Indonesia hari ini adalah, melunturnya semangat berketuhanan yang mumpuni. Ada lebih banyak Muslim yang takut miskin dan kehilangan harga diri, tinimbang takut pada Tuhan. Ada sekian banyak ketakutan yang semuanya mengarah pada ketidakpasrahan kita menyelenggarakan kehidupan. Sehingga peran Tuhan pun terpinggirkan.
Semoga pesan guru bangsa, KH Hasyim Asy’arie pada anak tercintanya, Abdurahman Ad-Dakhil (Gus Dur) berikut ini bisa menjadi pelipur lara kita, “Sesiapa yang ingin mengenal orang lain maka kenalilah dirinya sendiri.” Sudahkah Anda mengislami Indonesia? []
No comments:
Post a Comment